Semarang (ANTARA News) - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah menyambut baik terpilihnya kembali KH Sahal Mahfudz sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Menurut Ketua PWNU Jateng, M. Adnan di Semarang, Rabu, Kiai Sahal (panggilan KH Sahal Mahfudz, red.) adalah sosok ulama yang berpikiran moderat dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa.

"Alhamdulillah, kami menyambut baik terpilihnya kembali Kiai Sahal sebagai Ketua Umum MUI, sebab MUI memang masih membutuhkan figur ulama yang moderat untuk mengayomi masyarakat Indonesia," katanya.

Ia mengatakan terpilihnya kembali Kiai Sahal akan memberikan dampak positif bagi kehidupan umat Islam di Indonesia yang mayoritas memang memiliki pandangan Islam yang cenderung moderat.

Pemimpin MUI, kata dia, tidak cukup hanya diemban oleh ulama yang hanya kuat dari segi keislamannya, tetapi juga harus didukung pemikirannya yang kuat mengenai nilai-nilai kebangsaan.

"Beliau (Kiai Sahal, red.) tidak hanya kuat secara pemikiran mengenai keislaman, tetapi pemikirannya juga mencerminkan nilai kebangsaan dan keberagaman masyarakat Indonesia," katanya.

Namun, kata dia, pihaknya tetap berharap MUI tidak lagi seperti waktu awal terbentuknya lembaga tersebut, yakni menjadi alat legitimasi kekuasaan, terutama saat pemerintahan Orde Baru.

"MUI harus menjaga keseimbangan antara kepentingan penguasa dan umat, apalagi habitat asli ulama adalah umat, bukan penguasa. Tidak boleh saling membenturkan, apalagi diskriminatif," katanya.

Adnan mengharapkan MUI sebagai lembaga yang berisi para ulama sebaiknya selalu melihat ke bawah dan mengakomodasi umat, tidak boleh selalu melihat ke atas dan memihak penguasa.

Selain itu, ia juga berharap pengurus MUI periode ke depan tidak terlalu gampang mengeluarkan fatwa, apalagi untuk hal-hal yang tidak terlalu penting dan cenderung sepele.

"Selama ini, banyak fatwa MUI yang sebenarnya tidak menyentuh perkara yang sangat krusial, misalnya persoalan yang dapat mengganggu akidah dan menyebabkan perpecahan umat," katanya.

Fatwa, kata dia, harus dikeluarkan untuk menyikapi persoalan-persoalan krusial seperti itu, kalau tidak terlalu krusial sebaiknya tidak perlu dikeluarkan dalam bentuk fatwa.

Ia mencontohkan fatwa terkait paham pluralisme yang menyamakannya sebatas perkawinan antarpemeluk agama, padahal hal itu menyangkut hubungan sosial yang tidak berkaitan langsung dengan akidah.

"Jangan sampai terjadi `inflasi` fatwa, karena terlalu gampang MUI mengeluarkan yang dapat menyebabkan fatwa-fatwa MUI akhirnya justru tidak dipedulikan lagi oleh masyarakat," kata Adnan.(*)
(U.KR-ZLS/M028/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010