Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan hasil pemungutan suara Pilpres secara resmi, perhitungan cepat beberapa lembaga polling memperoleh kesimpulan hampir sama: pasangan SBY-Boediono memperoleh dukungan suara sekitar 60 persen dengan
Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan hasil pemungutan suara Pilpres secara resmi, perhitungan cepat beberapa lembaga polling memperoleh kesimpulan hampir sama: pasangan SBY-Boediono memperoleh dukungan suara sekitar 60 persen dengan tingkat kemenangan merata di hampir semua provinsi; di susul pasangan Megawati-Prabowo (sekitar 28 persen); dan terakhir JK-Wiranto (sekitar 13 persen).

Kalau tidak ada perbedaan yang mencolok atas hasil perhitungan cepat itu, juga kalau laporan-laporan mengenai pelanggaran pemilu telah diproses dengan “baik”, maka SBY akan melanjutkan kepemimpinannya yang kedua kalinya.

Ada beberapa hal penting dapat dicatat dari kemenangan SBY kali ini. Pertama, SBY tidak lagi didampingi oleh JK, melainkan Boediono. Antara JK dan Boediono punya karakter cukup berbeda. Perbedaan karakter itulah yang juga akan mewarnai lima tahun pemerintahan SBY ke depan.

JK, sebagaimana kemudian publik ketahui berani bersaing dengan SBY, begitu peluang untuk bersatu lagi pupus. JK kerap bersikap dan bertindak atraktif (kalau bukan “suka mengklaim” peran pentingnya) dalam proses pengambilan dan implementasi kebijakan SBY-JK.

Sepanjang lima tahun pemerintahan SBY-JK, hubungan kedua tokoh mengalami masa pasang naik dan pasang surut. Kesan persaingan politik keduanya mengemuka, manakala JK sebagai wapres lantas berhasil mengambilalih Partai Golkar pada Munas ke-7 Desember 2004. JK menjadi punya “posisi politik” yang kuat, walaupun tetap memiliki sejumlah dilema.

SBY sering merasa dibuat kerepotan oleh JK. Tetapi, setelah pilpres tahun ini, SBY tentu saja sudah cukup merasa aman dari “hal-hal yang merepotkan”. Boediono tampaknya lebih menjamin bahwa dirinya tak sama dengan JK, malah sebaliknya: kalem, tak banyak bicara, dan “tak mengandung potensi melawan”.

Kedua, secara dukungan politik, posisi SBY sudah cukup aman. Partai Demokrat sendiri merupakan partai pemenang pemilu (20,85 persen suara atau 26,43 persen dari total jumlah kursi di DPR 560 kursi, yakni memperoleh sekitar 150 kursi).

Belum lagi ditambah dukungan beberapa partai yang melewati angka Parliamentary Threshold (PT): PKS (7,88 persen suara atau sekitar 57 kursi atau 10,54 persen kursi), PAN (6,01 persen suara atau sekitar 43 kursi atau 7,50 persen kursi) , PPP (5,32 persen atau sekitar 37 kursi atau 7,50 persen kursi), dan PKB (4,94 persen suara atau sekitar 26 kursi atau 4,64 persen kursi).

Kekuatan kursi koalisi di DPR sudah lebih dari 50 persen. Ini tentu sudah jauh melampaui kekuatan pihak oposisi, katakan PDIP (93 kursi atau 16,61 persen), Partai Gerindra (30 kursi atau 5,36 persen), dan Partai Hanura (15 kursi atau 2,68 persen).

Ketiga, yang tak kalah menarik dicermati adalah ke mana arah politik Partai Golkar: apakah menjadi oposisi ataukah kembali menjadi pendukung pemerintah. Partai Golkar dukungan suaranya anjlok dalam pemilu legislatif kali ini (meraih 108 kursi atau 19,29 persen).

Walaupun misalnya, Koalisi Besar kompak, artinya Golkar konsisten menjadi kekuatan oposisi bersama PDIP, Gerindra dan Hanura, maka kekuatannya di parlemen pun tetap di bawah Koalisi pro-pemerintah.

Apakah Golkar akan menjadi oposisi? Idealnya memang demikian, karena sejak awal bukan pendukung SBY-Boediono. Tetapi, apakah elite-elite politiknya siap untuk itu?
Terkait dengan masalah Golkar ini, sejak masa pencalonan presiden terbelah menjadi dua kubu utama: yang pro-bergabung dengan Partai Demokrat, dan yang kontra.

Faktor hubungan SBY-JK memang sangat berpengaruh atas dinamika partai ini. Pada awalnya tampak bahwa SBY dan Partai Demokrat berupaya untuk meneruskan koalisinya dengan Golkar, tetapi, minus JK.

JK dan simpatisannya rupanya tak terima, dan lantas lewat Rapimnasus yang berjalan dengan relatif singkat dengan kepesertaan pengambil keputusan yang terbatas (tidak melibatkan DPD-DPD II sehingga berbeda dengan Konvensi 2004), JK diputuskan sebagai capres, dan lantas melesat cepat dengan menggandeng Wiranto justru setelah Koalisi Besar diumumkan.

Dan ketika kalah, maka JK masih berupaya mempertahankan pengaruh di internal Golkar. Namun kali ini agaknya mekanisme reward and punishment akan bekerja, dan itu artinya kalau mekanisme internal berjalan secara rasional-demokratis, maka “kegagalan” kepemimpinan JK dalam membesarkan Golkar, akan menuai dampak.

Cepat atau lambat, tampaknya Golkar akan merapat kembali ke posisi yang akomodatif terhadap pemerintah (dan tentu ini akan menguntungkan pemerintahan SBY). Betapapun demikian, siapapun yang memimpin partai ini ke depan, harus berkonsentrasi penuh membangun partai, terlepas dari apakah partai ini memposisikan diri sebagai kelompok pengimbang atau pro-pemerintah.

Keempat, soal keleluasaan SBY dalam menyusun kabinet yang kali ini situasi dan kondisinya sangat berbeda dengan masa lampau (2004). Katakan, dengan diperkuat oleh catatan-catatan di atas, maka kabinet ke depan merupakan “kabinet SBY murni”. Karenanya mestinya SBY dituntut untuk lebih baik dalam memilih pembantu-pembantunya, baik dari segi komposisi, representasi, maupun terutama keahlian, sehingga kabinetnya mendekati ideal zakeen kabinet.

Kalau hasil perhitungan cepat tidak meleset, maka rakyat telah memberikan mandat kedua kalinya bagi SBY. Proses pilpres memang masih menyisakan beberapa riak, terutama soal kekacauan Daftar Calon Tetap (DPT), sehingga legitimasi (kualitatif) bagi yang terpilih bisa dipertanyakan. Tetapi bukan berarti absah, karena justru legitimasi kuantitatifnya paling besar.

Kesempatan kedua bagi SBY dan keberhasilan politik citranya, tentu merupakan kesempatan yang seharusnya tidak boleh disia-siakan. Periode 2009-2014, adalah periode The real SBY, tanpa basa-basi. Rakyat akan (leluasa) menilai, atas kepemimpinan SBY yang sesungguhnya. (***)


Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009