Jakarta (ANTARA News) - Meski lebih dikenal sebagai organisasi massa (ormas) Islam yang berbasis di pedesan, ternyata Mathla`ul Anwar (MA) tidak takut menjadi besar seperti ainnya, Muhammadiyah ataupun Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam memajukan dakwa, pendidikan dan kegiatan ekonomi sosial lainnya di tanah air, para pengurus MA tak berkecil hati dalam bersaing memajukan masyarakat muslim. Apalagi punya rasa minder atau rendah diri . Bagi MA, hal itu sangat tabu.

Dalam perspektif historis, sejak kelahiran dan masa kini, kualitas jebolan MA baik di level bawah seperti madrasah maupun strata atas dari kalangan universitasnya, nyatanya mampu bersaing.

Dengan sebutan lain, kualitas yang dihasilkan dari lembaga pendidikan MA cukup membanggakan di tengah masyarakat. Ini berarti pula, alumni MA mampu bersaing untuk berlomba memajukan umat di berbagai tempat. Tak terkecuali di lingkungan perkotaan dan pergaulan internasional.

Mampu bersaing dalam kebajikan, kebaikan dan perubahan ke arah positif. Fastabikul khoirot, sebagaimana diamanatkan pendiri MA.

Dalam alam demokratis dewasa ini, paradigma MA kini sudah berubah. Berlomba dalam kebaikan tetap menjadi suatu kewajiban, dan untuk itu pula kepengurusan MA pada periode 2010-2015, mencanangkan pembaharuan, dengan jalan antara lain penguatan organisasi dan perluasan jaringan kerja untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dakwah sosial dan ekonomi.

MA yang lahir di Menes, Banten, 94 tahun silam memiliki kekuatan untuk membangun karakter bangsa dengan akhlak mulia. Pada muktamar ke-18 di Serang, kembali ditegaskan akan komitmennya bahwa Ormas ini tetap inklusif dan independen. Bebas dari politik praktis.

Ikhlas adalah kata kunci untuk memajukan MA ke depan. Pasalnya, degradasi moral dan ahlak di tengah masyarakat belakangan ini makin kuat. Hedonisme dan "mentuhankan" materil makin menggejala.Sementara kekuatan ekonomi di kalangan anggota dan bahkan pengurus tidak terlalu menggembirakan.

Uang adalah salah satu instrumen untuk menggerakkan MA, baik dari sisi pendidikan, dakwah, dan sosial ekonomi. Namun mengingat anggota dan pengurus MA tak memiliki "vitamin" seperti modal besar, maka keikhlasan menyumbangkan tenaga dan pikiran di antara para pengurusnya menjadi suatu kewajiban.

Untuk menumbuhkan rasa ikhlas di antara anggota dan pengurus MA itu, maka penyadaran pentingnya akhlak dan penguatan nilai agama harus ditingkatkan.

Namun keikhlasan saja tidak cukup. Perlu upaya lain dalam memajukan umat. Salah satu solusinya adalah membangun lembaga keuangan dalam bentuk badan usaha, mengembangkan lembaga pendidikan di berbagai kota dan mensinkronkan kinerja antarpengurus pusat dan daerah.

MA tak akan melulu menekankan pendidikan harus berbasis di desa lagi. Meski desa tak ditinggalkan, membangun dan mengembangkan dakwah, pendidikan dan sosial ekonomi di kota sudah harus dilakukan. Peluang yang terbuka harus diraih dengan tetap mengetengahkan kebersamaan dalam berorganisasi.

Ormas Islam yang menggelar Muktamar XVII dan ke-94 pada 16 hingga 19 Juli 2010 lalu di Anyer. Kabupaten Serang, melalui Ketuanya yang baru terpilih, untuk periode 2010-2015, KH Sadeli Karim, mengatakan akan melakukan penataan organisasi.

Juga melakukan konsolidasi antar pengurus serta dari 26 pengurus wilayah provinsi se-Indonesia serta pengurus kabupaten/kota.

Penguatan kembali peran MA sangat penting. MA harus tetap konsisten bergerak pada masalah pendidikan, sosial dan dakwah berbasis di perdesaan.

Peran MA yang selama Ini basisnya di desa-desa dan daerah pinggiran, kedepan diupayakan lebih ditingkatkan menyentuh perkotaan dengan tetap memfokuskan pada pendidikan berbasis madrasah.

"Selama ini MA di wilayah Banten memiliki sekitar 2.000 madrasah mulai ibtidaiyah hingga perguruan tinggi. Begitu juga di daerah lainnya katanya.

Sadeli mengatakan, organisasi kemasyarakatan Islam yang didirikan KH Mas Abdurahman di Menes Pandeglang pada Agustus Tahun 1916 tersebut, sejak awal didirikan sudah melaksanakan pendidikan dasar sembilan tahun dengan basis pendidikan madrasah di perdesaan, berbeda dengan ormas Islam NU yang berbasis pesantren.

"MA secara organisasi tidak memiliki afiliasl politik ke partai,karena tetap konsisten bergerak pada dakwah, sosial dan pendidikan," kata Sadeli Karim yang didampingi sejumlah pengurus wilayah MA Provinsi Banten.

Menurut Sadeli, Muktamar MA ke XVII dengan tema "Reposisi Peran Mathlaul Anwar dalam pembangunan SDM Indonesia yang unggul dan berakhlalail Karimah", diharapkan dapat dilaksanakan oleh para pengurus baru.

Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali ketika membuka muktamar tersebut mengingatkan kepada Ormas Islam tersebut untuk mewaspadai adanya gerakan menuhankan kebebasan.

Ada sekelompok warga menuntut agar masyarakat hrs diberikan kebebasan, kata Menag ketika membuka Muktamar Mathhlaul Anwar ke-18 di Serang, Banten.

Ia mengatakan, karena kebebasan yang dituhankan, maka kebebasan di tengah masyarakat harus mutlak. Padahal Allah mengajarkan kebebasan harus menghormati kebebasan orang lain. Itu bermakna bahwa kebebasan ada pembatasan, yaitu undang-undang.

Di dalam agama juga ada pembatasan, tak ada kebebasan mutlak. Tak ada kebebasan orang untuk memaki orang dengan sebebasnya pula. Bahkan bebas bakar ban bebas di jala npun, yang mengakibatkan terganggunya lalu lintas harus dihindari, kata Menag.

Kebebasan yang baik adalah yang menghormati orang lain, tak melanggar kepentingan orang banyak. Membuat onar yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas, ia menjelaskan.

Mathlaul Anwar harus ikut bertanggung jawab dalam hal ini dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Anggaran pendidikan demikian besar, lebih dari Rp26 triliun. Dana sebesar itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya.

"Mari berlomba meningkatkan kualitas pendidikan. Jutaan anak perlu pendidikan," ia mengingatkan.

Kader Mathla` ul Anwar harus mampu mengangkat kualitas anak didik, katanya lagi.

Ia mengatakan, langkah yang diambil para ulama terdahulu amat tepat dalam memajukan anak didik. Hal itu terbukti banyak lembaga pendidikan Islam, seperti sistem pendidikan gaya pondok pesantren diadopsi lembaga pendidikan nonmuslim.

Untuk itu ia minta agar para pengajar dan siswa untuk tidak membedakan pendidikan agama dengan ilmu lainnya. Sebab, semua itu adalah ilmu Allah.

Jika semua dalam pengajaran ilmu ada pembedaan agama dan lainnya, akan menygakibatkan dikotomi sehingga menjadi malas untuk mempelajari ilmu tertentu.
(T.E001/A011/P003)

Oleh Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010