Jakarta (ANTARA News) - Tidak terasa Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang besar di tanah air ini semakin matang dan akan segera memasuki usia seabad.

Di awal didirikan, Muhammadiyah bertujuan mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah yang sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.

Muhammadiyah memang banyak merefleksikan diri kepada perintah-perintah Al Quran, di antaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi.

Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.

Dalam prosesnya, gerakan Muhammadiyah semakin berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat menjadi lebih maju dan terdidik dengan semakin banyaknya jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah.

Bahkan dari organisasi ini, kini telah banyak juga berdiri rumah sakit, masjid, dan panti asuhan, di seluruh Indonesia.

Lantas, apakah para pemimpin Muhammadiyah kini merasa puas dengan hasil nyata tersebut. Tentu, mereka akan menjawab, tidak.

Setidaknya, jawaban itu tercermin dari pernyataan salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dr. Soedibyo Markus, dalam acara Panen Jamur dan Sayuran yang diselenggarakan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah pada Sabtu (12/06/2010) di Pondok Pesantren dan Panti Asuhan Darul Hikmah, Borobudur, Magelang.

Ia mengatakan, pada abad ke dua nanti ada dua agenda utama Muhammadiyah. Kedua agenda tersebut nampaknya saling berlawanan tetapi sesungguhnya dapat sejalan.

Pertama adalah membangun basis atau "back to basic" dan kedua adalah menjadi agen kosmopolitan.

Soedibyo Markus menjelaskan, yang dimaksud membangun basis atau kembali ke basis adalah peneguhan ideologi Muhammadiyah seperti Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muahammadiyah, Khittah, dan lain-lain yang semuanya bersumber dari Al Qur`an dan As Sunnah.

Sedangkan menjadi agen kosmopolitan berarti mau bekerja sama dengan siapapun dan membantu siapapun, lintas organisasi, agama, dan negara.

"Jadi, nanti Muhammadiyah bukan hanya untuk Muhammadiyah, tetapi untuk seluruh dunia," katanya.

Tantangan

Hal itu berarti pula, ke depan Muhammadiyah tak melulu harus berkutat dengan urusan internal. Tetapi menyikapi perkembangan zaman, ujar Soedibyo.

Bagi Muhammadiyah, tantangan ke depan memang harus dijawab seperti tatkala organisasi ini berdiri menghadapi tantangan dari sekitarnya yang demikian dahsyat.

Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912.

Dalam prespektif sejarah, persyarikatan ini didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.

Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha.

Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu`allimin khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu`allimaat Muhammadiyah khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).

Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang.

Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam.

Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah makin bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Dan pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.

Amar ma`ruf

Sementara itu, Aisyiyah juga dibentuk sebagai pelaku gerakan perempuan Muhammadiyah dengan citra Islam modern dan mampu menghadapi tantangan zaman.

Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, Prof. Dr Chamamah Soeratno dalam diskusi publik bertemakan "Dinamika Gerakan Perempuan Untuk Pencerahan Bangsa", mengatakan, gencarnya arus globalisasi sekarang ini membuka kecenderungan budaya popular yang tanpa makna dan perilaku yang irasional yang menimbulkan krisis moral dan spiritual dalam kehidupan masyarakat.

Berdasarkan situasi inilah Aisyiyah menggariskan muktamarnya nanti dengan acara yang kondusif bagi upaya peningkatan peran dan kiprahnya bagi kemajuan bangsa, katanya.

Sementara itu, Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof Dr Bambang Purwanto, mengatakan gerakan Aisyiyah mampu bertahan di tengah perkembangan zaman dengan segala kesederhanaan yang dimilikinya.

Sedangkan, Dr. H. Moh Givi Efgivia, M.Kom menyebutkan, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharuan) harus mampu menjawab tantangan masa depan, khususnya dalam bidang teknologi informasi.

Dalam salah satu penggalan tulisannya, ia menyebutkan bahwa label yang melekat pada tubuh organisasi ini disebabkan pemikiran yang ada dalam Muhammadiyah seringkali diasosiasikan dengan pemikiran para tokoh pembaharu Islam seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Mereka ini dikenal sebagai tokoh-tokoh "modernis" Islam.

Moderniasasi dalam masyarakat barat, menurut Prof Dr. Haruun Nasution, mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern.

Bagi Muhammadiyah yang organisasi modern, merupakan sebuah keharusan yang tak bisa ditawar, harus memberi jawaban terhadap arus-arus yang dibawa oleh "gelombang" globalisasi dan informasi, kata Givi.

Muhammadiyah harus berupaya selalu up-to date, khususnya dalam merealiasasikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma`ruf nahi munkar perlu startegi yang selalu baru, agar objek dari dakwah tersebut bisa lebih tepat sasaran.
(L.E001*D009/P003)

Oleh Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010