Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa semestinya yang menentukan buku dilarang beredar atau tidak adalah putusan pengadilan bukan oleh Kejaksaan Agung seperti yang terjadi selama ini.

"Biarlah pengadilan yang menentukan sebuah buku dilarang, bukan di tangan penguasa melalui Kejaksaan Agung," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dalam seminar "Menggugat Regulasi Pelarangan Buku di Indonesia" yang digelar di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, pelarangan atau pemberangusan buku akan memberikan dampak buruk bagi kemanusiaan karena buku adalah jendela dunia yang memperluas horizon peradaban umat manusia.

Untuk itu, lanjutnya, saat ini di kebanyakan masyarakat demokratis, pelarangan harus dilakukan melalui jalan pengadilan.

Dengan demikian, ujar Ifdhal, jaksa harus menjelaskan secara terbuka hal-hal yang dipersoalkan dalam suatu terbitan.

"Jaksa harus membuktikan bahwa terbitan tertentu memang melanggar hukum," katanya.

Selain itu, dengan adanya mekanisme pengadilan, penulis dan pihak penerbit juga dapat menyampaikan sanggahan mereka.

Hal seperti ini terjadi antara lain terdapat di Jerman untuk melawan buku yang mengingkari terjadinya peristiwa "holocaust" pada Perang Dunia II.

Di Jerman, ujar dia, jaksa membawa kasus tersebut ke pengadilan dan tidak melarang buku secara sepihak.

"Prosedur yang terbuka dan transparan di wilayah hukum lebih baik daripada prosedur rahasia yang sewenang-wenang dalam sebuah birokrasi yang misterius," kata Ifdhal.

Pembicara lainnya, Direktur Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institute Asia Tenggara, Frans Xavier Agustin, mengemukakan, pembakaran sebuah teks buku merupakan tindakan simbolik paling radikal yang melambangkan intoleransi.

Pembakaran buku, ujar dia, pernah menjadi suatu aksi simbolik yang dilakukan oleh pemerintahan Nazi di Jerman pada tahun 1933.

Sementara Direktur Blora Institute dan budayawan Taufik Rahzen mengutarakan keheranannya mengapa Ikatan Penerbit Indonesia tidak menyikapi secara aktif terkait dengan pelarangan buku yang masih terjadi di Indonesia.

(T.M040/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010