Ambon (ANTARA News) - Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku menggelar pelatihan Gender dan Kekerasan Bagi Pendamping Komunitas kepada 10 perempuan di Kantor LAPPAN, 21-23 Juni 2010, untuk mengurangi tingkat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap anak dan perempuan.

Dengan menghadirkan Fitri Faujiah, Psikolog sekaligus Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sebagai fasilitator, LAPPAN Maluku membentuk 10 pendamping komunitas dari berbagai kawasan di desa relokasi korban konflik horisontal yang terjadi pada 1999 di Maluku, yakni Desa Ahuru, Batumerah dan Kayu Tiga, Kecamatan Sirimau, Desa Waiheru, Kecamatan Baguala, serta Desa Tanah Putih, Kecamatan Teluk Ambon.

"Kita tidak bisa menghapus KDRT secara langsung, tetapi kita bisa menurunkan angkanya," kata Direktur LAPPAN, Bai Hadjar Tualeka, kepada ANTARA, di Ambon, Rabu.

Ia menjelaskan, sebagian besar korban KDRT tidak mendapatkan dukungan dari lingkungannya, sehingga perlu adanya pendamping komunitas yang bertugas untuk memberikan pemahaman dan sosialisasi terhadap masyarakat, terutama kaum pria dalam lingkungannya tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan dalam lingkup keluarga.

"Mereka-mereka ini yang akan rutin mengadakan diskusi maupun sosialisasi tentang kasus kekerasan dengan masyarakat disekitarnya," ujarnya.

Menurut Tualeka, kendati sudah ada Undang-undang (UU) No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT), namun tingkat kekerasan di Maluku masih terus meningkat, sehingga perlu adanya kerjasama antara kaum wanita untuk membantu.

"Banyak perempuan di Maluku yang mengalami kekerasan secara fisik maupun mental, namun tidak mendapat dukungan dari komunitasnya dengan alasan itu merupakan urusan rumah tangga orang lain," katanya.

Ia menyatakan, angka kasus kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan di Maluku tahun 2010 mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu, karena sejak Januari hingga Juni 2010 sudah 35 kasus yang ditangani oleh LAPPAN, sedangkan pada 2010 tercatat ada 60-an kasus.

Jika pada tahun lalu kasus pelecehan seksual menduduki urutan pertama, tahun ini kekerasan fisik berada diurutan pertama, kemudian disusul dengan penelantaran ekonomi dan kekerasan mental.

"Banyak korban tidak berani melapor karena menganggap itu sebagai aib dan diancam oleh pelaku, sehingga kami kesulitan untuk mendata secara lengkap," kata Tualeka.

Menurut dia, seringkali penyelesaian kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yang terjadi di Maluku mengalami jalan buntu ketika berada di tangan pihak kejaksaan.

"Seringkali pihak kejaksaan tidak melanjutkan kasus pelecehan hanya dengan alasan bukti tidak cukup kuat, tidak ada saksi dan sebagainya, padahal perempuan juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan ketika dia dianiaya," kata Tualeka.

Ia berharap, dengan adanya kegiatan pelatihan Gender dan Kekerasan Bagi Pendamping Komunitas yang didanai oleh Hoves Unlimited People dari Belanda, 10 orang perempuan yang menjadi peserta bisa memberikan banyak kontribusi untuk mengurangi tingkat kasus kekerasan di Maluku.

"Kita berharap ke depannya perempuan di Maluku harus lebih kuat, mandiri dan percaya diri, serta bisa mengambil keputusan dalam setiap persolannya, terutama untuk KDRT," kata Bai Hadjar Tualeka. (IVA/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010