Pontianak (ANTARA News) - Salah satu warisan budaya Kesultanan Pontianak yang hingga saat ini masih memiliki daya tarik tersendiri adalah meriam karbit.

Setiap tahun saat menjelang Hari Idul Fitri di tepian Sungai Kapuas akan tampak sejumlah meriam karbit buatan masyarakat setempat siap dinyalakan.

"Permainan meriam karbit ini sudah menjadi tradisi dan dimainkan masyarakat tepian Sungai Kapuas," kata seorang kerabat Kesultanan Pontianak, Syarif Usmulyani.

Saat menyambut 1 Syawal dentuman meriam karbit akan membahana di udara kota Khatulistiwa itu. Suara dentuman satu meriam dengan meriam lainnya memecahkan angkasa kota yang banyak sering diselimuti awan.

Sementara itu ratusan orang yang menyalakan meriam meriuhkan tepian Kapuas.

Menurut data yang ada di Dinas Pariwisata Kota Pontianak, tahun 2009 ada sekitar 40 kelompok warga yang bermain meriam karbit ini. Setiap kelompok itu jumlah anggotanya bervariasi dari 15 hingga 30 orang yang mewakili gang atau RT atau gabungan beberapa gang atau RT.

Setiap kelompok biasanya memiliki lima meriam, namun ada beberapa yang memiliki sampai belasan meriam.

Meriam sendiri terbuat dari batang kayu bulat silinder yang dibelah dan dibuat semacam rongga dalam. Kemudian dua belahan itu ditangkupkan kembali dengan diikat rotan yang kuat, sehingga bentuknya seperti bambu besar yang berongga dalam.

Kebanyakan lokasi meriam ditempatkan di tepian Sungai Kapuas di sekitar Jembatan Kapuas dengan kedudukan yang saling berhadapan, namun terbatasi bentang sungai yang lebarnya sekitar 600 meter itu.

"Mereka berjejer di masing-masing tepi sungai yang berhadapan, seakan siap-siap berperang," kata Usmulyani.

Dentuman yang bersahut-sahutan itu mengundang daya tarik masyarakat Kota Pontianak, bahkan wisatawan dari luar Kalbar.

Mereka rela berdesak-desakan di tepian sungai Kapuas untuk menyaksikan momen budaya tahunan tersebut.

Dentuman meriam karbit ini sangat keras, dapat terdengar dari radius 3-5 kilometer. Namun sensasi luar biasa lebih terasa bila berdiri radius 1-2 meter dari meriam.

Napak tilas

Menurut penuturan Usmulyani, permainan meriam karbit terkait dengan awal berdirinya Kota Pontianak.

Berawal pada Subuh 14 Rajab 1184 Hijriyah tepatnya 23 Oktober 1771, Syarif Abdurrahman mulai melakukan perjalanannya melalui alur Sungai Kapuas.

Sampai di persimpangan Sungai Kapuas dan Landak, Syarif membangun rumah dan balai, setelah delapan hari menebas pohon di kawasan itu. Bangunan pertama yang didirikannya adalah sebuah masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Jamik, kemudian baru Keraton Pontianak.

Di pertemuan kedua sungai, yang kini berdiri kampung tertua yakni Kampung Beting, berkembang masyarakat kesultanan yang dinamai Pontianak.

"Konon, selama delapan hari menebas pohon, para pengikut Syarif Abdurrahman mendapat gangguan para kuntilanak. Boleh jadi kata ?kuntilanak? bertransformasi menjadi Pontianak," tuturnya.

Namun dalam cerita rakyat Melayu, kata Pontianak pun berarti perempuan yang meninggal ketika melahirkan, kemudian bergentayangan di desa-desa untuk meneror warga. Disarankan oleh tetua Melayu, agar kita memelihara kuku panjang dan tajam, sehingga bila bersua sang Pontianak, dapat menancapkan kuku tajam pada lehernya agar berubah jadi perempuan cantik.

"Tapi Sultan Syarif Abdurrahman, memilih cara lain. Dia menembakkan meriam karbit ke arah hutan, yang diyakini sumber bunyi-bunyian seram pengganggu pengikutnya," cerita Usmulyani.

Dari kejadian mengusir gangguan itu berkembang di zaman kesultanan, meriam karbit digunakan sebagai penanda saat berbuka puasa di bulan Ramadhan. Dentuman meriam dibunyikan saat memasuki azan magrib yang tujuannya untuk memberitahukan masyarakat Pontianak bahwa waktu maghrib tiba.

"Maklum saja, pada saat itu masjid-masjid belum memiliki alat pengeras suara seperti saat ini. Selain itu, populasi penduduk yang jarang dan terpisah-pisah jelas menyulitkan mendengar suara azan," bebernya.

Namun kondisi itu menjadikan awal tradisi meriam karbit yang terus berlanjut hingga tak terasa sudah 239 tahun lamanya.

Tradisi itu kini dimainkan sejak malam takbiran hingga tiga hari setelah Lebaran, selepas senja hingga hampir tengah malam.

Biaya meningkat

Di tengah riuhnya dentuman meriam karbit itu sebetulnya permainan meriam ini semakin tahun semakin mahal biayanya.

Menurut penuturan warga setempat, harga kayu sekarang mahal, per batang ukuran panjang 3-4 meter dan diameter 80 sentimeter, bisa mencapai Rp1 juta.

"Itu pun kayunya susah dicari,? kata Roni, anggota kelompok Bintang Kejor, Kelurahan Banjar Serasan, Kecamatan Pontianak Timur.

Ia mengungkapkan bahwa ketika industri kayu di Kalimantan Barat rontok, kayu gelondongan dari hulu sulit didapat. "Dibandingkan dulu di tahun 1980-an sampai 1990-an, istilahnya tinggal mencegat tongkang kayu yang lewat, kayu mudah didapatkan dan murah," ujarnya.

Balok kayu yang paling baik untuk membuat meriam karbit ini adalah kayu Mabang. Namun, karena kesulian mendapatkan kayu jenis itu, biasanya masyarakat pembuat meriam karbit menggunakan kayu pengganti seperti Bengkirai dan Batang Asam.

?Karena kayu mahal padahal bagus untuk meriam, kami pakai kayu yang sudah digunakan lima tahun. Selama tidak dipakai, kayu dibenamkan di lumpur di dasar Sungai Kapuas, sehingga tidak dimakan binatang penggerek kayu,? katanya.

Namun dalam membuat meriam karbit ini, kelompok warga tidak segan merogoh saku mereka dalam-dalam. Untuk pembuatan satu buah meriam karbit saja bisa membutuhkan dana hingga Rp2 juta lebih.

"Kayu balok sebatang dibeli sekitar Rp1 juta, kemudian sisanya untuk membeli rotan untuk mengikat balok kayu ini seberat hingga 20 kilo dan upah menggesek balok. Dana itu biasa kami dapat dari patungan antarwarga," kata Roni.

Dia mengaku, jika dana yang terkumpul dari warga masih kurang, biasanya mereka berinisiatif untuk mengajukan proposal kepada berbagai pihak. Tak terkecuali meminta bantuan dari sponsor.

"Kita akan merasa sangat terbantu bila ada bantuan sponsor.Biasanya sih dapat dari sponsor kartu telepon, rokok dan minuman," katanya.

Biasanya bantuan itu hanya cukup untuk pembuatan meriam. Sedangkan karbitnya, biasa dibeli secara patungan.

Harga satu kilogram karbit bisa mencapai Rp16 ribu. Sedangkan satu meriam biasanya memerlukan seratus kilo karbit dalam waktu empat hari.

"Itu kalau dimainkan terus. Makin sering dibunyikan, jelas makin besar dana yang diperlukan," tambahnya.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Pontianak, Utin Khadijah memahami semakin tingginya biaya pembuatan meriam ini. Namun yang baru bisa dibantu hanyalah memberikan uang pembinaan bagi para pemenang dalam festival meriam karbit. Sedangkan untuk tahun ini Pemkot Pontianak memang tidak menganggarkan dana bantuan bagi masyarakat pembuat meriam ini.

Namun dalam keterbatasan itu ia meyakini partisipasi masyarakat dan sponsor akan membantunya dan pesona dentuman meriam karbit saat malam Lebaran tetap menjadi salah satu objek wisata unggulan kota ini.

"Permainan rakyat meriam karbit ini jelas memiliki nilai pesona budaya yang menarik. Tidak hanya masyarakat Pontianak, namun dari luar kota pun berdatangan menyaksikan," kata Utin.

Bahkan, di tahun 2007 meriam karbit kota Pontianak telah memecah rekor Museum Rekor Indonesia dan berulang kembali di tahun 2009.

Untuk mengembangkan kebudayaan ini, Utin berkomitmen akan terus melestarikannya, salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah dengan menggelar Festival meriam karbit setiap tahun.
(U.ANT-171*Z004/P003)

Oleh Oleh Rendra Oxtora
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010