Surabaya (ANTARA News) - Penganekaragaman pangan diyakini menjadi solusi anomali cuaca karena dapat mengantisipasi terjadinya kelangkaan pangan di Jawa Timur.

"Cuaca yang tidak menentu sangat mempengaruhi hasil produksi pertanian," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Jatim, Tutut Tri Herawati, di Surabaya, Senin.

Menurut dia, jika tidak segera diantisipasi dikhawatirkan berimbas pada stok pangan terutama beras sebagai bahan pokok makanan masyarakat. Untuk itu, ia sedang melakukan koordinasi dengan PKK baik provinsi maupun kabupaten/kota sekaligus menyosialisasi pemanfaatan media pekarangan rumah sebagai tempat bercocok tanam sederhana.

"Upaya ini bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam skala kecil," ujarnya.

Ia optimistis, kalau program ini dilakukan serentak di pekarangan yang ada masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan pangannya sehari - hari. Bahkan, masyarakat tidak hanya berperan sebagai konsumen.

"Masyarakat dapat menanam umbi - umbian atau tanaman pangan lain," katanya.

Ia menjelaskan, pemanfaatan pekarangan dapat membantu masyarakat tidak terlalu bergantung terhadap beras. Apalagi, pemanfaatan pekarangan, tidak membutuhkan tempat luas, minim biaya perawatan dan bisa menggunakan pupuk organik.

Di sisi lain, kini makanan yang berasal dari bahan baku nonberas dan tepung terigu telah hadir dalam jenis makanan yang beragam dan menarik seperti mie, bakpao, pizza, dan tepung singkong

"Kami sarankan, masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi makanan nonberas jangan beralih untuk mengkonsumsi beras sebagai makanan utamanya," katanya.

Menyikapi solusi tersebut, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jatim, Kadar Oesmadi, menambahkan, perubahan iklim sekarang ini merupakan tantangan besar para petani. Anomali cuaca mengakibatkan produktivitas petani terganggu.

"Sementara, kelangkaan pupuk atau minimnya akses pembiayaan masih bisa disiasati," katanya.

Terkait akses pembiayaan, ia menilai, sampai sekarang banyak petani sudah mendapat kucuran dari berbagai skim yang ada seperti kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) dan kredit usaha rakyat (KUR). Bahkan, pendanaan dari program kepedulian lingkungan dari berbagai BUMN.

"Namun, permasalahan perubahan iklim kami sulit mengatasinya," keluhnya.

Ia memproyeksi, anomali cuaca berdampak buruk terhadap penurunan produksi sejumlah komoditas di Jatim misalnya kedelai. Luas panen kedelai diprediksi turun sebesar 24.797 hektare dengan penurunan volume produksi kedelai sebesar 33.277 ton. Pada tahun 2010, Jatim awalnya menargetkan produksi kedelai mencapai 420.100 ton per tahun, naik dari tahun 2009 yang hanya sebesar 355.099 ton per tahun.

"Akibat anomali cuaca, target tersebut sulit tercapai. Sampai bulan Agustus, realisasi tanam kedelai hanya mencapai 56,57 persen dari target," katanya.

Di samping itu, lanjut dia, produksi gula Jatim juga diprediksi turun sebesar 360.000 ton atau rata-rata sebesar 2 ton per hektare. Penurunan itu karena rendahnya rendemen tebu yang sudah digiling atau menjadi 6 persen.

"Padahal, saat giling tahun lalu rendemen tebu petani mencapai 8 persen," katanya.
(ANT071/B012)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010