Jakarta (ANTARA News) - Pekerja seni di Indonesia yang lebih mencurahkan perhatian dan ekspresinya untuk berkarya memerlukan bantuan dari profesi lain, termasuk kalangan hukum agar karya seni di negeri ini dapat terdokumentasi secara baik dan memiliki hak atas karya intelektual (HAKI), kata seniman film Slamet Rahadjo Djarot.

"Orang seperti saya hanya berpikir dan mengekspresikan karya seni melalui film. Nah, kalau saya juga memikirkan soal hak cipta, hak paten atau berbagai hak lain di sisi hukum, maka saya yakin saya bakal gagal bikin film," katanya dalam Diskusi Serial Bulanan (Diserbu) "Afternoon Tea - Indonesia Spirit: Budaya Kerajinan Indonesia" di Restoran Seribu Rasa, Jakarta, Jumat.

Dalam acara yang diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) bersama Metro TV dan Djarum Bakti Budaya tersebut Slamet mengemukakan, bagi pekerja seni lebih mengutamakan kepentingan mengekspresikan gagasannya menjadi karya seni yang dapat dinikmati masyarakat.

"Oleh karena itu, ada baiknya orang seperti Wina Armada yang paham hukum wajib membantu berbagai urusan menyangkut hak karya seni orang-orang seperti saya ini," kata pemeran sosok Kiai Penghulu Kamaludiningrat dalam film "Sang Pencerah", yang kini beredar di bioskop nasional.

Wina Armada yang disebut Slamet Rahardjo adalah anggota Dewan Pers yang juga wartawan dan pengamat film, serta praktisi hukum yang berpengalaman menanggani HAKI dan hak paten. Dalam diskusi tersebut Wina juga menyampaikan sejumlah informasi mengenai HAKI dan hak paten atas karya seni.

Slamet menilai, bangsa Indonesia tidak sepatutnya khawatir atau bahkan marah menanggapi adanya bangsa lain mengklaim sejumlah karya seni yang juga sudah lama ada sekaligus berkembang di Indonesia.

"Masalah yang sering terjadi adalah bangsa kita ini justru mengabaikan apa yang ada. Tiba-tiba saja kita bisa tersinggung, bahkan marah manakala ada bangsa lain yang lebih peduli," katanya.

Sutradara film "Telegram" itu pun berpendapat, bangsa Indonesia juga jangan sampai kalap menanggapi sejumlah hal berhubungan dengan Malaysia.

"Sudahlah, buat saya Malaysia itu sebenarnya ingin menjadi provinsi terbaru di Indonesia. Hanya saja Indonesianya tidak mau. Jadi, ya Malaysia mencari-cari jati diri bercermin dari kehebatan Indonesia," katanya, disambut tawa peserta diskusi.

Ia pun menceritakan bagaimana banyak seniman, termasuk Eros Djarot yang juga adik kandungnya, lebih menilai karya seni sebagai wujud persembahan kepada masyarakat dan Tuhan.

"Surya Paloh pernah minta izin ke Eros, karena lagu Badai Pasti Berlalu karya Eros menjadi lagu tema saat Metro TV menyiarkan musibah tsunami di Aceh tahun 2004. Saat Surya bertanya berapa nilai rupiah yang harus dibayar atas karya lagu itu, lha Eros malah bilang, gratis karena lagu itu milik Tuhan," demikian Slamet Rahardjo Djarot.
(T.R009/P003)

Pewarta: Priyambodo RH
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010