Jakarta (ANTARA News) - Minggu ini, baik Israel maupun Palestina menghadapi dilema berkenaan dengan diselenggarakannya lagi pembicaraan langsung yang masih menggantung di Washington baru-baru ini mengenai masih samarnya tenggat waktu moratorium permukiman Israel.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan kuat dari konstituen sayap kanannya untuk mengacuhkan tenggat moratorium itu, sementara Presiden Palestina Mahmud Abbas memperingatkannya dia akan keluar dari kesepakatan jika pembangunan permukiman Yahudi itu diteruskan.

Kendati begitu, kedua belah pihak tidak ingin terlihat menjadi penyebab gagalnya perundingan sehingga mempermalukan Presiden AS Barack Obama, yang lebih dari 18 bulan berjuang menarik mereka kembali ke meja perundingan.

Obama optimistis seiring dengan kehadiran Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton di Mesir, Selasa, untuk melaksanakan putaran dua dari pembicaraan langsung pertama sejak pecahnya Perang 22 Hari antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza pada Desember 2008.

"Saya tetap penuh harap, namun memang ini akan rumit," katanya kepada wartawan Jumat.

Dia mengaku telah mendesak Netanyahu untuk memperpanjang moratorium, sementara kepada Abbas dia meminta untuk lebih fleksibel.

Para pejabat Israel secara pribadi mengatakan pemerintahnya akan menghindari membuat pernyataan formal mengenai batas moratorium tanggal 26 September, namun diam-diam mencegah setiap pembangunan permukiman.

Hari Minggu lalu, Netanyahu berkata kepada partai sayap kanannya Likud yang selama ini menentang perpanjangan moratorium, bahwa "selalu ada pilihan jalan tengah."

Sementara Palestina telah mengisyaratkan bahwa meskipun mereka berulang kali memperingatkan Israel, mereka tidak akan menjadi penyebab runtuhnya perundingan, yang bisa melukai hubungan mereka dengan Washington.

"Perundingan telah dilakukan dan tidak ada kata mundur dari itu," kata seorang pejabat senior Palestina yang menolak mengungkapkan jati diriya pekan lalu.

Dia menambahkan, "Bukan pihak kami yang membuat hancur totalnya perundingan-perundingan itu." Namun, dia yakin Israel dan pemerintah AS sedang mengerjakan jalan keluar atas permukiman.

Palestina melihat kehadiran setengah juta orang Israel di sekitar lebih dari 120 pemukiman yang tersebar di Tepi Barat yang diduduki Israel, termasuk Jerusalem Timur, sebagai ancaman utama terhadap pembentukan negara yang telah dijanjikan untuk mereka itu.

Sejumlah komentator telah menyarankan semakin cepat kesepakatan mengenai batas negara disepakati akan bisa segera menetralisir masalah permukiman sehingga jelas dimana Israel dapat terus membangun.

Namun hari Minggu lalu, koran-koran Israel mengutip sumber-sumber resmi, melaporkan bahwa Netanyahu ingin terlebih dahulu menyelesaikan masalah pengaturan keamanan di masa depan dan memastikan pengakuan Palestina atas Israel sebagai negara Yahudi.

Palestina telah berulang kali menolak mengakui Israel sebagai Yahudi, mengakui Israel akan membahayakan hak kembali para pengungsi Palestina dan keturunannya yang melarikan diri atau diusir Israel selama perang Arab-Israel 1948.

Bahkan jika solusi perselisihan permukiman dicapai, Palestina khawatir perundingan akan membuat mereka sebagai kelinci percobaan yang membuat mereka terus menjadi pihak yang lemah di hadapan Israel dan sekutu dekatnya Amerika Serikat.

"Pihak Palestina terpaksa melakukan negosiasi ini," kata George Giacaman, profesor pada Universitas Birzeit di Tepi Barat yang diduduki Israel.

"Apabila negosiasi lambat makan pihak Amerika akan memberikan saran kepada kedua belah pihak dan Palestina pasti harus menerimanya karena menjadi pihak yang lebih lemah."

Pada akhirnya, tawaran satu-satunya cara adalah kehadiran Palestina dalam perundingan, dengan membekali satu opsi utama menarik diri dari proses perdamaian yang adalah sebuah langkah yang justru makin merusak otoritas mereka dan membuat Israel berkuasa terhadap 2,5 juta warga Tepi Barat.

"Kartu kuat satu-satunya yang harus dimainkan Otoritas Palestina dalam perundingan adalah mempertahankan perundingan tetap jalan. Israel tidak ingin ketegangan yang terjadi merembet ke Tepi Barat," kata Giacaman.

Sementara itu Abbas, seperti halnya Netanyahu, menghadapi tekanan dalam negeri yang kuat untuk tidak membuat konsesi terhadap isu-isu inti, termasuk dengan Hamas yang memerintah Gaza dan secara konsisten menentang perundingan dengan Israel.

"Jika kita mencapai kesepakatan maka (Hamas) akan hilang, dan jika kita tidak mencapai kesepakatan maka kitalah yang bakal lenyap," kata Kepala negosiator Palestina Saeb Erakat AFP minggu lalu. "Saya sangat berharap kita dapat mewujudkannya, insya Allah." (*)

AFP/Adam Rizal/Jafar Sidik

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010