London (ANTARA News) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj menjadi cendekiawan Indonesia pertama yang mendapat kepercayaan berceramah didepan Raja Maroko, Mohamed VI, pada pengajian Ramadhan Hassaniah di Istana Raja, Kota Casablanca, baru-baru ini.

Acara tersebut dihadiri oleh seluruh duta besar negara Islam, para anggota kabinet, pimpinan partai politik, dan tokoh sipil maupun militer, demikian Sekretaris III/ Pelaksana Fungsi Pensosbud, Rahmat Azhari dalam keterangan persnya yang diterima ANTARA London, Sabtu.

Ceramah yang berjudul "Perlindungan Agama dan Kepercayaan di Negara Demokrasi (Sanggahan atas Pendapat yang Memisahkan Agama dari Negara)", pada intinya memaparkan mengenai doktrin Islam yang menghargai kebebasan untuk beragama secara individu dan adanya pluralitas.

Kiai said Agil Siradj mengatakan hal itu tidak hanya sebatas doktrin semata, namun sejarah membuktikan bahwa konsep tersebut tertuang juga pada Piagam Medina di zaman Rasulullah Nabi Muhammad SAW, dan diterapkan dengan baik sebagai rujukan masyarakat kota Medina yang terdiri atas berbagai etnis dan agama.

Dalam konteks ini, menurut Said Agil Siradj, negara berkewajiban terus memelihara iklim yang kondusif agar setiap penganut agama dapat menjalan kehidupan beragama dengan baik dan tanpa mendapat tekanan dari penganut agama lain.

Namun demikian, kebebasan tersebut adalah tidak mutlak dan tanpa batas, sebaliknya setiap warga negara wajib menghargai simbol suci agama lain. Maka disinilah peranan penting negara untuk dapat mengayomi seluruh penganut agama warganya, demikian ditambahkan.

Juga dipaparkan mengenai pengalaman Indonesia dalam menjaga kebebasan beragama dan sekaligus membuktikan bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi.

Pengajian Durus Hassaniah Ramadhaniah merupakan tradisi para raja Maroko sejak dahulu yang kerap mengundang ulama-ulama guna menyampaikan ceramah pada bulan suci Ramadhan di Istana Raja.

Sultan Moulay Ismail (1672-1727) adalah Raja Maroko pertama yang memulai pengajian Ramadhan tersebut.

Setelah sempat terhenti, tradisi tersebut dihidupkan kembali oleh Raja Hassan I (1873-1894) dan dibakukan pada tahun 1963 oleh Raja Hassan II (Bapak Raja Mohammed VI) sebagai kegiatan rutin pada setiap bulan Ramadhan.

Selain para ulama Maroko, Raja Muhammed VI juga mengundang sejumlah ulama terkenal dari berbagai negara Islam untuk memberikan ceramah atau sekedar menghadiri acara tersebut.

Sejak tahun 2003, Raja Mohammed VI, membuat gebrakan dengan menunjuk dan melibatkan para ulama wanita untuk berceramah dan hadir dalam Durus Hassaniah Ramadhaniah yang berlangsung hingga sekarang.

(H-ZG/A011/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010