Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan NU tidak pernah mengeluarkan fatwa mengenai larangan untuk menshalatkan jenazah koruptor yang beragama Islam, karena hukum menyelenggarakan shalat jenazah adalah fardlu kifayah.

"Yang difatwakan adalah bahwa para ulama atau kiai dianjurkan untuk tidak ikut menshalatkan jenazah koruptor sebagai sebuah sanksi sosial untuk tindak pidana korupsi," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Sabtu.

Menurut Said, penegasan itu penting disampaikan terkait banyaknya kalangan yang salah paham terhadap fatwa yang diputuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada 2002 tersebut.

Dikatakannya, fatwa agar ulama atau kiai tak menshalatkan jenazah koruptor dimaksudkan agar memunculkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi.

"Sekarang ini korupsi di Indonesia sudah sangat akut, maka perlu ada sanksi sosial buat para koruptor," katanya.

Katib Aam PBNU KH Malik Madani, yang sebelumnya memunculkan kembali fatwa ini, menambahkan, anjuran agar para ulama tidak menshalatkan jenazah koruptor itu juga dimaksudkan agar tidak timbul kesan bahwa ulama melegitimasi tindakan korupsi yang telah dilakukan oleh para koruptor.

"Agar mereka yang akan melakukan korupsi berpikir bahwa kelak kalau mereka mati, jenazah mereka tidak akan pernah dishalatkan oleh ulama," katanya.

Menurut Malik, di beberapa daerah yang masih memegang kuat ajaran Islam, fatwa itu menjadi pukulan berat atau menjadi semacam sanksi sosial.

Fatwa NU tersebut mengacu pada hadits dan tindakan Nabi Muhammad yang tidak mau ikut menshaIatkan jenazah sahabat karena yang bersangkutan melakukan korupsi terhadap harta hasil pampasan perang.

"Hadits ini diriwayatkan oleh lima periwayat hadits selain Tirmidzi. Penjelasan antara lain bisa dilihat dalam kitab Nailul Author karya As-Syaukani," kata Malik.

Terkait beberapa komentar mengenai fatwa NU tersebut, Malik berharap para tokoh, termasuk Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, melakukan klarifikasi terlebih dahulu terhadap PBNU agar timbul kesalahfahaman.
(S024/A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010