Jakarta (ANTARA News) - Gagasan pemikiran Asianisasi Asia demi memperkuat identitas Asia rupa- rupanya oleh kalangan elit, termasuk kelas menengah di Indonesia, agaknya masih belum dianggap suatu visi realistis untuk diwujudkan.

Oleh karena itu, para pembuat-perubahan (change-makers) Asia tetap diharapkan ke masa depan memberi substansi menghadapi dasa warsa kedua abad 21 dengan menumbuhkan arah peta Asia baru.  Mereka adalah elit yang masih segar, terdiri dari kelas menengah generasi muda yang mau tetap fokus. Meskipun bisa saja  arah gejala (trend) dapat dalam pola pikiran jangka pendek mereka melemah hingga terjebak dalam kebuntuan/stagnasi berpikir atau mendadak menghentikan proses Asianisasi Asia.

Lantas, apa intinya Asianisasi Asia?

Yoichi Funabashi, ekonom Jepang dalam makalah “Asianisation of Asia” (1993), sudah jauh-jauh hari mengungkapkan dan memancing tanggapan riil sebagai berikut “….Akhirnya Asia perlu mulai sadar untuk mendefinisikan dirinya. Kesadaran dan identitas Asia makin mencuat dalam kehidupan …Kesadaran Asia diwujudkan itu secara nyata (animated) oleh pragmatisme sehari hari, kebangunan sosial suatu kelas menengah dan barisan teknokrat yang sadar keAsia-an mereka….”

Tantangan yang makin  hidup membawa para pembuat perubahan ini untuk membuat Asia makin dinamis dalam arti kawasan yang berpeluang setara dalam internasionalisasi. Tetap dibutuhkan barisan pemimpin dan aktor kelas menengah yang memiliki visi dan fokus yang terarah (clear-sighted) dan tidak mudah terombang-ambing oleh pemikiran-pemikiran jangka pendek yang ujung-ujungnya penuh ilusi.  

Dua kriteria kepemimpinan ini dibutuhkan untuk memberdayakan masyarakat memberi substansi pada Asianisasi Asia, melalui pembentukan apa yang dikenal sebagai modal manusia (human capital) yang tumbuh visioner dan berjiwa kewirausahaan.   

Argumentasinya walaupun sudah satu dasawarsa lalu, bukanlah suatu sikap defensif dan pasti bukan hegemonis  terhadap kawasan luar Asia. Asianisasi  menggalang Asia Timur juga dalam berinteraksi pada  tataran kesetaraan dengan Barat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Asia adalah Asia Timur=Asean Plus Three).
 
Dengan menyadari dan memahami kecenderungan mewujudkan Asianisasi Asia, kalangan elit, kelas menengah dan pebisnis Indonesia hendaknya melalui berjaringan kerja diawali lintas fungsional, untuk digalang lintas sektoral, tanpa segala macam bombasme/arogansi kultural. Mereka perlu menyusun rencana dan program dan jadwal waktu yang layak dalam mensosialisasi Komunitas Ekonomi Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang dicanangkan bersama mulai sekarang, dan selanjutnya ke komunitas ekonomi Asia Timur 2015 sebagai sarana Asianisasi Asia.

Dalam kebersamaan Asia saatnya membangun “dunia lain yang layak” (another world is possible) dengan me  idengutamakan jatidiri Asia, dan bukan berideologi ke model neo-liberalisme Amerika Serikat (AS), yang terbukti dalam banyak hal makin tidak relevan.

Prediksi meningkatnya pertumbuhan ekonomi Asia Timur memasuki dasa warsa kedua abad 21 ini dilandasi beberapa dasar anggapan (premises), yakni industri manufaktur awalnya padat kerja dan kemudian meningkat  menjadi industri berdasar padat (technology intensive), seperti teknologi  elektronik dan elektrik  memasuki tahapan peningkatan mutu dan perluasan. Jepang sebagai satu satunya negara maju Asia mulai tahun 1970an, industri padat teknologi  merupakan model daya geraknya unik yang menjalar ke negara negara Asia Timur.

Dipelopori pelaku ekonomi Jepang yang sudah mendunia, China sejak 1990an yang secara spektakuler melakukan ekspansi ekonomi dengan kebijakan gaige kaifang (membuka diri disertai reformasi). Upaya menumbuhkan jiwa kewirausahaan bangsanya dan  mengalirnya investasi tidak hanya di kawasan Timur, tetapi juga sampai di kawasan barat dan pusat. Ekspansi ekonomi dengan dukungan pengembangan infrastruktur manusia dan fisik, secara gradual menekan tingkat pengangguran.  

Bangsa Asia Timur, termasuk ASEAN, tentunya berproses belajar mengembangkan kapasitas sebagai kawasan yang makin innovation friendly, terutama dalam dasa warsa mendatang. Hal ini dapat sebagai bahan perbandingan terhadap realita selama ini yang menunjukkan berbagai proses kegagalan globalisasi model AS. Oleh karena itu, sebagai opsi, kita disadarkan untuk  menyaksikan dan mengalami munculnya berbagai bentuk baru kerjasama regional.  

Dalam dunia yang makin terbuka, maka globalisasi dan regionalisme merupakan proses paralel yang  tidak saling bertentangan dalam arti regionalisme terbuka (open regionalism)  merupakan suplemennya multi-lateralisme. Regionalisme dapat menyediakan suatu kerangka kerja yang   tepat guna untuk menanggapi berbagai tantangan dunia.       

Sejumlah faktor yang  relevan memperkuat proses regionalisme. Sejumlah negara yang terlibat  dalam kerjasama regional secara geografis bertetangga satu sama lainnya, memiliki sarana pertukaran yang intensif dalam kerjasama isu-isu ekonomi, sosial dan politik. Terdapat  pendalaman kerjasama regional dalam menangani tekanan tekanan persaingan global  yang mereka hadapi.  

Bangsa Asia memiliki kedekatan budaya (cultural affinity) yang lebih memudahkan proses kerjasama. Misalnya, berjaringan kerjasama atas dasar saling percaya-mempercayai, beretika dalam  mencari  solusi ketika timbul ketidakserasian dalam proses kerjasama tertentu. Dalam ajang persaingan dengan pihak pelaku negara luar kawasan, maka sifatnya harus dibuat adil (fair), dan bukan hanya  ajang kesetaraan operasi (level playing field), tapi menghargai visible hand  demi  keadilan bersama (fairness) Pemerintahan Asia masing masing .
 
Inilah tantangan kita semua yang harus ditanggapi secara professional, beretika dan berkesinambungan.

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia Timur, dan  Dosen  Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta.

Oleh Oleh Bob Widyahartono, MA *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010