Jakarta (ANTARA News) - Entah terinspirasi fenomena dalam dunia olahraga, putri bungsu saya, usia limabelas tahun, tiba-tiba nyeletuk saat semalam mendengar pengumuman pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan awal bulan Ramadhan 1431 H jatuh pada Rabu 11 Agustus 2010.

"Alhamdulillah, sekali ini kita kita bisa bareng puasanya," kata dia. Rupanya, sebelum ini dia mengikuti penentuan awal Ramadhan pada hari Rabu ini, yang dua minggu lalu telah ditetapkan oleh Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. "Berarti lebaran nanti pun akan bareng. Tidak ada lagi juara kembar kayak dulu," sambungnya.

"Hussh," sahut saya. Ingatan saya melayang pada tahun 2006.
Waktu itu si Nona, panggilan dekat Suri Adlina, si bungsu, berusia 11 tahun, nyeletuk saat mendengar pengumuman penentuan 1 Syawal 1427. Dia sedih karena saudaranya merayakan lebaran lebih dulu satu hari dibandingkan dia, lantaran keluarga kami memutuskan mengikuti penentuan 1Syawal oleh pemerintah.

Tetapi, terus terang, waktu dia nyeletuk empat tahun lalu, saya tidak memiliki argumentasi yang kuat menyalahkan bocah itu seratus persen. Apalagi untuk menerangkan ihwal mengapa hari Lebaran di Tanah Air selalu jadi perdebatan. Yang bisa saya nyatakan, Lebaran tidak boleh disamakan dengan kejadian juara kembar dalam dunia sport. Mungkin dalam hati si bungsu bertanya: "Ya, kenapa?"

Itulah soalnya. Saya kurang percaya diri apakah anak umur sebelas tahun dapat memahami argumentasi yang akan saya terangkan selanjutnya. Bahwa ada dua metodologi yang biasa digunakan ulama untuk menetapkan jatuhnya 1 Syawal. Yaitu Hisabul Qamar (menghitung masa waktu) dan Rukyatul Hilal (melihat bulan).

Karena merasa sangat awam, saya tidak ingin masuk terlalu jauh dalam wilayah itu. Tentu sulit pula untuk mengutarakan perbedaan perhitungan untuk menentukan 1 Syawal adalah salah satu contoh penerapan demokrasi dalam Islam. Harus disikapi sebagai rahmat. Bayangkan, urusan yang begitu penting, yaitu mengakhiri puasa, dikembalikan kepada keyakinan orang atau golongan masing-masing. Tanpa satu pihak pun boleh memaksakan kehendaknya atas yang lain.

Di masa Orde Baru, masyarakat kita sudah biasa berlebaran dengan dua hari berbeda. Pada saat saudara kita telah berlebaran menikmati ketupat sayur dan es kolang kaling, saudara kita yang lain masih melaksanakan ibadah shaum. Pada waktu saudara kita sudah bertakbir, saudara kita yang lain masih bertarawih di masjid.

Persoalannya: bagaimana menerangkan dengan baik supaya bisa diterima oleh pemikiran anak sebelas tahun? Sebab, sempat delapan tahun setelah setelah reformasi, 1998-2005, sejak si bungsu baru berusia tiga tahun, Lebaran dilaksanakan "kompak", "serentak" di seluruh tanah air oleh golongan mana pun. Itu yang dia tahu.

"Lalu, mana yang paling benar untuk kita ikuti?" tanyanya.
"Dua-duanya benar," kata saya cepat.
Eh, si bungsu malah nyerocos mempertahankan argumentasinya. "Itulah; berarti Lebarannya kembar. Juara kembar juga dua-duanya benar."

Sebentar. Telepon berdering. Ini dari kemenakan, lulus pendidikan strata dua bidang hukum. Lebih sulit lagi mencari argumentasi untuk menjawabnya.

"Ini apa-apaan sih, Om. Apa pemerintah tak mampu menjembatani perbedaan itu untuk menjadi satu saja tanggal Lebaran yang diikuti semua golongan?," ujarnya.
"Kamu mau Lebaran kapan?," saya coba mengalihkan perhatian.
"Besok. Senin!," balasnya.
"Ya, Lebaran Senin saja, gak apa-apa kok!," kata saya.
"Ya, tahu, memang gak apa-apa. Tapi, antarkita sesama umat kok tidak bisa kompak menetukan satu hari Lebaran?," ujarnya lagi.
"Hussh. Ini bukan persoalan yang harus disikapi dengan sekadar mau kompak atau asas bersatu saja. Ini persoalan keyakinan. Kamu Lebaran Senin, kenapa?," tanya saya.
"Karena yakin pada argumentasi 1 Syawal jatuh hari Senin," katanya.
"Ya, sudah. Lebaranlah hari Senin. Tapi, harap hormati juga yang berlebaran di hari lain," kata saya menimpali.
"Om sendiri Lebarannya hari apa?," dia balik bertanya.
"Selasa!," jawab saya.
"Itu berarti puasa Om tiga puluh hari. Rasulullah puasa Ramadannya lebih sering 29 hari lho, Om," ujarnya.
"Nabi juga pernah puasa tiga puluh hari. Tahu enggak, Insya Allah Ramadhan ini saya malah berpuasa 31 hari," kata saya.
"Om bercanda, ya? Masak sih 31 hari? Itu lebih parah lagi dong, Om. Bisa haram puasanya," kata kemenakan.
"Sok tahu, kamu," sergah saya.

Tahun itu, memang untuk pertama kalinya dalam hidup saya menjalankan ibadah puasa 31 hari. Saya memulai ibadah shaum di Madinah Al Munawarrah, Saudi Arabia, pada hari Sabtu 23 September 2006. Semula, diperkirakan tanggal 1 Ramadhan di Arab Saudi akan jatuh Minggu, 24 September 2006.

Namun, Jumat (22/9) malam itu, ketika kami baru saja menikmati hidangan makan malam di ruang makan Hotel Assalam, Madinah, melalui pengumuman di radio dan televisi, Pemerintah Arab Saudi menetapkan awal puasa jatuh pada hari Sabtu, 23 September. Itu berarti, setelah salat Isya, langsung dilanjutkan dengan tarawih dan subuh nanti langsung makan sahur.

Padahal, jelas dalam buku manasik Umrah yang diterbitkan MQ Travel, milik K.H. Abdullah Gymnastiar, ibadah shaum dimulai hari Minggu 24 September. Malah, di sela-sela acara makan malam kala itu, Aa Gym panggilan akrab Abdullah Gymnastiar sempat memberikan pengarahan agar jemaah menyiapkan diri berpuasa Minggu.

Sewaktu penetapan awal puasa di Arab Saudi diumumkan, memang sempat muncul kehebohan. Maklum, seperti disebut semua jemaah Umrah MQ Travel yang baru sehari tiba di Madinah masih dalam kerangka berpikir jadwal lama. Maka, jamaah yang baru pulang salat Isya, langsung terbirit-birit kembali ke masjid Nabawi mengikuti tarawih, sebagian lainnya segera menyiapkan perlengkapan sahur.

Di Tanah Air sendiri, awal puasa tetap hari Minggu, 24 September. Bagaimana ini? "Kita harus mengikuti aturan di tempat di mana kita berada," kata Aa Gym.

Sebelum menjawab kemenakan yang berpendidikan strata dua bidang hukum itu mengenai 1 Syawal, memang sempat saya konsultasi dengan beberapa kenalan ulama. "Kita harus mengikuti ketentuan di tempat di mana kita berada," kata para ahli agama itu.

Tetapi, di tempat kita berada sekarang, di Tanah Air, ada perbedaan soal jatuhnya hari 1 Syawal. Lantas, mana yang benar, Pak Ustad, Senin atau Selasa?
"Sebaik-baiknya umat, ialah yang mengikuti ketentuan ulama atau umara (pemerintah)," kata kenalan ulama itu. "Saya pun sedang menanti pengumuman pemerintah mengenai itu," kata Aa Gym ketika saya minta second opinion (pendapat lain) dari beliau.

Pemerintah akhirnya menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Selasa 24 Oktober. Karena pijakannya kuat, saya pun memilih hari itu sebagai saat berlebaran.

Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Alhamdulillah. Saya mendapatkan pengalaman berpuasa 31 hari, oleh sebab situasi yang membuka kemungkinan itu, dan bukan karena niat dan rencana untuk berlebih-lebihan, atau semangat untuk mau lain sendiri. Semoga Allah SWT mengampuni dan menerima puasa semua kita, baik yang berpuasa 29, 30, maupun yang 31 hari.

"Jadi kalau puasanya bareng, mestinya lebarannya nanti juga bareng dong ya?" tanya si Nona yang membuyarkan saya dari kenangan empat tahun lalu.
Saya hanya bisa menyahut, "InsyaAllah. Berdoa saja supaya itu yang terjadi. Tidak begitu pun, tidak apa-apa. Dua dua toh benar, itulah contoh demokrasi dalam Islam. Indah bukan?" (*)

*) H. Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010