Jakarta (ANTARA News) - Angka kematian bayi dan anak berusia di bawah lima tahun (balita) yang ayahnya merokok lebih tinggi jumlahnya dibanding mereka yang ayahnya tidak merokok, kata Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Widyastuti Soerojo.

"Angka itu hasil survei 360.000 keluarga miskin perkotaan dan pedesaan," kata dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia (FKM UI0 itu dalam seminar "Meningkatkan Harkat dan Martabat Konsumen dengan Informasi Jelas dan Benar dan Perlindungan Hukum" di Jakarta, Senin.

Kematian bayi di kota dengan ayah merokok 6,3 persen, sedangkan pada ayah tak merokok 5,3 persen, sedangkan kematian bayi di desa dengan ayah merokok 9,2 persen sedangkan pada ayah tak merokok 6,4 persen, ujarnya.

Ia mengemukakan, kematian balita di kota dengan ayah merokok 8,1 persen sedangkan pada ayah tidak merokok 6,6 persen, sedangkan kematian balita di desa dengan ayah merokok 10,9 persen sedangkan pada ayah tak merokok 7,6 persen.

Sementara itu, Arini Setiawati dari Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran (FK) UI mengatakan bahwa asap tembakau mengandung lebih dari 4.000 zat kimia, di mana lebih dari 250 zat merupakan toksik (racun) atau karsinogenik (penyebab kanker).

"Zat kimia dalam asap tembakau, antara lain aseton yang juga ada pada pelarut cat, zat butan ada pada cairan pemantik, arsen ada di racun tikus, cadmium ada di baterei mobil, karbonmonoksida ada di asap knalpot, atau benzpiren ada pada asap kayu bakar," katanya.

Namun demikian, ujar dia, merokok tetap menyebabkan adiksi atau ketergantungan pada nikotin, hal itu karena dengan nikotin perokok mendapatkan kesenangan dan ketenangan.

Setelah rokok yang mengandung 6-11 mg nikotin diisap, 1-3 mg nikotin akan masuk ke otak dalam beberapa detik melalui peredaran darah paru dan berikatan dengan reseptornya di suatu area di otak tengah sehingga menyebabkan pelepasan dopamin di Nucleus Accumbens. Dopamin ini menimbulkan perasaan senang dan tenang, tambahnya.

"Adiksi merokok terjadi karena ada penurunan dopamin sewaktu tidak merokok sehingga timbulah gejala "withdrawal" berupa cepat marah, cemas, sukar konsentrasi, dan stres yang membuat perokok sangat mengharapkan asap rokok agar melepas Dopamin untuk mengembalikan kesenangan dan ketenangan tadi," katanya.

Nikotin juga menyebabkan pelepasan zat-zat lain termasuk morfin endogen yang menyebabkan perokok menjadi waspada, mudah konsentrasi, nafsu makan menurun dan ambang sakit meningkat.

"Dosis toksik tembakau adalah 3-6 gram yang gejala keracunannya berupa mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, sukar bernafas, pingsan dan kejang-kejang," katanya.

Berhenti merokok tiga bulan saja, ujarnya, membuat fungsi paru membaik dan berkurangnya batuk dan sesak nafas, berhenti setahun maka resiko penyakit jantung turun 50 persen, sedangkan berhenti lima tahun resiko stroke menjadi sama dengan yang tidak merokok.
(T.D009/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010