Washington (ANTARA News/AFP) - Mantan Presiden AS Jimmy Carter meminta Washington mengupayakan "secara agresif" perdamaian dengan Korea Utara karena para pemimpin negara komunis itu menginginkan hubungan lebih baik dengan negara-negara dunia.

Dalam pernyataan publik pertamanya mengenai misinya bulan lalu ke Korea Utara untuk membebaskan seorang tahanan AS, Carter mengatakan, para pemimpin negara itu menyuarakan kekhawatiran atas tekanan akhir-akhir ini yang dilakukan oleh Korea Selatan dan AS.

"Mereka juga mengatakan, mereka siap menunjukkan keinginan mereka bagi perdamaian dan denuklirisasi," tulis Carter dalam artikel Kamis di The New York Times.

"Mereka menyebut perundingan enam pihak sebagai `dijatuhi hukuman mati namun belum dieksekusi`," kata Carter, menunjuk pada perundingan denuklirisasi dimana Korea Utara menarik diri tahun lalu.

Cater -- yang merundingkan sebuah perjanjian terdahulu untuk mengakhiri krisis dengan Korea Utara pada 1994 -- menegaskan kepada orang-orang Korea Utara bahwa ia bukan utusan AS. Namun, ia menyatakan menyampaikan pesan mereka (Korea Utara) kepada Washington.

"Penyelesaian Semenanjung Korea sangat penting bagi perdamaian dan stabilitas di Asia, dan hal ini sudah terlalu lama melampaui batas waktu," kata penerima Nobel Perdamaian itu.

"Pesan-pesan positif dari Korea Utara ini harus ditanggapi dengan agresif dan tanpa penundaan, dan setiap langkah dalam proses itu harus dipastikan secara hati-hati dan menyeluruh," tambahnya.

Selama kunjungannya ke Korea Utara, Carter bertemu dengan pemimpin-pemimpin senior namun tidak dengan Kim Jong-Il karena pemimpin tertinggi itu sedang melawat ke China.

Dalam artikel opini itu, Carter tidak menyinggung-nyinggung penenggelaman kapal Korea Selatan Cheonan pada Maret.

Ketegangan di semenanjung Korea meningkat tajam sejak Korea Selatan dan AS menuduh Korea Utara mentorpedo kapal perang Seoul itu, yang menewaskan 46 orang.

Korea Utara membantah terlibat dalam tenggelamnya kapal itu dan mengancam melakukan pembalasan atas apa yang disebutnya latihan perang provokatif Korea Selatan yang dilakukan sebagai tanggapan atas insiden kapal tersebut.

Latihan itu, yang melibatkan 4.500 prajurit, 29 kapal dan 50 jet tempur, merupakan salah satu dari serangkaian latihan terencana dalam beberapa bulan ini, beberapa diantaranya dilakukan dengan AS, sekutu Seoul, dalam unjuk kekuatan terhadap Korea Utara.

Kapal perang Korea Selatan Cheonan tenggelam pada 26 Maret di dekat perbatasan Laut Kuning yang disengketakan dengan wilayah utara pada dalam kondisi misterius setelah ledakan yang dilaporkan.

Dewan Keamanan PBB mengecam penenggelaman kapal Korea Selatan itu namun tidak secara langsung menyalahkan Korea Utara, meski AS dan Korea Selatan meminta kecaman PBB terhadap negara komunis itu.

Penyelidik internasional pada 20 Mei mengumumkan hasil temuan mereka yang menunjukkan bahwa sebuah kapal selam Korea Utara menembakkan torpedo berat untuk menenggelamkan kapal perang Korea Selatan itu, dalam apa yang disebut-sebut sebagai tindakan agresi paling serius yang dilakukan Pyongyang sejak perang Korea 60 tahun lalu.

Korea Selatan mengumumkan serangkaian pembalasan yang mencakup pemangkasan perdagangan dengan negara komunis tetangganya itu.

Korea Utara membantah terlibat dalam insiden tersebut dan membalas tindakan Korea Selatan itu dengan ancaman-ancaman perang.

Seorang diplomat Korea Utara mengatakan pada 3 Juni, ketegangan di semenanjung Korea setelah tenggelamnya kapal perang Korea Selatan begitu tinggi sehingga "perang bisa meletus setiap saat".

Dalam pernyataan pada Konferensi Internasional mengenai Perlucutan Senjata, wakil utusan tetap Korea Utara untuk PBB di Jenewa, Ri Jang-Gon, menyalahkan "situasi buruk" itu pada Korea Selatan dan AS.

"Situasi semenanjung Korea saat ini begitu buruk sehingga perang bisa meletus setiap saat," katanya.

Kedua negara Korea itu tidak pernah mencapai sebuah perjanjian pedamaian sejak perang 1950-1953 dan hanya bergantung pada gencatan senjata era Perang Dingin. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010