Jakarta, (ANTARA News) - "Kalo Belanda juara dunia berarti nyong Ambon yang angkat Trofi Piala Dunia? Bravo Maluku," tulis seorang bernisial Dave Mollucas penuh harap di sebuah situs harian nasional sebagai euphoria dari perhelatan akbar Piala Dunia Afrika Selatan 2010.

Belum cukup menggantung harap, dua penulis lain kemudian menimpalinya dengan mengutarakan rembetan keprihatinan seputar sepak bola nasional. "Ingat Ambon manise...nyong Ambon yang hebat," tulis Hadi.

"Bronckhorst, kapan-kapan ke Maluku ya biar tahu kalau di sana gudang pemain bola, tapi sayang tidak ditangani serius oleh PSSI," tulis Vand der Liek pula.

Tiga keping uneg-uneg tertulis itu mengarah kepada kapten "Oranje", Giovanni van Bronckhorst. Aksi perorangan dari sosok yang tidak bule seperti layaknya orang Belanda umumnya itu lantas mengundang tanya, siapa dia sebenarnya dan apa yang telah dia lakukan bagi negerinya itu?

Publik pencinta bola global melontarkan decak kagum. Van Bronckhorst tampil fenomenal pada babak empat besar di Cape Town, Rabu (7/7/10) dini hari WIB. Ban kapten yang membelit di lengannya menandakan bahwa ada tanggung jawab yang diserahkan kepadanya.

Berpenampilan kalem dan bersiap menginspirasi rekan-rekannya di lapangan hijau, bek kiri timnas Belanda itu menghantarkan "The Flying Dutchmen" menuju final `event` empat tahunan itu.

Lahir di Rotterdam, van Bronckhorst digadang-gadang punya nenek moyang asal Maluku. Ya, Indonesia. Ada noktah prestasi tak terlupakan. Ia mencetak sebuah gol pembuka bagi "Oranje" ketika melawan Uruguay di semifinal Piala Dunia 2010.

Buuummm..., bak letusan meriam, sontak penonton seluruh penonton stadion terhenyak. Sebuah tendangan keras jarak jauhnya dari luar kotak penalti menghunjam ke sudut kiri gawang Uruguay yang dijaga oleh Fernando Muslera. Komentator televisi berujar, kiper mana pun di dunia ini akan sulit meraih dan menjangkau Jabulani. Belanda ungggul 1-0.

Dia juga melakoni aksi penyelamatan pada menit ke-49, ketika skor imbang 1-1, dengan menyundul bola yang menuju ke gawang yang tidak terkawal lagi. Paling tidak, dua aksi perorangan yang diperagakan mantan pemain Barcelona itu mengikat dan memikat memori pencandu bola.

Ketika menginjak usia 35 tahun, ada setangkup harap bahwa tim yang dibelanya itu beroleh gelar juara. Setelah itu, ia berikrar akan gantung sepatu usai turnamen kolosal ini. Secara terang benderang, ini penampilan terakhir dan terindah selama dia berkiprah di arena sepak bola.

Harap campur bangga, publik pencinta bola nasional boleh urun gembira karena van Bronckhorst punya nenek moyang orang Indonesia. Bukan soal ikut nebeng populer bahkan nimbrung sukses, kiprah salah satu pemain negeri Kincir Angin itu memantik kebanggaan bahwa ada titik-titik harapan di seberang sana bagi bibit-bibit muda punggawa Merah Putih.

Sekurang-kurangnya ada tiga pemain timnas Belanda yang disebut-sebut punya darah Indonesia, yakni John Heitinga, Robin Van Persie dan Demy De Zeeuw. Ada juga Radja Nainggolan yang kini membela timnas Belgia, demikian catatan dari situs Goal.

Darah Indonesia begitu deras mengalir pada sejumlah pemain muda di luar negeri. Sederet nama pemain U-23 keturunan Indonesia kini berlaga di sejumlah klub Belanda.

Menurut catatan Bola, mereka adalah Donovan Partosoebroto yang bermain untuk tim Ajax Junior, Lucien Sahetapy (BV Veendam Junior), Raphael Tuankotta (BV Veendom), Estefan Pattinasarany (AZ Alkmaar Junior), Michael Timisela (Ajax), Christian Supusepa (Ajax Junior), Justin Tahapary (FC Eindhoven), Marvin Wagimin (VVV-Venlo), Peta Toisuta (Zwolle), Tobias Waisapy (Feyenoord Junior), Raymond Soeroredjo (Vitesse Junior), Yoram Pesolima (Vitesse Junior), Raphael Supusepa (MVV Maastricht), Levi Risamasu (AGOVV), Marciano Kastoredjo (De Graaftschap), David Ririhena (TOP Oss), Joas Siahaija (MVV), Irfan Bachdim (eks Utrecht).

Dengan memanfaatkan momentum van Bronckhorst di Piala Dunia 2010 bersama seruan khas Maluku, "Ingat Ambon Manise...," ada setumpuk gawe konkret bagi PSSI untuk memajukan sepak bola nasional, salah satunya memanggil para pemain muda itu yang rata-rata bermain di Liga Belanda untuk memperkuat Tim Merah Putih di level U-23 dan tim senior.

Bukankah euphoria Piala Dunia membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau berbuat sesuatu demi mewujudkan timnas sepak bola yang handal.

"Kalau tidak ada langkah konkret, sampai Lebaran Kuda sepak bola Indonesia akan begini terus," kata Presiden saat membuka rapat kabinet terbatas bidang politik, hukum, keamanan, kesejahteraan rakyat dan ekonomi di kantor Presiden, Jakarta.

"Kenapa Indonesia tidak bertekad? Dalam jangka menengah tidak usah tingkat dunia dulu, tapi bisa di Asia Tenggara dulu. Menko Kesra tolong dengarkan aspirasi rakyat, saya serius ini," katanya.

Presiden akan memanggil Ketua Umum KONI/KOI Rita Subowo dan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid untuk mengagendakan pembicaraan mengenai peningkatan prestasi sepak bola nasional.

"Saya memang dengar kabar bahwa Presiden akan memanggil PSSI dan KONI/KOI. Kalau itu memang terwujud akan sangat baik sekali," kata Sekjen PSSI Nugraha Besoes, sebagaimana dikutip dari harian TopSkor.

Momentum van Bronckhorst bagi sepak bola nasional dalam cahaya Lebaran Kuda tidak berdaya guna bila PSSI menempuh jalan pintas serba instan, misalnya mengirimkan timnas senior junior berguru ke luar negeri dengan biaya miliaran rupiah.

Kalau saja PSSI berencana mendatangkan pemain blasteran masuk timnas, maka pertanyaannya, apakah skuad muda yang berkiprah di Eropa itu rela menanggalkan paspor Belanda dan hanya memegang paspor Indonesia?

Post Scriptum, para pengamat bola sudah berbusa-busa bicara bahwa kompetisi tingkat nasional yang ajeg, pembinaan pemain muda yang terencana dan pengelolaan organisasi PSSI yang transparan, jadi awal yang menjanjikan bagi prestasi sepak bola nasional.

Bukankah pepatah Belanda menyebutkan, awal yang baik berarti setengah pekerjaan telah selesai? Mumpung ada momentum dari sosok Giovanni van Bronckhorst.
(A024/H-KWR)

Pewarta: A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010