Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak menegaskan bahwa dirinya siap diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi divestasi saham PT Kaltim Prima Coal senilai Rp576 miliar, asalkan sudah ada izin dari Presiden.

"Saya mau saja diperiksa. Tapi Menteri Dalam Negeri mengatakan, anda tidak boleh diperiksa kecuali ada surat izin dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata Awang Faroek saat bertemu dengan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman di Gedung DPD/DPR/MPR di Jakarta, Rabu.

Dikemukakannya bahwa dalam proses hukum itu dirinya akan tetap menempuh cara-cara konstitusional.

"Saya bahkan melarang pendukung saya yang jumlahnya ribuan untuk datang ke Jakarta," ungkap Awang.

Namun demikian, ia menambahkan, bila dirinya diganggu terus menerus, maka tidak tertutup kemungkinan para pendukungnya bergerak ke Jakarta.

"Kalau saya diganggu terus begini, pendukung saya tidak sabar. Jangan dianggap enteng. Jangan coba-coba ganggu Kaltim yang sudah kondusif. Kalau Kaltim diganggu, saya yakin pasti ribut. Cukup sudah kasus Sampit saja," ancam Awang.

Pada bagian lain, Awang mengungkapkan penilaiannya bahwa penetapan dirinya sebagai tersangka sarat dengan unsur politis.

"Ada unsur politis dengan penetapan saya sebagai tersangka," kata dia yang didampingi Ketua DPD Irman Gusman.

Sementara itu Ketua DPD Irman Gusman berjanji akan memberikan bantuan kepada Awang Faroek secara formal maupun informal.

"Kami akan mendukung Pak Awang (Awang Faroek)," kata Irman.

Irman menambahkan, dirinya akan membicarakan masalah hukum Awang dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji dan juga Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.

"Saya akan menelpon Hendarman dan Gamawan untuk mendengarkan lebih jauh soal penetapan Awang Farouk dalam kasus divestasi dana PT Kaltim Prima Coal (PT KPC)," kata Irman.

Ditempat yang sama, anggota DPD dari Kaltim Bambang Susilo mengatakan, kasus penetapan Awang sebagai tersangka adalah politis.

"Ada pengusaha Jakarta yang menghantam Pak Awang terkait dengan usaha mereka di Kaltim," kata Bambang.

Awang Faroek Ishak dan mantan Bupati Kutai Timur (Kutim), ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait kasus divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang merugikan keuangan negara Rp576 miliar.

Kejagung sebelumnya juga sudah menetapkan dua tersangka, yaitu Anung Nugroho (Direktur Utama PT Kutai Timur Energy) dan Apidian Tri Wahyudi (Direktur PT Kutai Timur Energy). Kasus tersebut terkait dengan penjualan saham PT KPC milik Pemda Kutai Timur oleh PT Kutai Timur Energy.

Jampidsus M Amari menyebutkan Awang Faroek dijerat Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 ayat (5), Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. "Tindakan Awang Faroek itu bertentangan dengan UU tentang Keuangan Negara," katanya.

Jampidsus menjelaskan berdasarkan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) dan Frame Work Agreement antara PT KPC dengan pemerintah RI, pihak KPC berkewajiban menjual sahamnya sebesar 18,6 persen kepada Pemda Kutai Timur. Pada 10 Juni 2004, hak membeli saham PT KPC itu dialihkan ke PT KTE.

"PT KTE ternyata tidak memiliki uang untuk membeli saham, sehingga PT KTE berdasarkan Suplemental Atas Perjanjian Jual Beli Saham tanggal 23 Februari 2005, mengalihkan hak membeli sahamnya sebesar 13,6 persen ke PT Bumi Resources," katanya.

Atas pengalihan hak membeli saham itu, kata dia, PT Bumi Resources wajib memberikan kepemilikan saham sebesar 5 persen kepada PT KTE.

Berdasarkan perjanjian kepemilikan saham lima persen itu adalah milik Pemda Kutai Timur. Pada 14 Agustus 2006, Awang Faroek mengajukan permohonan kepada DPRD Kutai Timur tentang permohonan penjualan saham lima persen tersebut.

Kemudian dengan dalih sudah mendapatkan persetujuan dari Pemda Kutai Timur dan DPRD Kutai Timur, tersangka Anung Nugroho menjual saham lima persen kepada PT Kutai Timur Sejahtera seharga Rp576 miliar.

"Namun hasil penjualan saham itu, tidak dimasukkan ke kas Pemda Kutai Timur (saat itu, bupatinya Awang Faroek Ishak," katanya.

(ANT-134/D011/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010