Jakarta (ANTARA News) - Kebebasan pers di Indonesia sangat mengherankan kalangan media dan pejabat negeri jiran, Malaysia. Itu terungkap dalam pertemuan Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (Iswami) di Jakarta, Selasa (29/6).

Hadir ketika itu Wakil Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Dato Muhyiddin bin Haji Mohd Yassin dan tokoh-tokoh pers negeri jiran. Dari Indonesia hadir para pemimpin redaksi dan tokoh pers seperti Asro Kamal Rokan dari Jurnal Nasional, August Parengkuan dari Kompas, Ikhwanul Kiram dari Republika, dan Don Bosco Salamun dari SCTV.

Dari pertemuan resmi sampai ke meja makan, wartawan-wartawan Malaysia banyak bertanya dan geleng-geleng kepala atas pemberitaan kasus media mesum Ariel-Luna Maya- Cut Tari dan diborongnya majalah Tempo karena mengungkap korupsi di tubuh sejumlah oknum jenderal Polri.

"Mereka heran, pers di Indonesia sangat berani. Di Malaysia tidak seperti di Indonesia," kata Ketua Iswami Saiful Hadi, yang juga Pemimpin Redaksi LKBN Antara.

Wakil PM Malaysia Tan Sri Dato Muhyiddin membenarkan bahwa pers di Malaysia tidak sebebas di Indonesia, karena ada aturan hukum dan aturan main yang berbeda.

"Media di Malaysia dibatasi oleh tanggung jawab sosialnya," kata Muhyiddin.

Berbeda dengan Indonesia, karena pers di negeri ini memiliki kebebasan yang hampir absolut.

"Apa saja bisa diungkap dan diberitakan. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan," kata Ilham Bintang, pengurus PWI Pusat.

Pemilik tabloid dan acara infotainment di televisi, Cek&Ricek, itu memberi perumpamaan yang membuat wartawan dan pejabat Malaysia terbengong-bengong. Ilham mengatakan pers di Indonesia bisa menyiarkan dan menayangkan apa saja sekehendak hatinya, kecuali dua hal.

"Pertama, merokok di pompa bensin. Kedua, memakai sepatu ke dalam mesjid," kata Ilham.

"Maksudnya apa?, tanya Wakil PM Malaysia.

"Ya, kalau wartawan melakukan dua hal itu, bunuh diri namanya," Ilham menjelaskan.



Tembok bisa bicara

Indonesia telah memasuki apa yang disebut sosiolog sebagai

"The Tell-All Society", yaitu masyarakat-ceritakan-semua. Atau menurut istilah Ilham, di Indonesia tembok dan dinding pun bisa bicara.

Apa yang terjadi di tempat tidur, yang seharusnya tertutup dan rahasia, bisa terbuka jadi konsumsi publik seperti video syur Ariel cs.

Rekening-rekening oknum jenderal polisi yang selama ini tidak pernah bisa disentuh, apalagi dijangkau publik, maka isa dengan bebas didapat wartawan dan dipublikasikan. Dokumen-dokumen rahasia seperti berita acara pemeriksaan dan laporan keuangan bisa mudah diberitakan. Skandal demi skandal dibongkar dan tersiar di media.

Oleh karena masyarakatnya sudah jadi "The tell-all society", sehingga tidak heran bila praktik sejumlah medianya juga "Print it and be damned"?, siarkan dan peduli setan! Banyak media yang tidak memperhatikan dampak dari apa yang diberitakannya.

Joseph Kirschke dari Pacific Media Watch mengatakan pers Indonesia di era reformasi seperti kuda liar yang lepas dari kandang.

"Media di Indonesia berputar bebas sebebas-bebasnya," katanya membandingkan dengan apa yang terjadi di negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura yang belum "free-wheeling" seperti Indonesia.

Sejumlah media merasa punya kebebasan penuh untuk menulis dan melaporkan apa saja yang dianggap "fit to print". Mereka menyiarkan fitnah, laporan palsu, fakta menyesatkan dan opini-opini yang menjurus kepada pembunuhan karakter.


Terancam dibunuh

Ini berbeda sekali dengan zaman Orde Baru yang semua pemberitaan persnya aman dan terkendali. Dari segi kebebasan pers tentu ini sangat buruk. Sejumlah media yang berani melaporkan hal-hal yang tabu atau menyerang rezim dan pejabatnya dibreidel. Ingat nasib Tempo, Detik dan Editor yang diberangus bulan Juni 1994.

Bahkan wartawan yang berani melaporkan korupsi, bisa terbunuh semacam kasus Udin di Yogyakarta. Orde baru berusaha membungkam pers karena kebebasan dianggap akan berujung pada anarki, konflik dan ketidakstabilan.

Pers di zaman Soeharto sulit sekali melaksanakan fungsinya sebagai "agenda setter" dalam arti mengangkat atau memburu satu isu yang menjadi perhatian publik seperti korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pers cenderung melulu jadi alat informasi bagi kegiatan pejabat pemerintah.

Sebelum 1998, berita utama di koran penuh dengan berita pernyataan pejabat dan kegiatan pemerintahan. Setelah Soeharto lengser, maka berita utama koran beralih mengkritik pejabat dan pemerintah. Narasumber berita juga beralih dari dominasi pejabat ke dominasi publik, khususnya yang disebut pengamat dan pegiat LSM.

Hanya koran Indonesia yang bisa menulis berita yang mengolok-olok presiden, misalnya Megawati Soekarnoputri. Rakyat Merdeka misalnya menulis berita berjudul "Mulut Mega Bau Solar" atau "Mega Hanya Sekelas Bupati".

Hanya di televisi Indonesia, pimpinan negeri bisa diparodikan dan jadi bahan lawakan seperti di acara "Republik Mimpi" atau "Demozracy"

Kalau presiden saja bisa jadi bulan-bulan, maka semua pejabat di negeri ini bisa dijadikan sorotan dan kritikan. Apalagi cuma sekedar jenderal polisi yang punya rekening" gendut" dan mencurigakan.

Intinya adalah tidak ada lagi yang ditakuti oleh pers Indonesia yang bebas. Intinya tidak ada lagi yang tidak bisa dibongkar oleh masyarakat-ceritakan-semua. Hanya ada dua larangan yang masih dipatuhi karena kalau itu dilanggar berarti bunuh diri:

1. Merokok di pompa bensin.

2. Memakai sepatu ke dalam mesjid.(*)
(A017/A011/R009)

Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010