Magelang (ANTARA News) - KH Idham Chalid (88), mantan Ketua DPR/MPR dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang wafat pada Minggu, mengajarkan kehidupan damai masyarakat Indonesia terutama umat Islam dan generasi muda bangsa, kata Sekretaris Pengurus Cabang NU Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Asfuri Muhsis.

"Beliau berjuang keras, mengajarkan kehidupan damai dan tenteram, masyarakat sekarang bisa meneladani apa yang telah diajarkan," katanya usai pertemuan koordinasi antara jajaran PC NU Kabupaten Magelang dengan Majelis Wakil Cabang NU Kecamatan Tempuran, di Magelang, Minggu.

Ia mengatakan, Idham Chalid sebagai pribadi yang integral, bukan hanya milik warga NU tetapi seluruh komponen bangsa Indonesia.

Selain sebagai politikus, katanya, Chalid juga negarawan yang cerdas dan akomodatif terhadap berbagai aspirasi masyarakat.

Ia berpendapat, gagasannya mencerminkan pandangannya yang luas, bagi kepentingan kemajuan bangsa dan negara.

"Hidupnya telah diabdikan untuk kepentingan bangsa dan negara, sehingga semasa hidupnya beliau menduduki berbagai jabatan penting dan menjadi tokoh nasional baik pada era pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru," katanya.

Gagasan Chalid tentang kehidupan demokrasi, katanya, patut terus dikembangkan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa mendatang.

Budayawan NU Kabupaten Magelang KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) mengemukakan, Indonesia kehilangan tokoh penting yang telah menjadi bagian dari perjalanan panjang sejarah bangsa karena Chalid meninggal dunia.

"Bangsa Indonesia kehilangan, beliau termasuk bagian dari sejarah bangsa ini. Khusus di internal nahdliyin, beliau tokoh kami," kata Gus Yusuf yang juga pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang itu.

Ia mengemukakan, karakter kepemimpinan almarhum yang berjiwa ikhlas dalam berjuang dan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan semua pihak telah membuatnya tetap eksis baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Upaya beliau memperjuangkan idealismenya bagi kemajuan bangsa dan negara, katanya, tanpa meninggalkan posisi dirinya sebagai seorang kiai.

"Di tengah impitan situasi politik terutama masa Orde Baru, beliau eksis memperjuangkan idealismenya, mampu berkomunikasi dengan semua pihak, memerankan diri sebagai politisi ulung namun tetap kukuh sebagai seorang kiai, tanpa meninggalkan jati diri sebagai ulama NU. Jadi kemampuan berpolitik cukup dikuasai dengan dilandasi ketekunan menjalankan ritual ibadahnya," katanya.

Gus Yusuf yang juga salah satu tokoh seniman Komunitas Lima Gunung Magelang itu menyebut Chalid sebagai pribadi yang seimbang antara kepentingan rohani dengan duniawi.

"Tidak seperti politikus saat ini yang sibuk dengan urusan-urusan politik tetapi tidak menjalankan secara konsekuen ritual ibadahnya," katanya.

Generasi muda, katanya, patut belajar dan meneladan ketokohan Chalid serta meneruskan cita-citanya bagi kemajuan negara dan bangsa pada masa. mendatang.

Idham Chalid meninggal dunia pada Minggu (11/7) sekitar pukul 08.00 WIB di rumah duka Pondok Pesantren Daarul Maarif, Cipete, Jakarta Selatan, setelah selama 10 tahun terakhir berjuang melawan serangan jantung dan stroke.

Pemakaman jenazah rencananya pada Senin (12/7) di Ponpes Darul Quran, milik keluarga, di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, karena menunggu kehadiran sebagian putra-putri dan sanak saudara yang tinggal baik di Kalimantan Selatan maupun berbagai daerah lain di Tanah Air.

Idham Chalid lahir pada 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan.

Beliau pernah menduduki berbagai posisi penting tingkat nasional antara lain sebagai Ketua Umum PB NU 1956-1984, Ketua DPR/MPR 1972-1977, dan tokoh pendiri Partai Persatuan Pembangunan.
(U.M029/Z003/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010