Jakarta (ANTARA News) - Akhirnya Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) setelah banding praperadilan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah ditolak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

PK itu sekaligus menjawab pertanyaan publik banding Kejagung terhadap dikabulkannya permohonan praperadilan dari Anggodo Widjojo atas SKPP dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut, ditolak Pengadilan.

Anggodo Widjojo adalah adik kandung tersangka dugaan korupsi Proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Kementerian Kehutanan Anggoro Widjojo yang saat ini buron.

Selama sepekan terakhir ini, terjadi perdebatan sengit mengenai langkah yang harus dilakukan Kejagung pasca putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu, apakah mengajukan kasasi, "deponeering" (mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum), PK, atau perkara terus dilanjutkan ke pengadilan.

Sejumlah pihak bahkan menyesalkan langkah Kejagung sebelumnya yang lebih memilih SKPP, karena tingkat resistensi untuk digugat melalui praperadilan sangat tinggi, ketimbang "deponeering."

Akhirnya Kejaksaan Agung mengeluarkan "jurus pamungkas" bekal untuk mengajukan PK melawan putusan PT DKI Jakarta itu.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, M Amari, menyatakan langkah PK terhadap SKPP Bibit-Chandra M Hamzah itu, tidak menyalahi KUHAP.

"PK itu sesuai dengan Pasal 263 KUHAP," katanya.

Amari menyatakan, Pasal 263 KUHAP menyebutkan bahwa upaya PK dapat dilakukan atas putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

KUHAP tidak menyebutkan tidak boleh mengajukan PK atas putusan tetap soal praperadilan, sehingga PK praperadilan bisa dilakukan, katanya.

Pasal 263 KUHAP lebih lengkap berbunyi, "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Yang dimaksud "Jurus pamungkas" Kejagung adalah hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta keliru memutuskan banding SKPP Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, yakni jika perkara yang sudah dinyatakan lengkap atau P21 maka harus dilimpahkan ke pengadilan.

Sedangkan Pasal 139 KUHAP menyebutkan, apabila penyidik menyerahkan berkas yang sudah dinyatakan P21, maka berkas itu dipelajari oleh jaksa untuk menentukan layak atau tidak layak ke pengadilan.

Tidak mungkin

Jampidsus menyatakan langkah kasasi atas SKPP tidak bisa dilakukan karena Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 07 tahun 2005 menyebutkan putusan praperadilan tidak bisa diajukan ke tingkat kasasi.

KUHAP sendirij menyebutkan putusan akhir praperadilan itu ada di tingkat banding. "Hingga upaya kasasi tidak bisa dilakukan," katanya.

Sedangkan alternatif deponeering harus melalui proses panjang yakni persetujuan dari eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pada tingkat eksekutif memang tidak akan ada ganjalan, namun di legislatif dan yudikatif akan menemui masalah.

Legislatif sendiri melalui rekomendasinya pada 9 November 2009 meminta kasus kedua pimpinan KPK itu terus berjalan.

Pada lembaga yudikatif, kata dia, sudah jelas dari putusannya (tingkat pertama dan banding) menginginkan agar perkara Bibit dan Chandra itu terus berjalan.

"Upaya deponeering tidak bisa dilakukan. Hingga Kejagung mengambil langkah mengajukan PK," katanya.

Hal senada dikatakan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang menyatakan keputusan itu sudah disetujui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hendarman telah menyampaikan secara tertulis pendapat Kejaksaan Agung kepada Presiden Yudhoyono mengenai perkembangan kasus Bibit dan Chandra, Selasa sore.

Namun Jaksa Agung masih merasa perlu menghadap langsung Kepala Negara untuk menyampaikan pendapat tersebut dan mendengarkan arahan Presiden Yudhoyono.

Jalan Terus

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengharapkan KPK tidak mundur sejengkal pun dalam memberantas korupsi, kendati ada SKPP tersebut.

"Penanganan kasus-kasus besar tidak boleh berhenti," kata peneliti ICW, Febri Diansyah.

Febri menunjuk kasus Anggodo Widjojo, Agus Tjondro, Bank Century, Kendaraan Pemadam Kebakaran dan suap Pertamina, sebagai beberapa diantara kasus-kasus besar yang dia maksudkan itu.

"Bibit dan Chandra harus melawan lebih keras karena yang kita hadapi adalah kekuatan besar yang sangat anti KPK," katanya. (*)

R021/T010/AR09

Oleh Riza Fahriza
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010