Padang (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menemukan 787 kasus pelanggaran pembayaran tunjangan hari raya (THR) yang tidak sesuai dengan Ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 04 Tahun 1994.

"Pelanggaran THR Tahun 2010 itu juga memiliki pola yang hampir sama dengan tahun sebelumnya yakni, perusahaan tidak membayar THR, telat membayar, dan kurang dalam pembayaran," kata Muhamad Isnur dari LBH Jakarta dalam siaran persnya diterima ANTARA, Sabtu.

Menurut Isnur, pelanggaran tersebut sudah diteruskan diteruskan ke Direktorat Jenderal Pengawasan Depnakertrans RI.

Ia mengatakan, kasus pelanggaran tersebut ditemukan memalui Posko yang dibentuk atas bekerjasama LBH Mawar Saron, Trade Union Right Center, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia (SBTPI), dan organisasi lainnya.

"Berdasarkan pengaduan dari buruh ke posko tersebut LBH Jakarta menindaklanjuti berupa memberikan surat peringatan (somasi) kepada perusahaan-perusahaan pelanggar THR 2010," katanya.

Ia menyebutkan, pasca libur Idul Fitri, LBH Jakarta menerima laporan pengaduan Pelanggaran THR pada Tahun 2010 justru meningkat.

Pada Tahun 2009, katanya, LBH Jakarta menerima 6 Laporan, tetapi pada tahun 2010 meningkat menjadi 9 laporan, yang terjadi pada 9 perusahaan dengan korban mencapai sekitar 787 buruh.

Sementara itu, paska libur Idul Fitri 2010, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Muhaimin Iskandar mengatakan bahwa pembayaran THR tahun 2010 lebih baik daripada tahun 2009.

Pernyataan Menakertrans tersebut didasarkan atas laporan dari Posko Pemantauan THR Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dimana tahun 2010 pengaduan yang masuk ke Posko Pemantauan THR hanya berjumlah 12 laporan.

Namun menurut Isnur, data posko pemantuan THR Kemenakertrans tidak dapat dijadikan sebagai patokan bahwa kondisi pelanggaran THR tahun 2010 menurun.

"Sedikitnya ada tiga hal mengapa Posko Pemantauan THR Kemenakertrans tidak berjalan efektif," katanya itu lebih akibat sosialisasi pendirian posko tersebut kurang. Kedua, pendirian Posko Pemantauan THR Kemenakertrans tidak diikuti secara merata dan maksimal oleh dinas?dinas di bawah kemenakertrans.

Selain itu ada rasa pesimistis dari korban kalau penanganan atas laporan mereka diselesaikan melalui cara?cara konvensional, yaitu menyerahkan kepada mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang tentu memakan waktu yang lama, buka diselesaikan oleh bagian Pengawasan.

Disamping itu, data yang disampaikan oleh posko pemantuan THR Kemenakertrans hanya memuat jumlah pengaduan, tapi tidak memuat jumlah korban secara keseluruhan.

"Misalkan apabila dalam sebuah perusahaan mempekerjakan buruh minimal 100 orang, maka apabila ada 12 perusahaan berarti minimal 1.200 buruh tidak mendapatkan THR," katanya hal ini menunjukan kewajiban pembayaran THR oleh perusahaan, tidak menunjukan perbaikan ditahun 2010.

(F011/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010