Yogyakarta (ANTARA News) - Pernyataan Wakil Presiden Boediono saat menutup Muktamar Seabad Muhammadiyah di Yogyakarta, Kamis, tampaknya memberikan angin segar dan rasa optimisme bagi jajaran kepengurusan pimpinan pusat organisasi Islam tertua di Indonesia itu.

Betapa tidak, di tengah ramainya berbagai isu yang berkembang bahwa hubungan Muhammadiyah dan pemerintah yang kurang harmonis, pernyataan Wapres Boediono mampu membuat pengurus pusat periode 2010-2015 bisa tersenyum lebar.

Ketidakharmonisan pemerintah dengan Muhammadiyah sebelumnya sempat mengemuka, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara fisik tidak menghadiri muktamar akbar seabad pada 3 Juli 2010, yang kegiatannya diadakan di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta.

Presiden saat itu hanya membuka muktamar melalui satelit atau "teleconference", karena Presiden "lebih memilih" berada di Madinah, Arab Saudi, untuk umroh setelah sebelumnya melakukan perjalanan kenegaraan ke Kanada dan Turki.

Namun pada saat Boediono bersedia hadir untuk menutup muktamar yang berlangsung 3-8 Juli itu, rasa optimisme akan membaiknya hubungan pemerintah dan Muhammadiyah muncul.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai, pernyataan Wakil Presiden Boediono dalam penutupan muktamar sudah mampu mengakhiri isu ketidakharmonisan Muhammadiyah dengan pemerintah.

"Saya menyambut baik sejumlah pernyataan yang disampaikan Wapres tadi. Isinya sungguh membahagiakan dan melegakan, sehingga bisa menyelesaikan isu adanya masalah antara kita (Muhammadiyah) dengan pemerintah," kata Din Syamsuddin.

Din menilai, beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Wapres sangat diapresiasi, karena menekankan pentingnya hubungan yang baik dan saling membutuhkan antara pemerintah dengan Muhammadiyah.

"Ajakan pemerintah tersebut adalah sinyal baik yang ditawarkan oleh pemerintah kepada kita. Muhammadiyah tentunya sangat berkeinginan bersama pemerintah bekerja sama untuk memajukan bangsa dan negara," kata Din.

Muhammadiyah, katanya, sejak dini memang telah berkeinginan untuk membuka diri menjalin kemitraan, saling memerlukan dan saling mementingkan dengan pemerintah, sehingga komitmennya untuk bermitra dengan pemerintah tidak perlu diragukan.

Dia sendiri telah memiliki sikap bahwa PP Muhammadiyah terhadap pemerintah tetap kritis, yakni akan mengkritik jika memang melakukan kesalahan atas dasar loyal kritis.

"Kita akan bersikap proporsional terhadap pemerintah dan hal itu sudah menjadi watak Muhammadiyah," katanya.

Menurut dia, Muhammadiyah selalu baik dengan pemerintah karena organisasi Islam tertua di Indonesia itu ikut mendirikan negara, maka komitmen terhadap negara dan bangsa bersifat substansif, sejati, dan institusional kepada negara dan pemerintah.

Oleh sebab itu, katanya, siapapun presiden dan pemerintah, pihaknya tetap loyal kepada pemerintah dan negara.

Tapi, katanya, Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah "Amar ma`ruf nahi munkar" tidak akan berhenti melakukan "Amar ma`ruf nahi munkar" pemerintah, yakni dengan cara mengkritik pemerintah jika memang salah.

Amar ma`ruf nahi munkar adalah mengajak berbuat kebaikan dan mencegah perbuatan yang buruk.

"Inilah yang saya sebutkan hubungan proporsional atas dasar loyal kritis antara Muhammadiyah dan pemerintah," kata Din.

Menurut dia, jika Muhammadiyah melakukan kritik kepada pemerintah maka hal itu justru berarti pihaknya menyatakan cinta dan sayang kepada pemerintah, sehingga hal itu tentu tidak akan menjadi masalah.

Dengan sikapnya seperti itu, dia mengatakan sekarang terserah kepada pemerintah, kepada petinggi negara, bagaimana sikap terhadap Muhamamdiyah.

"Tapi saya tetap berkeyakinan sikap pemerintah terhadap kita pasti akan selalu baik," katanya menegaskan.

Ajak kerja sama
Wapres Boediono meminta Muhammadiyah untuk bersiap diri menghadapi empat tantangan global demografi dalam sepuluh tahun mendatang.

"Saya yakin, Muhammadiyah mampu menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks antara lain empat megatren demografi global, yang akan mengubah sejarah dunia," kata Wapres.

Dia mengatakan, empat tantangan demografi global itu adalah pertama jumlah penduduk di negara-negara maju akan terus berkurang dibandingkan negara-negara berkembang.

"Hal itu akan menyebabkan pergeseran kekuatan ekonomi dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Kebangkitan raksasa ekonomi India dan China adalah tanda-tanda zaman yang harus kita hadapi," kata Boediono.

Kedua, penduduk usia tua akan mendominasi populasi negara-negara maju yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi di negara maju.

Kondisi itu itu akan memicu meningkatnya permintaan tenaga migran sehingga pergerakan manusia antarnegara akan terus meningkat, dengan beragam implikasinya, sosial, ekonomi dan budaya, tutur Wapres.

"Ketiga, pertumbuhan penduduk akan terkonsentrasi di negara-negara Islam. Enam puluh tahun yang lampau, tahun 1950-an, populasi Indonesia, Mesir, Bangladesh, India, Pakistan dan Turki mencapai 242 juta. Pada 2009, total penduduk di enam negara itu mencapai hampir empat kali yakni 886 juta manusia. Dan pada 2050 nanti akan mencapai 1,3 miliar," ujarnya.

Wapres menambahkan, "Itu merupakan angka yang sangat fantastis dan akan memiliki konsekuensi-konsekuensi besar dalam perimbangan global,".

Megatren demografi keempat adalah sebagian besar penduduk akan terkonsentrasi di wilayah perkotaan.

"Manusia akan banyak meninggalkan pedesaan. Kota-kota seperti Mumbai, Shanghai termasuk Jakarta, akan tumbuh dengan jumlah penduduk terbesar dan akan menimbulkan berbagai persoalan yang terkait urabnisasi," tutur Boediono.

"Dan Indonesia akan berada di tengah-tengah pergeseran sejarah itu. Dalam satu dekade mendatang Indonesia akan didominasi penduduk usia 16 -65 tahun. Hal itu merupakan tantangan sekaligus peluang emas," kata Wapre.

Boediono mengatakan, kondisi itu memberikan peluang pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi.

Namun, juga merupakan tantangan untuk dapat mendukung pertumbuhan itu semisal penyediaan lapangan pekerjaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Wapres Boediono mengajak Muhammadiyah untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara, dengan tujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.

"Ada peluang besar bagi Muhammadiyah untuk bahu-membahu menyelesaikan masalah bangsa bersama pemerintah. Muhammadiyah adalah aset bangsa yang sebenarnya adalah milik kita semua yang harus dijaga," kata Boediono.
(A025/Z002)

Oleh Ahmad Wijaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010