Johannesburg (ANTARA News) - Johannesburg, kota berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa yang menjadi pusat kegiatan ekonomi di Afrika Selatan, memang mempunyai infrastruktur yang sangat bagus, setara dengan kota-kota di negara maju.

Berdasarkan pemantauan ANTARA yang sudah berada dua minggu di kota ini, tidak terlihat jalan-jalan yang berlubang. Sampai ke seluruh pelosok, ditemui jalan yang lebar dan beraspal mulus.

Jalan raya antar kota, seperti yang menghubungkan Johannesburg dan Nelspruit yang berjarak sekitar 350km, bisa ditempuh dalam waktu sekitar 3,5 jam. Bus bisa melaju kencang dengan kecepatan rata-rata 110km perjam di jalan yang mulus tanpa banyak hambatan.

Di jalan-jalan yang lebar dan nyaman di pusat kota, maupun jalan kecil di pinggiran kota, terlihat sangat rapi dan bersih. Tidak terlihat tumpukan sampah maupun maupun warung-warung di pinggir jalan.

Di trotoar jalan yang juga sangat rapi, tidak banyak ditemui warga yang jalan kaki, kecuali beberapa orang kulit hitam. Di jalan yang tampak jauh dari semrawut, tampak melaju kendaraan mewah berbagai merek yang umumnya dari Eropa.

Pengendara mobil mewah tersebut sekarang tidak lagi didominasi oleh kaum kulit putih, tapi juga warga kulit hitam. Di pusat kota Sandton, beberapa anak muda terlihat mengendarai mobil sport merek Mercedez dan BMW.

Tapi jangan membayangkan bahwa Johannesburg memiliki sistem transportasi umum yang mudah, nyaman dan murah, apalagi bagi pendatang.

Jakarta yang dikenal dengan transportasi umumnya yang semrawut dan jauh dari nyaman, justru ternyata memiliki sistem transportasi yang lebih mudah diakses karena bisa menjangkau ke segala penjuru, bahkan ke gang-gang sempit sekali pun.

Di pinggir kota Jakarta, tidak sulit untuk mendapatkan taksi yang lalu lalang dan siap mengantar kemana pun dan pukul berapa pun. Angkutan kota atau angkot pun melayani rute sampai-sampai ke perumahanan.

Di Johannesburg dan juga kota-kota lain di Afrika Selatan pada umumnya, jangan berharap bisa dengan mudah untuk mendapatkan angkutan umum, termasuk taksi sekali pun.

Kalau pun ada angkutan kota dengan jenis mirip Toyota Hiace berwarna putih, hanya beroperasi sampai pukul 19.00 waktu setempat.

Tidak mengherankan jika jalan-jalan sudah sepi lewat pukul 19.00 tersebut karena yang bisa beraktivitas hanya mereka yang mempunyai mobil pribadi.

Khusus untuk angkutan kota, para pendatang akan dibuat pusing tujuh keliling karena tidak akan ditemui bus kota seperti di Jakarta yang sudah mempunyai rute tetap, lengkap dengan nomornya.

Bus kota yang ada hanya mengitari lingkungan tertentu, seperti pusat kota Sandton dan tidak melayani rute ke kawasan lain.

Mendapatkan layanan transportasi umum yang murah, seperti angkutan kota, hanya bisa diperoleh oleh penduduk lokal yang semuanya berkulit hitam.

Karena tidak ada rute tetap dan tidak tertera lokasi tujuan, maka sopir angkot dan calon penumpang pun sudah punya kode-kode tertentu yang dipastikan tidak dimengerti pendatang.

Jika penumpang ingin ke kota, maka kode yang digunakan adalah dengan menunjuk ke arah atas, sementara menunjuk ke arah bawah, berarti penumpang ingin ke kawasan lain.

Memberikan isyarat dengan jari menunjuk ke bawah sambil membuat lingkaran, berarti penumpang mempunyai tujuan di wilayah sekitar kawasan itu saja.

"Warga umumnya tidak keluar rumah lagi setelah pukul 19.00 karena tidak ada lagi angkutan umum. Kalau ada kebutuhan makanan di rumah, harus dibeli saat dalam perjalanan pulang ke rumah," kata Bobby Shabangu, seorang warga Nelspruit kepada ANTARA.

Akibat Pemogokan

Janji Panitia Piala Dunia 2010 untuk menyediakan transportasi umum yang nyaman bagi para para penonton, sama sekali tidak terlaksana. Bayangan semula bahwa sistem transportasi yang sediakan setidaknya menyamai event besar seperti Olimpiade Beijing 2008, segera lenyap begitu melihat kondisi yang dihadapi di lapangan.

Pemogokan yang dilakukan oleh pekerja pembangunan Rea Vaya, semacam Transjakarta, turut memberikan andil semakin kacaunya transportasi umum masal yang mudah dan murah.

Event Piala Dunia 2010 dijadikan kesempatan oleh para pekerja untuk menuntut kenaikan upah sebesar 15 persen.

Akibatnya, disepanjang jalan yang menurut rencana akan dibangun Rea Vaya, seperti di kawasan Bosmont di selatan Johannesburg, yang terlihat hanyalah jalur kosong.

Pada jalur yang sebagian sudah dibangun dan dilengkapi dengan terminal penumpang, sama sekali tidak terlihat ada aktivitas.

Para peliput Piala Dunia 2010 pun tidak punya pilihan lain selain menyewa mobil secara borongan untuk mempermudah mobilitas. Sewa yang ditawarkan pun tidak murah, rata-rata 1500 rand (sekitar Rp1,5 juta perhari).

Sariat Arifia, seorang pengusaha Indonesia yang sudah dua tahun berdomisili di Johannesburg mengatakan bahwa transportasi merupakan masalah yang sangat komplek untuk diatasi oleh pemerintah negara tersebut.

"Masalah transportasi ibarat benang kusut yang sangat sulit untuk diurai. Terlalu banyak pihak yang berkepentingan dan juga melibatkan jaringan mafia," kata pria asal Jakarta itu.

Timbulnya protes terhadap pembangunan Rea Vaya juga tidak terlepas dari kepentingan para pengusaha angkot yang tidak ingin penghasilan mereka terpangkas.

"Mereka tidak lagi sekedar bertengkar dalam masalah ini, tapi sudah main tembak. Makanya masalah tranportasi ini tidak kunjung selesai," katanya.

Beberapa penonton yang dimintai komentarnya saat ditemui di Stadion Soccer City maupun Ellis Park, juga mengeluhkan rumit transportasi yang ternyata tidak seperti seperti yang dijanjikan panitia.

"Afrika Selatan mempunyai alam yang sangat indah. Keindahan tersebut ternyata sulit dinikmati hanya karena sulitnya tranportasi. Selain itu, kriminalitas juga sangat tinggi. Kami terpaksa hanya berdiam di hotel setelah jam 19.00 karena takut keluar malam hari," kata Juan Fernandez, seorang penonton yang mengaku asal Meksiko.
(T.a032/R009)

Oleh Oleh Atman Ahdiat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010