Kewajiban pajak perlu diakui dalam UU jika pihak yang tidak menjalankan kewajibannya tersebut akan dikenakan sanksi
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menilai pemerintah perlu melakukan harmonisasi kerangka regulasi dan melakukan pembagian tanggung jawab dalam implementasi pajak digital.

Dalam pernyataan di Jakarta, Minggu, Pingkan mengatakan sejak diberlakukan pada 1 Agustus 2020, barang dan jasa yang dijual perusahaan internasional berbasis digital wajib membayar pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen. Pengenaan PPN tersebut dibebankan kepada konsumen yang berlangganan layanan mereka.

Untuk memperkuat payung hukum implementasi pajak digital, pemerintah perlu melakukan beberapa hal, salah satunya adalah mengamandemen Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 28 Tahun 2007).

Urgensi untuk mengamandemen UU itu adalah karena UU Nomor 28 Tahun 2007 tidak melihat badan usaha sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk pemungutan pajak di Indonesia. Hal tersebut akan menjadi masalah dalam kasus-kasus kepatuhan pajak di masa yang akan datang.

"Kewajiban pajak perlu diakui dalam UU jika pihak yang tidak menjalankan kewajibannya tersebut akan dikenakan sanksi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengonsiderasi amandemen atas UU tersebut," ujarnya.

Berikutnya, Pingkan menyatakan perlu adanya pembagian wewenang antarinstitusi yang jelas terkait implementasi pajak digital. Kebijakan perpajakan Indonesia umumnya tetap menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa pajak konvensional yang sulit untuk diterapkan dalam ranah ekonomi digital.

UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan penalti untuk pemungut PPN yang tidak patuh termasuk pemutusan akses operasional oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Namun, tidak ada peraturan lebih lanjut tentang implementasi aturan tersebut oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Terakhir, perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang inklusif dan efektif. Hal tersebut tentu membutuhkan dialog antara pemerintah dan swasta atau public-private dialogue (PPD) dengan melibatkan perwakilan pemangku kepentingan secara luas. Cara tersebut akan membantu menyediakan kepastian hukum untuk subjek pajak dan pemungut PPN.

Proses itu juga akan membantu membangun kepercayaan dan menjembatani jarak antara Kemenkeu dan pelaku usaha. Selain itu, cara tersebut juga akan membantu Kemenkeu beradaptasi dengan model bisnis digital yang kerap kali berubah sesuai dengan perkembangan sektor digital.

"Ekonomi digital terus bergerak dinamis dan hal ini perlu direspon oleh regulasi yang juga responsif dan mampu menjawab permasalahan yang muncul," kata Pingkan.

Ia mengidentifikasi tiga hal yang menjadi tantangan implementasi kebijakan perpajakan digital untuk Indonesia. Yang pertama adalah, untuk penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat yang menjadi sasaran wajib pajak untuk PPh nantinya dihadapkan pada situasi yang tidak menentu karena masih ada ketidakpastian dalam menentukan proporsi keuntungan usaha yang didapat di Indonesia dan bagaimana membagi hak pengenaan pajaknya dengan pihak berwenang di negara asal perusahaan tersebut.

Selanjutnya, kewajiban PPN juga membutuhkan sistem yang berfungsi dengan baik untuk memungut, melaporkan, dan membayar PPN. Kalau tidak, Indonesia bisa mengalami apa yang terjadi di Uni Eropa, kesulitan muncul akibat rendahnya kepatuhan dan kurangnya penegakan pelaksanaan. Sementara itu, PMK Nomor 48 Tahun 2020 tidak mengatur prosedur penyelesaian sengketa dalam kasus-kasus ketidakpatuhan.

Yang terakhir adalah mengenai regulasi yang tumpang tindih. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 dan tata cara pelaksanaannya dalam Permendag Nomor 50 Tahun 2020 merumuskan persyaratan bagi penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) asing untuk membuka kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing (KP3A) di Indonesia.

Akan tetapi, ketentuan ambang batas minimum 1.000 transaksi per tahun tidak sesuai dengan kriteria yang ada dalam UU Nomor 2 Tahun 2020, yang menyebutkan persyaratan berdasarkan jumlah penjualan dan bukan jumlah transaksi di Pasal 6 (7).

"Potensi pajak digital untuk pendapatan negara sebenarnya cukup besar. Apalagi sekarang ini semakin banyak bisnis berbasis offline bergeser menggunakan platform online. Walaupun demikian, kita juga patut memperhatikan kesiapan kerangka regulasi dan teknis implementasinya seperti apa," ujar Pingkan.

Mengingat bahwa pajak digital masih tergolong baru, bahkan di tataran global belum terdapat kesepakatan yang sifatnya multilateral, Indonesia perlu terus memantau hasil perundingan OECD mengenai pengenaan pajak. Menurut Pingkan, pajak sebaiknya jangan menjadi beban dan mendisinsentif pelaku industri untuk menjalankan bisnisnya terutama terkait dengan pemberlakuan PPh badan.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021