Jakarta (ANTARA News) - Kematian memang sesuatu yang mutlak dan rutin dalam kehidupan manusia. Namun, kalau itu merenggut orang dekat, orang tercinta dalam kehidupan kita, wajar saja jika peristiwa itu tetap saja terasa seperti gempa yang mengguncang bumi beberapa saat.

Seperti itu agaknya yang dirasakan oleh tokoh pers nasional Rosihan Anwar saat istri tercinta, Ibu Hajjah Zuraida, mendadak direnggutkan dari sisinya, Ahad (5/9) pagi pukul 09.30 WIB. Rosihan Anwar pasti sangat terpukul.

Saya merasakan itu ketika menghubungi Pak Ros --begitu kami biasa memanggil tokoh pers nasional itu-- pertelepon beberapa saat setelah Ibu Zuraida berpindah ke pangkuan Allah SWT. "Ibu sudah tiada, Ilham. Mohon maafkan, mohon doakan," katanya dalam suara setengah sesenggukan. Saya masih merasakan sisa tangisnya.

Apalagi, Minggu pagi itu, Ibu Zuraida tidak menunjukkan tanda apa-apa, tanda spesifik hendak menghadap Illahi. Sakit pun tidak. Ibu Zuraida malah sedang menikmati sarapan di meja makan di rumahnya. Rosihan yang berpuasa menemani, kemudian pamit sebentar ke toilet. Saat ditinggal ke kamar mandi itulah Zuraida terjatuh dari kursi rodanya. Posisinya tertelungkup, satu meter jaraknya dari kursi roda. Ibu Zuraida segara dibopong tempat tidur, namun jiwanya sudah tak tertolong. "Cuma sekejap itu saja dia sudah hilang, sudah pergi, pergi selamalamanya," kenang wartawan kawakan itu di rumah duka.

Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun. Ibu Zuraida dipanggil Sang Khalik lima hari sebelum Idul Fitri, lima belas hari sebelum almarhumah berulang tahun ke 87 pada 20 September. Dipercaya banyak orang, kepergiannya di bulan Ramadhan, bulan mulia pertanda bagus. Insya Allah, almarhumah akan termasuk yang disucikan Allah SWT, malah lebih dulu lima hari dari seluruh umat Islam yang akan merayakan Idul Fitri.

Masa pendudukan Jepang.

Rosihan Anwar dan Siti Zuraida bertemu pada masa pendudukan Jepang. Pasangan itu menikah, 25 April 1947, di masa revolusi kemerdekaan. Mereka merupakan satu dari sedikit pasangan yang merasakan pahit getir perjuangan bangsa Indonesia sejak zaman kemerdekaan, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) hingga era Reformasi. Maka, ketika pagi itu Tuhan menjemput Ibu Siti Zuraida niscaya itu kehilangan amat besar dan berat bagi Pak Ros.

Kisah Cinta

Lebih 63 tahun pasangan itu mengarungi bahtera perkawinan. Mereka dikaruniai tiga anak, Aida Fatia, Omar Lutfi, dan Naila, serta ada enam cucu. Perjuangan dan cinta seolah ikut berperan dalam perjalanan hidup mereka.

Hubungan cinta kasih pasangan itu memang bersemai di masa revolusi kemerdekaan. Ibu Zuraida masa itu tinggal di Yogyakarta. Pak Ros membuka rahasia, mengapa dulu sering sekali mengikuti perjalanan Perdana Menteri (PM) Syahrir bolak balik Jakarta-Yogyakarta. Itu karena separuh panggilan tugas, separuh lagi sebab panggilan cinta, guraunya.

Cinta pasangan ini tak pernah luntur. Kebetulan saya ikut mengamati. Setidak-tidaknya tigapuluh tahun terakhir dalam perjalanan ke mana pun dalam rangka tugas apapun, selalu pergi berdua. Puluhan kali saya bertemu dalam perjalanan mengikuti kegiatan festival film di dalam maupun di luar negeri. Begitu juga dengan perjalanan dalam rangka kegiatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), mereka tak terpisahkan. Di dunia film sekian belas tahun Pak Ros duduk sebagai anggota Dewan Film Nasional, dan juga sebagai anggota Dewan Juri. Begitu halnya di PWI karena puluhan tahun Pak Ros menjadi pengurus di organisasi wartawan yang ikut dia dirikan pada tahun 1946. Saya beruntung karena kaitan tugas di bidang sama, sehingga sering bertemu pasangan ini. Pak Ros dan Ibu Zuraida adalah simbol sebaik-baik pasangan rumah tangga. Kami bersepakat dengan banyak teman menjadikan mereka sebagai pasangan idola. Pasangan itu merupakan nomor bukti dari ungkapan ibarat mangkuk dan tutupnya.

Soulmate

Menarik mengulas rumah tangga Ayatollah wartawan Indonesia ini.

Sebagai wartawan, Rosihan dikenal garang, tapi sebagai suami ia terbilang lelaki penurut. Beberapa peristiwa penting dalam hidupnya ditentukan oleh kendali Zuraida. Ambil contoh pada 1970 ketika Rosihan ditawari jabatan duta besar Indonesia untuk Vietnam oleh Presiden Soeharto. Begitu tahu, Zuraida langsung bilang tidak. Mendengar itu Rosihan tak bisa membantah lagi.

Ia pun mengirim surat penolakan kepada Presiden Soeharto. “Mau bilang apa lagi, putusan ibu seperti itu,” ujar Pak Ros. Gara-gara mematuhi istri, Pak Harto kabarnya sempat memendam rasa kecewa kepada Pak Ros. Itu diungkap Ibu Tien kepada Pak Ros dalam suatu kesempatan. Malah, santer jadi bahan pergunjingan di kalangan terbatas wartawan, gara-gara penolakan tersebut, diramalkan peluang wartawan jadi duta besar akan tertutup. Syukurlah itu tidak terbukti.

Di masa tua, perhatian Pak Ros terhadap Ibu Zuraida maupun sebaliknya menakjubkan, tidak usang ditelan waktu. Dua tahun lalu ketika Ibu Zuraida dirawat karena sesuatu penyakit Rosihan menangis sesenggukan. Saya tahu karena Pak Ros secara khusus menelpon saya menginformasikan keadaan menghawatirkan Ibu Zuraida yang sedang di opname di Metropolitan Medical Center (MMC). Mereka adalah belahan jiwa (soulmate) satu sama lain.

Di hari wafat Ibu Zuraida, Pak Ros menangis di telepon. Begitu juga ketika saya datang melayat ke rumah duka. Matanya basah ketika memeluk saya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, di pembaringan, almarhumah Ibu Zuraida seperti hanya tertidur. Wajahnya bersih membersitkan senyum, seakan bahagia karena kembali dengan tenang kepada pemiliknya yang sah, Sang Khalik. (*)

*) H. Ilham Bintang adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010