Jakarta (ANTARA News) - Pong Hardjatmo pasti tidak mencari sensasi dengan naik ke atas Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di siang hari bolong Jumat 30 Juli 2010 yang lalu dan menuliskan tiga kata “Adil, Jujur, Tegas” dengan menggunakan cat semprot warna merah.

Pernyataan Pong ketika ia “diamankan” untuk diperiksa polisi di Kompleks DPR Senayan bahwa ia tidak melakukan aksinya untuk mencari sensasi atau popularitas merupakan bukti bahwa ia tidak mencari sensasi ayau popularitas karena sebelumnya ia sendiri memang sudah populer.

“Saya siap di penjara. Kalau Jujur Adil dan Tegas masak ditindak sih. Yang merusak bangsa yang lain tidak ditindak” demikian ucapan singkat Pong Hardjatmo seperti dituturkan seorang polisi di lingkungan Kompleks DPR Senayan. Pong mengatakan : “ Kekecewaan saya sudah memuncak. Dari kasus Lapindo, Susno polisi yang dijeblosin polisi. Memuncaklah.”

Aksi Pong memanjat naik ke atap gedung DPR RI Senayan dan menuliskan tiga kata itu merupakan fenomena komunikasi di mana Pong ingin menyampaikan pesan-pesan yang menyangkut “Jujur-Adil-Tegas” kepada publik dengan menggunaakan medium atap gedung DPR RI Senayan.Namun karena lokasi medium yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut adalah atap Gedung DPR RI Senayan, maka jelas bahwa pesan itu dialamatkan untuk para anggota DPR (dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD juga).

Permasalahannya adalah, mengapa Pong menggunakan medium komunikasi ini? Pong sendiri mungkin tidak tahu bahwa ia telah menggunakan model komunikasi alternatif karena saluran-saluran komunikasi arus utama (mainstream) sudah buntu, macet dan disfungsi atau tidak efektif berfungsinya.

Pong sadar apa akibat tindakannya yang dilakukan dengan sadar, tapi cerdas. Ia seakan ingin mengingatkan dan sekaligus memperolok rekan-rekan artis,aktor dan selebriti lainnya yang berjumlah belasan orang itu dari Eko Patrio, Tantowi Yahya sampai Rieke Diah Pitaloka. Orang bisa mempertanyakan, bukankah Pong belum mencoba rekan-rekan artis dan aktor yang jadi anggota DPR RI itu untuk menyalurkan pendapatnya ?

Ini terjadi karena tidak ada kohesi politik --seperti dicatat Philip G. Cerny pada 1990-- antara Pong Hardjatmo dengan rekan-rekannya yang artis dan aktor yang menjadi anggota DPR, sehingga Pong melancarkan aksi sendiri sebagai bentuk perlawanan yang merupakan elemen dari civil resistance sebagai ekspresi dari memuncaknya resistensi Pong terhadap berbagai masalah politik di Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai ungkapan komitmen etis ke dalam bentuk tindakan yang bersifat “non-violence” (Michael Randle, 1994).

Apa yang dilakukan seorang Pong Hardjatmo yang oleh orang awam bisa dianggap sebagai aksi unjuk rasa personal/pribadi, yang mengalahkan belasan organisasi LSM dan berbagai gerakan sosial-politik yang ikut memarakkan rangkaian aksi-aksi unjuk rasa terutama di Jakarta pada akhir 2009 sampai awal 2010 dan gagal “menduduki” Gedung DPR RI sampai Pong Hardjatmo selesai menyemprotkan catnya untuk menulis kata-kata Adil, Jujur dan Tegas.

Pong Hardjatmo telah melakukan aksi unjuk rasa tunggal. Ia telah melakukan aksi politik “tanpa kekerasan” (Non Violence Action/NVA) yang merupakan perlawanan bahkan pemberontakan terhadap situasi dan keadaan yang dirasakannya telah begitu “memuncak”.

Aksi Pong berhasil menarik perhatian dan secara empiris-teoritis akan diikuti dengan aksi-aksi politik yang lain sebagai bentuk dukungan moral manakala disfungsi perwakilan rakyat terjadi, dan wakil-wakil rakyat terjebak dalam perangkap labirin politik yang menyesatkan, serta kekuatan mahasiswa sementara sedang memasuki masa “puasa” untuk melaksanakan pengawasan dan koreksi total terhadap berbagai permasalahan bangsa khususnya kasus-kasus mega skandal.

Pramono Anung, Wakil Ketua DPR RI dari PDIP telah menyatakan akan membayar ganti rugi yang timbul akibat aksi Pong di atap gedung DPR RI, sementara Ganjar Pranowo dari Komisi I DPR RI juga dari FPDIP menyatakan mendukung aksi yang dilakukan Pong.

Apakah pesan politik yang dikomunikasikan Pong Hardjatmo melalui medium Atap Gedung DPR RI Senayan salah alamat? Nampaknya tidak salah karena Pong merasa memiliki hak politik untuk menyampaikan pesan politik itu melalui DPR RI meskipun mungkin ditujukan untuk eksekutif.

Pong adalah seorang komunikator yang cerdas karena ia menggunakan medium Gedung DPR RI yang dianggapnya sebagai “Rumah Rakyat” di mana ia sebagai rakyat juga punya hak untuk berkomunikasi, punya hak untuk menyampaikan pesan-pesannya. Pesan kata Adil untuk lembaga Yudikatif. Pesan kata Jujur untuk lembaga Legislatif. Dan, pesan kata tegas untuk lembaga eksekutif.

Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika Pong melakukan Aksi Coret dan Cat di lokasi yang bukan DPR RI, kemungkinan kriminalisasi bisa terjadi karena dikategorikan melawan hukum karena ia telah melakukan aksi unjuk rasa tanpa memberitahu pihak polisi sebelumnya. Apalagi jika Pong berani memanjat atap Gedung Istana Negara atau Merdeka, ia sudah dinanti oleh pasal pencemaran dan penghinaan terhadap lambang dan simbol negara.

Bagaimana pun Pong Hardjatmo punya cita rasa politik yang tinggi di samping mampu berkomunikasi politik secara cerdas dan efektif. Ia mampu mengekspresikan apa yang menjadi keprihatinannya pribadi tentang berbagai masalah sosial, politik dan hukum yang sudah “memuncak” ke dalam ranah komunikasi publik, layaknya yang dikemukakan Lance W. Bennet pada 1996.

Coretan kata-kata Adil, Jujur dan Tegas yang dibuat dengan menggunakan cat semprot di atas atap Gedung DPR RI Senayan tidak berbeda dengan puluhan “mural” yang ada di Ibukota Jakarta. Perbedaannnya, para “bomber” (pembuatan lukisan dan corat-coret dengan cat di dinding dan tempat publik) atau pembuat “mural” membuat karya ekspresi protes mereka pada tengah malam. Sedang Pong Hardjatmo memanjat atap Gedung DPR RI Senayan pada siang tengah hari bolong.

*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Lembaga Kajian Informasi dan Konsultan/Pengajar Senior Komunikasi.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010