Jakarta (ANTARA News) - Rasanya belum pernah ada pengurus lembaga negara segarang pengurus Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Begitu terpilih pegang kendali, langsung bergerak galak. Dan, KPI tampaknya belum sempat memetakan masalah penyiaran, tatkala tiba-tiba kasus video porno dengan pelaku mirip wajah tiga serangkai artis papan atas Indonesia merebak.

Salah seorang pelaku video mesum itu pernah jadi ikon kebebasan ekspresi suatu kelompok. Kelompok ini aktif berkampanye menganggap video porno artis itu merupakan ranah pribadi yang tak layak diberitakan. Kuat dugaan, kelompok inilah yang mendominasi dasar penilaian KPI sehingga bertindak reaksioner.

Pukulan amat telak mereka sasarkan ke alamat infotainmen. Padahal, tidak hanya infotainmen yang menyiarkan berita itu, tetapi seluruh media pers dan penyiaran. Pada program berita televisi malah variasinya banyak: siaran langsung, talk show, dan sebagainya.

Tantowi dan Ramadhan Pohan

KPI berkali-kali dengan sangat garang menyampaikan kekesalannya pada infotainmen. Dasar teguran bersumber pada pengaduan masyarakat. Inilah soalnya: materi pengaduan masyarakat itu tidak pernah disampaikan kepada lembaga penyiaran, sebagaimana dimanatkan Pasal 50 dan 51 UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran yang menjadi sumber hukum KPI. Yang terkait pemberitaan kasus video porno di infotainmen lembaga penyiaran hanya menerima edaran berisi teguran dan ancaman KPI.

Modus itu diulangi KPI dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR-RI. Di Senayan itulah infotainmen dihakimi. Dituduh melanggar Kode Etik Jurnalistik, norma-norma agama, dan susila. Karena input yang salah dari KPI, Komisi I DPR dan Dewan Pers pun terjebak ikut memvonis infotainmen: dari faktual ke nonfaktual.

Sementara itu, dalam berbagai acara diskusi dan debat, KPI tak pernah mampu merumuskan definisi nonfaktual untuk infotainmen. Ketika disuarakan oleh wakil Komisi I DPR-RI, Tantowi Yahya dan Ramadhan Pohan, definisi nonfaktual makin kacau. “Masak Yuni Shara ganti model rambut juga diberitakan,” kata Pohan. “Banyak berita infotainmen yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik,” Tantowi menambahkan.

Lebih parah, membuat kita geleng-geleng kepala ketika Tantowi Yahya, anggota DPR-RI yang sering mencari side job di televisi, mengusulkan larangan infotainmen tayang di bulan suci Ramadan. Pernyatan tanpa disertai argumentasi memadai lebih menonjolkan ungkapan perasan kebencian di depan publik pada satu aktivitas anak bangsa.

Kritik sayang

Buku Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan KPI pada tahun 2009 meletakkan infotainmen dalam golongan faktual, sama dengan berita. Menurut UU Nomor 40/1999 tentang Pers, terhadap berita tidak dikenakan sensor, pemberedelan, dan penghentian penayangan.

Pelanggaran terhadap pasal itu dikenakan ancaman hukuman pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta. UU Penyiaran pun mendukung itu dalam pasal 42 yang menyebutkan wartawan penyiaran tunduk pada Kode Etik Jurnalistik. Artinya, kalau toh infotainmen terbukti melanggar KEJ, harusnya diputuskan oleh Dewan Pers.

Sebelum mengambil keputusan, Dewan Pers pun harus menggunakan mekanisme terlebih dahulu meminta klarifikasi pihak yang diduga melakukan pelanggaran. Adapun sanksi atas pelanggaran itu dijatuhkan oleh organisasi pers atau perusahaan pers. Organisasi yang mengakui infotainmen sebagai karya jurnalistik untuk sementara ini adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Substansi tulisan saya: "KPI Non Faktual" yang dimuat di tabloid Cek&Ricek (C&R), juga di surat kabar Rakyat Merdeka dan LKBN ANTARA tanggal 19 Juli 2010, sebenarnya bertujuan mengingatkan kepada Komisi I DPR-RI bahwa KPI telah mengabaikan kewajiban yang diamanatkan UU Penyiaran, yaitu terlebih dahulu memeriksa/meminta pihak yang diadukan masyarakat memberi klarifikasi sebelum menjatuhkan vonis.

Dengan berbagai tindakan yang tidak mematuhi UU Penyiaran, kinerja pengurus KPI periode baru ini jauh dari harapan ideal. Masa kerja dua bulan sejak terpilih bulan Mei hingga akhir Juli, yang semestinya digunakan untuk konsolidasi dengan para pemangku kepentingan agar dapat menghasilkan tontonan sehat, malah dilewati dengan menciptakan berbagai manuver sehingga menimbulkan kontroversi.

Bukan hanya "bapaknya", yakni Komisi I DPR, yang direpotkan. Ternyata Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga direpotkan sampai harus terburu-buru (semula tidak diagendakan dalam Musyawarah Nasional/Munas MUI) mengeluarkan fatwa tentang berita gosip dan pembeberan aib yang haram disiarkan.

Dalam acara diskusi di program televisi Barometer SCTV yang dipandu Rike Amru, salah seorang anggota KPI, Ezky Suyanto, mengungkap hal itu. “Soalnya, yang merekomendasikan saya jadi anggota KPI memang MUI,” katanya. Pengakuan Ezky semakin menjelaskan betapa lemahnya kompetensi sebagian anggota KPI untuk duduk di lembaga negara yang dibiayai rakyat.

Kalau diamati “perasaan kebencian” terhadap infotaimen yang diperlihatkan KPI sejak awal, masuk akal jika muncul tudingan ada oknum KPI yang menjadi otak pemelintiran fatwa MUI sebagaimana disiarkan beberapa media di awal pemberitaan fatwa itu.

Fatwa MUI bunyinya "berita yang mengandung gosip dan pengungkapan aib orang lain di depan publik, haram". Adapun versi pelintiran disebutkan: "MUI haramkan infotainmen." Berita versi pelintiran itu bisa ditemui di beberapa media yang selama ini mengklaim diri sangat independen dan etis. Malah, ada host program televisi masih terus menyebutkan fatwa MUI versi pelintiran kendati telah berkali-kali diluruskan atau diklarifikasi pihak MUI. Suatu tindak arogan karena terang-terangan melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik.

“Pelibatan” MUI ini harus disoroti serius. Itu berarti KPI telah mengabaikan hukum-hukum negara yang menjadi dasar kewenangannya. Mencampur aduk hukum-hukum dan lembaga-lembaga lainnya, termasuk lembaga dan hukum agama, justru telah menimbulkan ketidakjelasan parameter penilaian, karena KPI mengadu domba hukum negara dengan hukum agama.

Padahal, siapa pun mengakui, poin-poin dalam fatwa MUI telah diakomodasi dalam Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia. Misalnya, pasal (4) KEJ "wartawan tidak menyiarkan berita gosip, cabul, dan sadis". Atau pasal 9 KEJ: "wartawan menghormati kehidupan pribadi, kecuali untuk kepentingan umum".

P3SPS yang dibuat dan menjadi pedoman pelaksaan tugas KPI, diakui sendiri oleh Yasirwan Uyun yang salah seorang anggota KPI, malah sudah lebih rinci mengatur amanah KEJ dan fatwa MUI tersebut. Alhasil, manuver KPI tersebut telah dapat membuktikan lemahnya kompetensi mereka untuk memecahkan masalah dalam dunia penyiaran.

Fakta-fakta kuat yang terurai mengenai kinerja KPI di atas semestinya segera menjadi perhatian Komisi I DPR. Apakah pernah terbayang di benak KPI suasana chaos yang timbul jika versi pemelintiran itu dianggap sebagai kebenaran yang akan membuat pihak-pihak tententu mengambil tindakan main hakim sendiri? Seperti yang terjadi dalam berbagai peristiwa yang bernuansa agama.

*) Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010