Jayapura (ANTARA News) - Persekutuan Gereja-Gereja Baptis (PGBP) Papua meminta Departemen Agama (Depag) agar secara sungguh-sungguh dan bijaksana menjaga kerukunan hidup antarumat beragama di wilayah paling timur dari kepulauan Nusantara ini antara lain melalui proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di lingkungan Depag dengan memperhatikan rasa keadilan yang proporsional dari umat beragama setempat.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Dumma Socratez Sofyan Yoman di Jayapura, Kamis setelah pada Selasa (20/1) pihak PGBP melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berisi pernyataan keprihatinan PGBP tentang proses penerimaan CPNS lingkungan Depag yang diduga kurang adil dan transparan.

"Gereja baptis Papua meminta pihak Depag agar benar-benar dan secara bijaksana memperhatikan dan menjaga kerukunan hidup antarumat beragama di wilayah ini karena persoalan agama itu sangat sensitif yang dapat merusak sendi-sendi persatuan dan kesatuan umat beragama khususnya dan masyarakat di tanah Papua pada umumnya," kata Dumma Socratez.

Dia mengatakan, pihaknya menduga, telah terjadi manipulasi dalam proses penerimaan CPNS di lingkugan Kanwil Depag Provinsi Papua dan Kantor Depag kabupaten pemekaran seperti Kandepag Keerom, Tolikara, Sarmi, Jayapura dan Pegunungan Bintang yang tidak memperhatikan secara bijaksana sejarah perkembangan agama-agama di wilayah ini dan perasaan keadilan yang proporsional dari masyarakat asli Papua.

Penerimaan CPNS di lingkungan Depag, lanjut Dumma Socratez dinilai kurang memperhatikan semangat UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua yang antara lain mengedepankan keberpihakan bagi orang asli Papua, hak-hak dasar dan kemandirian orang asli Papua.

"Penerimaan CPNS Depag juga tidak didasari para roh dan semangat UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang intinya ialah keberpihakan pada orang asli Papua, pemberdayaan orang asli Papua, menghargai hak-hak asasi dan martabat orang asli Papua dan menciptakan kemandirian orang asli Papua," katanya mengutip surat yang dilayangkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dia berharap, pihak Depag sungguh-sungguh belajar dari pengalaman lepasnya Timor Timur dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dimana pada waktu itu Depag diduga sangat kurang memperhatikan suara kenabian para pemimpin agama di wilayah itu.

"Apabila selama masa integrasi Timtim 1976-1999 pihak Depag sungguh-sungguh memperhatikan suara kenabian para pemuka agama Timtim dan memperhatikan rasa keadilan proporsional dari umat beragama setempat maka belum tentu Timtim lepas dari NKRI. Kiranya pengalaman pahit di Timtim tidak terulang lagi di tanah Papua," katanya.

Menurut dia, menjaga perasaan keadilan umat/masyarakat asli Papua dan memperhitungkan sejarah perkembangan agama-agama di suatu wilayah merupakan sikap yang arif-bijaksana dari pihak Depag dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI.

Jangan sampai dugaan masyarakat selama ini menjadi benar yaitu Depag pun telah ikut melepaskan Timtim dari pangkuan ibu pertiwi Indonesia melalui kebijakan yang sentralistik dan tidak adil secara proporsional.

"Bagaimana pun juga persoalan agama dan penataan institusi Depag di setiap kabupaten dan provinsi merupakan hal yang cukup sensitif dan krusial sehingga harus ditangani secara arif-bijaksana demi perdamaian hidup bersama dan kesejahteraan semua umat beragama," katanya.

Pada 14 Januari lalu, delegasi masyarakat Kabupaten Keerom yang beranggotakan enam orang terdiri atas pemuka agama, tokoh masyarakat dan pemangku adat mendatangi Departemen Agama di Jakarta untuk menyampaikan aspirasi penolakan hasil CPNS Depag Kabupaten Keerom. Aspirasi itu akhirnya dipenuhi pihak Depag antara lain mengakomodir peserta tes CPNS asal Kabupaten Keerom .(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009