Jakarta (ANTARA News) - Langkah "Laksamana Cheng Ho" terhenti di depan pintu gerbang Kejaksaan Agung yang terkunci rapat dengan lilitan rantai dan gembok berwarna bening.

Dia bersama rombongan hanya dapat geram melihat pintu gerbang setinggi dua meter berwarna keperakan itu terkunci rapat.

Kendaraan sedan berwarna hitam yang ditumpangi "Laksamana Cheng Ho" itu terdiam di depan Pos Keamanan Dalam Kejagung, dan dia pun berjalan kaki menuju pintu gerbang yang berjarak sekitar 50 meter.

Kisah ini bukan sekuel dalam film "Laksamana Cheng Ho" seperti yang ditayangkan di salah satu televisi nasional, namun kisah nyata awal Juli 2010 di kompleks Kejaksaan agung RI.

Peristiwa itu dialami oleh mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga sebagai pemeran utama film "Laksamana Cheng Ho", Yusril Ihza Mahendra, saat hendak meninggalkan kompleks Kejaksaan Agung.

Yusril berada di Kejaksaan Agung karena dijadwalkan akan diperiksa dalam kasus dugaan korupsi pada proyek Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan HAM yang merugikan keuangan negara sebesar Rp420 miliar.

Dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu bersama dengan adik kandung pengusaha terkenal di Tanah Air yang juga mantan Kuasa Pemegang Saham PT Sarana Rekatama Dinamika, Hartono Tanoesudibyo.

"Saya ke sini bukan untuk memenuhi panggilan, melainkan ingin meminta kejelasan dalam soal pemanggilan," kata Yusril Ihza Mahendra.

Walhasil kedatangan dirinya bersama sejumlah pengacaranya, hanya bertemu dengan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Arminsyah.

Yusril menyatakan dirinya meninggalkan Kejagung itu setelah berpamitan dengan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Arminsyah.

"Tadi saya sudah pamit dengan Dirdik, terus Jampidsus memberitahukan bahwa dirinya ingin berbicara," katranya.

Padahal, kata dia, dirinya sudah mendapatkan izin oleh Dirdik pada Jampidsus, Arminsyah, untuk meninggalkan Kejagung."Jadi tidak ada urgensinya dengan Jampidsus," katanya.

Saat kendaraannya hendak meninggalkan Gedung Bundar atau Gedung Pidana Khusus, petugas Keamanan Dalam Kejagung sempat menahan laju mobil sedan berwarna hitam itu.

Namun petugas tidak mampu menghentikan laju mobil itu, hingga kendaraan yang ditumpangi oleh Yusril langsung tancap gas menuju pintu gerbang samping Kejagung yang tepatnya di kawasan Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan.

"Bagaimana nih?, padahal saya menjalankan perintah pimpinan," seloroh salah seorang petugas keamanan dalam itu polos.

Tepat di depan Pos Keamanan Dalam, laju kendaraan itu dihentikan, barulah terjadi perdebatan alot mempersoalkan dasar Yusril tidak boleh meninggalkan kompleks Kejagung.

Tepat di depan pintu gerbang, Yusril mulai geram. "Ini apa-apaan, saya tamu," katanya.

Salah seorang anggota rombongan meneriakkan tindakan tersebut adalah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). "Ini pelanggaran HAM," serunya gemas.

Sekitar pukul 11.00 WIB, perdebatan alot itu, Yusril akhirnya diperkenankan meninggalkan kompleks Kejagung dan langsung menuju Mabes Polri untuk melaporkan adanya perbuatan yang tidak menyenangkan itu sekaligus melaporkan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang ilegal.

Sengaja menelepon
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, M Amari, mengakui bahwa dirinya mengizinkan Yusril meninggalkan kompleks Kejagung setelah berjanji siap untuk memenuhi panggilan kedua.

"Setelah Yusril menelepon saya, dia bilang siap memenuhi panggilan kedua. Ya kami persilakan pergi," kata Jampidsus Amari , di Jakarta, Kamis.

Jampidsus menambahkan seharusnya Yusril Ihza Mahendra kalau datang dengan baik-baik ke Kejagung, maka pulangnya juga harus baik-baik."Jangan seperti itu," kata Jampidsus.

Yusril Ihza Mahendra sendiri menyatakan alasan dirinya tidak mau diperiksa oleh penyidik Kejagung karena menilai jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji saat ini ilegal.

"Oleh karena jaksa agung ini tidak sah atau kata lain ilegal, maka secara hukum segala tindakan yang dilakukannya dengan mengatasnamakan dirinya sebagai jaksa agung secara hukum adalah tidak sah juga," katanya saat hendak meninggalkan Gedung Bundar, Kejagung, Jakarta, Kamis.

Yusril menjelaskan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2009, seluruh anggota kabinet diberhentikan dengan hormat dari jabatannya kecuali Jaksa Agung Hendarman Supandji.

"Hendarman Supandji terus menjadi jaksa agung hingga sekarang, tanpa pernah dilantik. Padahal dia sebelumnya dilantik sebagai Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu," katanya.

Ia mengatakan sikap presiden yang tidak memberhentikan jabatan jaksa agung itu, adalah melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Pasal 19 UU Nomor 16 tahun 2004 menegaskan bahwa jaksa agung adalah pejabat negara, jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Sementara Pasal 22 UU Kejaksaan menyatakan bahwa jaksa agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus-menerus dan berakhir masa jabatannya.

Disebutkannya, dengan tidak diberhentikannya Jaksa Agung seiring berakhirnya kabinet pemerintah sebelumnya, maka rakyat berhak meminta Kapolri untuk menangkap Hendarman Supandji dan seluruh bawahannya yang diusulkan untuk diangkat oleh presiden.

"Karena selama ini, mereka (Jaksa Agung) tidak sah dan melawan hukum maka dalam melakukan berbagai tindakan jabatan yang sesungguhnya juga, tidak sah dan ilegal," katanya.

Terlepas dari alasan itu, kejadian tertahannya langkah "Laksamana Cheng Ho" di pintu gerbang Kejaksaan Agung merupakan babak baru dari penanganan kasus Sisminbakum.

Saat ini, masyarakat tentu menunggu apakah akan ada insiden baru lagi di Kejagung pekan depan, yang sekaligus bakal menenggelamkan isu "hot" kasus film porno yang pemerannya mirip dengan Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari.(R021/A041)

Oleh Riza Fahriza
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010