Jakarta (ANTARA News) - Pemimpin Redaksi Harian Jurnal Nasional Asro Kamal Rokan mengatakan, permasalahan yang kerap terjadi antara Indonesia dengan negara jiran Malaysia, harus dilihat secara rasional dan diselesaikan hingga tuntas.

"Banyak ketidaktahuan dan kecurigaan yang menjadi masalah. Permasalahan ini jangan dipikirkan secara emosional karena dengan menyatakan serumpun tidak akan menyelesaikan masalah, tapi lihat secara rasional," katanya dalam bedah buku berjudul "Maumu Apa Malaysia" di Jakarta, Rabu.

Dalam bedah buku karya Genuk Ch Lazuardi di Wisma ANTARA itu, Asro Kamal Rokan mengatakan, hubungan antara Indonesia-Malaysia harus dilihat sebagai hubungan suatu negara karena selama ini yang lebih dikedepankan adalah emosional.

Selain itu, permasalahan yang timbul cenderung di level masyarakat bawah sedangkan pada level pemerintah tidak ada masalah yang bisa menimbulkan perselisihan serius.

"Kita marah ketika budaya Indonesia diklaim milik Malaysia. Kita mengedepankan emosional ketika ada masalah menyangkut tenaga kerja Indonesia di sana. Tapi kita tidak punya kekuatan untuk berani menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia," kata Asro yang juga anggota Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA itu.

Dikatakannya, bahwa Pemerintah Indonesia tidak berani menghentikan pengiriman TKI karena tidak bisa memberi lapangan pekerjaan bagi jutaan TKI yang saat ini mengadu nasib di negara jiran itu.

Contoh lain seperti kepemilikan perkebunan sawit di Indonesia yang sebagian besar dipegang pengusaha Malaysia harus dilihat secara rasional karena mereka yang memiliki uang, begitu juga dengan bisnis-bisnis lain yang dikuasai Malaysia.

Terkait buku "Maumu Apa Malaysia", Asro mengaku bangga bahwa ada karya intelektual dengan bahasa jurnalisme dan fakta yang baik yang ditulis sehingga mampu membuka mata semua orang tentang hubungan Indonesia dengan Malaysia.

Hal senada diungkapkan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Alfitra Salaam yang juga menjadi salah satu narasumber acara bedah buku tersebut.

Dikatakan Alfitra, isu yang diangkat dalam buku tersebut adalah fakta dan buku yang digarap hanya dalam waktu tiga minggu itu benar-benar berisi dan memahami tentang perasaan orang Indonesia terhadap Malaysia.

Ia juga menilai bahwa kebudayaan Malaysia belum tuntas dan tidak ada yang realitas, yang disebutnya dengan "budaya mampir" seperti budaya China, Melayu dan India, sebab tidak ada yang benar-benar budaya Malaysia.

"Karena sedang mencari identitas diri, sehingga mereka ambil budaya ke mana-mana. Pencarian identitas ini yang menimbulkan perselisihan antara Indonesia dengan Malaysia," kata Alfitra.

Dia juga menambahkan, bahwa keadaan tersebut harus dipahami sehingga warga Indonesia tidak perlu emosi, tapi seharusnya bersyukur bahwa budaya Indonesia seperti Reog, batik dan lainnya sudah dikampanyekan.

Dikatakannya, hampir 20 tahun masalah antara Malaysia dengan Indonesia tidak terselesaikan dan terkesan ditutup-tutupi seperti kasus Pulau Sipadan yang sebenarnya sudah mencuat sejak 1967.

"Jika kita mau aman, selesaikan semua permasalahan secara tuntas dan dengan dialog," demikian Alfitra Salaam.
(D016/B010)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010