Jakarta (ANTARA News) - Kepiawaiannya dalam mendamaikan mereka yang berperkara, plus kepedulian yang mendalam terhadap "anak nakal", dan terobosannya di bidang "restoration justice", telah menuntun langkah hakim Dewi (49) ke belasan negara dan hampir semua provinsi di Indonesia.

Dalam kaitan itu, Ny. Hj. Diah Sulastri Dewi, SH, MH, demikian nama lengkapnya, telah melakukan studi banding ke Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Hongkong, China, Macao, Belanda, Prancis, Belgia, dan Jerman. Sementara perjalanannya ke semua provinsi di Tanah Air, kecuali Papua, antara lain dimaksudkan untuk menyosialisasikan mediasi, peradilan atas anak bermasalah dengan hukum (anak nakal).

Terakhir, pada 2 Juli 2010, Dewi dipromosi dari hakim anggota di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat menjadi Wakil Ketua PN. Stabat, Sumatra Utara.

Dewi lahir di Medan, Sumut, pada 2 April 1061. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara. Bapaknya, R. Wahyu Supangkat yang berasal dari Yogyakarta bekerja sebagai pegawai PT. Kimia Farma, sementara ibunya yang berdarah Melayu berprofesi sebagai guru.

Menjadi hakim bagi Dewi boleh dikatakan kebetulan, karena dari semula di bercita-cita untuk menjadi dokter. Untuk meraih cita-citanya itu, setamat SMA Medan pada 1979, Dewi mengikuti "Ujian Perintis" untuk masuk perguruan tinggi negeri. Namun takdir berkehendak lain. Dia tidak lulus.

"Untuk kuliah di fakultas kedokteran swasta, orang tua saya tidak mampu. Apalagi, semua adik saya sudah pada sekolah. Agaknya Allah memang tidak menakdirkan saya untuk menjadi dokter," ujarnya kepada ANTARA, belum lama ini.

Namun, kenyataan itu tidak membuat Dewi patah semangat. Perempuan dengan penampilan agak "tomboy" ini lantas putar haluan, dengan bekerja di sebuah perusahaan swasta asing di Medan, selama dua tahun.

"Kala itu saya merasa sangat bahagia bisa mandiri, membiayai kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, dan bahkan membantu meringankan beban orang tua dalam menyekolahkan adik-adik," katanya.

Sambil tetap kuliah, Dewi yang mengaku aktif di kepramukaan ini mulai merintis karirnya sebagai PNS di Pengadilan Tinggi (PT) Sumatera Utara, sejak 1981. Selama kurang lebih sepuluh tahun, dia bertugas sebagai staf khusus ketua PT, merangkap panitera pengganti. Gelar sarjana hukum diraihnya pada tahun 1987.

Dewi menikah dengan Hazuardi, seorang pengusaha sukses asal Bukittinggi, Sumbar, pada 1984. Mereka dikaruniai tiga anak. Putra sulungnya kini sudah jadi calon hakim di PN Bogor, yang nomor dua semester akhir FH Unpad Bandung, sementara si bungsu baru saja tamat SMA di Jakarta tahun ini.

Pada tahun 1991, Dewi mengikuti tes calon hakim di Medan, dan ternyata lulus. "Yang paling berkesan, waktu tes hari pertama, anak bungsu saya baru saja berusia dua hari," katanya.

Setahun kemudian, Dewi ditempatkan sebagai calon hakim di PN Jakarta Pusat. Surat pengangkatannya menjadi hakim keluar pada tahun 1996, dengan penugasan di PN Sumber, Cirebon, Jabar. Tahun 2001-2004 dia bertugas di PN. Bale Bandung, sebelum dimutasi ke PN Bandung hingga awal 2009. Di "Kota Kembang" ini pulalah dia menyelesaikan kuliah S-2 pada FH IBLAM. Dia pun kini tengah kuliah S-3 di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di Jakarta.

Sejak awal 2009, Dewi dimutasi lagi sebagai hakim anggota ke PN. Jakarta Barat, sebelum mendapat promosi menjadi pejabat struktural di PN. Stabat.


Anak dan perempuan

Selama menjalankan amanah sebagai "wakil Tuhan" untuk urusan keadilan, hampir semua jenis perkara pernah ditanganinya, baik pidana maupun perdata. Namun, yang paling mengusik perhatiannya adalah anak-anak yang bermasalah dengan hukum (korban).

"Saya sangat prihatin, karena saat ini sekitar 7.000 anak-anak kita berada di balik jeruji besi di seluruh nusantara," ujar Dewi yang juga anggota Wakil Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) pada Kementerian PP dan PA ini.

Menurut hakim spesialis anak ini, seorang akan memiliki kecenderungan nakal, bila dia tidak menemukan jatidirinya di dalam rumah, kurangnya penanaman agama dan budi pekerti, serta jeleknya jalinan komukasi dalam keluarga .

"Semua elemen masyarakat, mulai dari keluarga, lembaga pendidikan hingga negara bertanggung jawab dalam hal ini. Namun menurut saya, yang paling bertanggung jawab adalah kedua orang tuanya, karena anak adalah titipan Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan tidak saja di dunia, tetapi juga di akhirat kelak," katanya.

Keprihatinan serupa juga diungkapkannya berkaitan dengan kian banyaknya kaum perempuan yang terlibat dalam berbagai tindak pidana (korban) belakangan ini.

"Banyak faktor yang mengharuskan kaum perempuan berada di luar rumah, seperti kemiskinan dan kebutuhan akan pekerjaan. Dia luar sana, dia akan bersentuhan dengan berbagai tipe orang, termasuk yang berperilaku jahat. Kalau landasan imannya kurang kuat, mereka pun bisa terjerumus. Meskipun demikian, saya tidak menyesali perjuangan RA. Kartini tentang gender seabad yang lalu," ujar Dewi.


Mediasi

Selain menyandang predikat sebagai hakim spesialis anak, Dewi juga dikenal piawai dalam melakukan mediasi atau juru damai dalam perkara perdata. Sertifikat sebagai mediator diperolehnya dari Lembaga Terakreditasi untuk Sertifikasi Mediator pada Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT) di Jakarta, beberapa tahun yang lalu.

"Saya bahkan sudah tertarik pada soal mediasi ini sebelum menjadi hakim, sewaktu masih menjadi panitera pengganti di Medan. Guru utama saya adalah Pak Bismar Siregar, Ketua PT kala itu. Beliau adalah mediator ulung, dan cinta damai," katanya mengenang.

Dia mengungkapkan, aturan tentang mediasi dalam perkara perdata sudah lama tertuang dalam KUHAPerdata yang diadopsi dari hukum kolonial Belanda, namun sifatnya barulah anjuran. Proses mediasi baru diwajibkan sejak 2008, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (MA) tentang Mediasi.

"Namun, saya terkadang nekad melakukan terobosan. Saya juga melakukan mediasi secara terbuka dalam kasus pidana anak, dan kasus pidana umum tertentu, yang secara teoritis bisa disebut `restoration justice`, dengan pertimbangan tidak semua pelaku kejahatan itu mesti dihukum dalam penjara, atau dijatuhi hukuman seberat-beratnya," ujarnya berdalih.

Menurut dia, hukuman yang dijatuhkan itu haruslah bersifat mendidik. "Toh, dimasukkan dalam penjara, siapa yang bisa menjamin dia akan manjadi orang baik-baik setelah kembali ke masyarakat, mengingat lembaga pemasyarakatan kita hingga kini masih banyak disorot. Jangan-jangan tingkat kejahatannya malah naik kelas," ujarnya lagi.

Dalam kaitan ini pulalah Dewi dipercaya untuk melakukan sosialisasi ke 32 dari 33 provinsi, di samping studi banding ke luar negeri bersama hakim lain dan para pejabat di lingkungan Mahkamah Agung. Bahkan untuk ke Jepang, dia melakukannya sampai lima kali.

Yang tak kalah menarik, dia pun hampir selalu ditunjuk menjadi "juru bicara" ketika tamu dari luar negeri melakukan studi banding ke Indonesia. "Secara kebetulan, barangkali, saya bisa bekomunikasi dalam bahasa Inggris, Jepang dan Bahasa Arab. Semuanya itu saya pelajari secara otodidak," katanya.


Super sibuk

Sewaktu bertugas di PN. Jakarta Barat, selain menjalankan tugas rutin, Dewi pun berusaha mendorong pejabat struktural terkait untuk menertibkan registrasi berkas perkara anak, meneruskan kebiasaannya di PN Sumber, Bale Bandung, dan PN Bandung sebelumnya.

"Di PN Jakarta Barat, registrasinya masih bercampur aduk dengan perkara pidana lainnya, sehingga sewaktu-waktu kita minta datanya, mencarinya susah sekali. Mestinya, registrasi untuk perkara anak dilakukan khusus, terpisah dari perkara lain. Proses penyidangannya saja dilakukan secara khusus," katanya.

Selain itu, Dewi juga aktif sebagai Wakil Ketua Pokja PP dan PA pada Kementerian PP dan PA, anggota Pokja Pengkajian Hukum Perempuan dan Anak MA, anggota Pokja PP dan PA untuk Pengarusutamaan Gender, anggota Pokja Penanganan Korban Human Trafficking di Mabes Polri, Pokja Mediasi di MA, trainer di IICT, anggota Pusat Mediasi Nasional, serta dosen di beberapa fakultas hukum.

Namun demikian, Dewi pun mengaku tak pernah mengabaikan kodratnya sebagai perempuan, istri dan ibu dari anak-anaknya. "Keluarga saya, Alhamdulillah, cukup harmonis, meskipun secara fisik kami saling berpencaran. Saya selalu berkomunikasi dengan mereka melalui telepon genggam di setiap ada kesempatan," katanya.

Meskipun super sibuk, Dewi yang juga sering jadi presenter khusus di lingkungan internal MA ini terlihat tetap sehat dan energik. "Kebetulan sekali saya orangnya gampang tidur, di mobil sekali pun. Saya juga rutin fitness, sesekali travelling, dan kalau menonton TV, saya suka yang ringan-ringan dan lucu," kata penggemar tayangan Tukul dan Mr. Bean ini.

"Dia bagus, pintar, dan profesional," demikian komentar Ketua Muda Perdata MA, Atja Sondjaja, terhadap sosok Dewi, suatu ketika. (KWR/Kaswir/K004)

Oleh Oleh Kaswir
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010