Jakarta (ANTARA News) - Pernahkah kita membayangkan seperti apa wujud kita seandainya Allah SWT tidak menciptakan sebuah bulan Ramadhan dan sebuah hari yang fitri?

Sekuat apakah kita memikul kebusukan kita sendiri, karena itu artinya setiap tahun tidak ada fasilitas pengampunan dosa dari Tuhan? Sehingga, kita hidup ibarat tanpa ginjal yang berfungsi menyaring darah. Atau, bahkan seperti orang yang terus menerus makan, namun tak punya saluran pembuangan kotoran.

Umat Islam di seluruh dunia kembali mendapatkan berkah dengan kedatangan Ramadhan, bulan berkah sebulan penuh berpuasa, yang di Indonesia Insya Allah akan dimulai Rabu, 11 Agustus 2010.

Semua bulan sebenarnya diciptakan istimewa, namun Ramadhan paling istimewa. Tuhan sendiri yang “mendesain” keistimewaan itu. Ibarat kata, berlimpah voucher berisi bonus pahala yang disediakan selama bulan suci ini. Tentu ada syarat-syaratnya. Namun, yang pasti semua untuk meringankan, dan bahkan menghapus dosa- doa hambaNya.

Kalau kita menyimak “desain Tuhan” atas bulan Ramadhan, Tuhan juga ternyata “berharap” supaya kita mencapai posisi terlahir suci kembali seperti bayi, tanpa dosa. Tahun lalu, belum sempurna, diberi kesempatan lagi tahun ini. Belum juga optimal, tahun depan diberi lagi kesempatan kalau masih ada umut. Luar biasa.

Keluarbiasaan itulah yang menjelaskan mengapa umat Islam di seluruh dunia selalu penuh antusiasme menyongsong Ramadhan. Kegembiraan itu kita saksikan diekspresikan dalam berbagai ritual menurut tradisi dan budaya masing- masing bangsa. Tidak terkecuali umat Islam di Indonesia.

Lihat saja di bebagai daerah, ritual sesuai tradisi masing –masing setiap menyongsong datangnya Ramadhan luar biasa hebatnya. Kegairahan itu tentu saja semakin bertambah dengan bantuan teknologi informasi terkini. Ekspsresi itu hadir juga melalui pesan singkat (Short Message System/SMS) di telepon seluler (ponsel), surat elektronik (surel), facebook, twitter, BlackBerry Messenger (BBM) dalam genggaman kita.

Permulaan Ramadhan di Tanah Air baru dimulai pekan ini. Namun, sejak dua minggu lalu antusiasme itu sudah diekspresikan lewat berbagai saluran berteknologi informasi terkini tadi. Inilah salah satu pesan yang beredar: “Jika semua harta adalah racun, maka Zakatlah penawarnya. Jika seluruh umur adalah dosa, maka Tobatlah obatnya. Jika seluruh bulan adalah noda, maka Ramadhanlah pemutihnya.”

Marhaban Ya Ramadan. Tidak banyak yang mengetahui pada awal turunnya perintah berpuasa di awal-awal Islam, dan banyak umat yang mengeluhkan beratnya menjalani puasa. Lalu, karena Maha Demokratis, maka Tuhan pun “mengoreksi” teknis operasionalnya melalui surat Al Baqarah/2: 187, "dihalalkan bagimu pada malam hati bercampur dengan istrimu. Merekalah adalah pakaian bagimu......". Maksudnya, sesudah Maghrib, sampai menjelang makan sahur, suami bebas bercampur dengan istri.

Sebelumnya, maksudnya di awal-awal Islam, durasi waktu untuk suami istri “bergaul”, hanya terbatas dari Maghrib sampai Isya. Hanya sekitar satu jam, atau setara dengan durasi umumnya sinetron, yaitu sekitar 48 menit ditambah 12 menit commercial break atau iklan. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya seandainya ketentuan dulu itu masih berlaku sekarang. Istilah orang Jakarta, boro-boro dosanya hapus, malah tiap tahun bisa nombok.

Keistimewan lainnya karena kitab suci Al Quran, yang menjadi tuntunan perilaku hidup umat diturunkan pada tujuhbelas Ramadhan. Silakan saja berpuasa di luar bulan itu, atau misalnya mau berpuasa di bulan- bulan lain di luar Ramadhan. Umat boleh jalani, namun asal tahu saja, yang mendapatkan “perhitungan” dan voucher- voucher pahala yang berlimpah hanya puasa di bulan Ramadhan saja. Hanya di bulan Ramadhan itulah puasa diwajibkan.

Ramadhan diistilahkan juga sebagai bulan berkah, karena itulah antara lain keistimewaannya. Nama lainnya, “penghulu” bulan. Bulan ampunan. Tuhan menjanjikan akan mengampuni dan menghapus dosa-dosa umatnya. “Diputihkan” menurut istilah sekarang. Kecuali yang keterlaluan, seperti menutup akses silaturahmi dengan sesama. Atau tidak bersedia memaafkan kesalahan orang dekat.

Hal ini menarik diuraikan sedikit. Walau umat telah menjalani hampir semua perintah Allah SWT, dan menghindari hampir semua yang ditentangNya, masih bakal terhalangi oleh sikap yang tak membuka pintu maaf pada sesama. Logikanya sederhana saja, Tuhan saja mau memaafkan kesalahan sebesar apapun yang dilakukan hambaNya. Bagaimana pula ceritanya manusia tidak memaafkan perbuatan sesama.

Dalam kitab suci umat pun diperingatkan, sesungguhnya Tuhan tidak suka umatnya hanya cari muka kepadaNya, sedangkan pada sesama tidak, bahkan menindas. Sebab, saling mengasihi, tolong menolong antar-sesama adalah bagian dari perintahNya. Barang siapa yang menunjukkan keperdulian besar pada kaum dhuafa, yatim piatu dan fakir miskin, maka akan mendapat balasan yang berlimpah dari Tuhan. Makin banyak zakat, sedekah, dan infak dikeluarkan, maka percayalah tentu dibalas semakin berlimpah oleh Allah SWT.

Begitu besarnya cinta dan kasih Tuhan kepada umatnya, tidur saja pun dihitung ibadah. Coba, kantor mana yang mau menghitung tidurnya pegawai sebagai bekerja. Sementara itu, selama bulan Ramadhan, setan, jin, iblis, dedemit, yang “profesinya” memang untuk menggoda, menyesatkan manusia, “dicutikan”. Semua dedemit itu ditangkapi dan dimasukkan dalam kerangkeng. Tidak cukup itu, kaki tangannya dirantai supaya tidak berkeliaran. Kurang apa lagi? Itu semua dilakukan Tuhan semata untuk menjaga kekhusukan ibadah umat Islam di bulan Ramadhan.

Mari kita jaga kesucian Ramadhan. Perbanyak ibadah, pahala, supaya kita termasuk dalam golongan yang mendapat prioritas disucikan Tuhan. Dihapuskan dosa- dosanya, terlahir kembali suci, seperti bayi- bayi tanpa dosa.

Jaga diri, jangan sampai nanti segala jenis dedemit, setan, jin, dan iblis menertawakan kita, dan lancang bilang: "Tuhan lihat sendirilah umatMu. Siapa meniru siapa. Kami dikerangkeng begini saja, manusia tetap tidak berubah. Puasanya hanya ditandai tidak makan minum belaka. Sedangkan, sifat- sifat buruk lainnya tetap sama. Malah bulan Ramadhan nekat dibalikkan maknanya. Bulan suci dijadikan tameng, dijadikan 'paspor' untuk makin meningkatkan penindasannya antar-sesama, mengorupsi tidak hanya uang, tetapi juga waktu untuk bekerja dan ibadah. Lihatlah, puasa malah makin membuatnya bersimaharajalela mencuri hak orang lain."

Amit-amit, jangan sampai setan, iblis, dedemit, mengejek kita begitu, sambil menari-nari dan berdendang menyanyikan lagu "Keong Racun".

Marbahan Ya Ramadan. (*)

*) H. Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010