Pernahkah Anda mengalami masa-masa sulit saat sedang berikhtiar melakukan kebaikan? Boleh jadi, kita semua pernah mengalaminya. Sementara, begitu mudahnya bila hal sebaliknya, keburukan, kita lakukan.
Pernahkah Anda mengalami masa-masa sulit saat sedang berikhtiar melakukan kebaikan? Boleh jadi, kita semua pernah mengalaminya. Sementara, begitu mudahnya bila hal sebaliknya, keburukan, kita lakukan.

Teman, ajaran agama tentang prinsip-prinsip kebaikan yang biasanya disertai dengan ujian-ujian pasti telah kita yakini. Sebagai muslim, saya juga meyakini kebenaran akan janji Allah SWT dalam Al Qur'an yang menyatakan, "Sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada kemudahan". Dia nyatakan itu sampai diulang dalam QS 94:5-6.

Menafsirkan pernyataan Tuhan di atas menuntut kemampuan akal untuk menjangkaunya, dan disertai hati yang akan merasakan getaran ilahiah. Tapi, sering kali tidak mudah untuk menerapkan keyakinan itu, apalagi pada saat kita sedang dirundung masalah terus-menerus.

Manusia diberikan kebebasan untuk memilih sikap atas semua kejadian yang menimpanya, baik menghadapi kesulitan maupun kemudahan. Lezatnya kemudahan, manakala kita mampu mengatasi kesulitan dengan segala anugerah akal dan hati pada jiwa yang dekat dengan penciptanya. Keduanya dapat saling mengisi untuk dapat menaklukkan setiap ujian agar dapat meningkatkan kualitas keimanan seseorang.

Dulu, kita pernah menghadapi ulangan-ulangan di sekolah dan berbagai ujian, termasuk ujian masuk SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Apakah semuanya kita lalui dengan mudah? Tentu tidak, bukan? Saat itu kita merasakannya sebagai kesulitan. Tak terbayangkan apa yang akan keluar menjadi soal ujian, apalagi membayangkan akan ada ujian apa lagi setelahnya. Tetapi, saat kita telah sanggup melintasinya, telah usai melaksanakan ujian-ujian tersebut, bukankah semuanya terasa nikmat saja?

Di sisi lain, ada pula peristiwa-peristiwa yang kita merasa kurang berhasil melintasinya dengan memuaskan. Tetapi, manakala kita belajar dari pengalaman itu, bukankah kita bisa memaknainya sebagai jalan lain yang juga tak kalah indahnya?

Ada kisah nyata beberapa tahun lalu tentang ujian semacam itu. Saya dan beberapa tetangga menjadi panitia pembangunan rumah ibadah di kompleks perumahan kami. Mulai dari membentuk kepanitiaan, proses perencanaan pembangunan, pencarian dana, pelaporan penggunaan dana, sampai pelaksanaannya  memakan waktu kurang lebih 8 bulan. Alhamdulillah, berkat kerja bersama, rumah ibadah itu selesai.

Nah, selama proses pembangunan, kami melalui berbagai ujian dan ketegangan yang kerap muncul diantara panitia. Rupanya, tanpa kami sadari kami ingin menyelesaikan rumah ibadah tersebut dengan sudut pandang, pengalaman dan persepsi masing-masing. Tentu ini menjadi kendala yang berarti dalam suatu kepanitiaan.

Untunglah, dalam kondisi emosi yang memuncak, seorang tokoh panutan di kompleks perumahan kami, Pak Hobol Siregar, urun suara. Beliau dengan bijak mengingatkan kami semua agar jembar atau cool dalam menghadapi berbagai masalah saat itu. "Untuk kebaikan, ujiannya pasti lebih besar," tuturnya.

Ia juga mengatakan, semua yang terlibat pasti berniat baik dan tinggal bersabar menyelesaikan setiap permasalahan satu-persatu. Menyelesaikan masalah dengan "sumbu pendek", ibarat petasan, akan mudah meledak dan mencelakakan siapa saja didekatnya.

Teman, saya yakin Anda pernah mengalami berbagai pengalaman sejenis. Pengalaman pada tingkat kepemimpinan diri, keluarga, organisasi, bahkan bangsa sekalipun. Selalu ada jalan, bila kita mampu menempatkan masalah pada tempatnya.

Mata dan sudut pandang kita, merupakan fungsi atau perpanjangan visi hidup kita. Ia sejatinya mampu menjangkau tujuan dan gambar besar di sana, yang tidak boleh ditutupi oleh masalah di depan mata saat ini.

Semua masalah yang kita hadapi di depan mata harus dapat diurai. Bila dilakukan dengan kepala dingin berfokus pada jalan keluar paling baik untuk kepentingan bersama, pasti ada jalan keluarnya.

Terkadang kita bisa sepakat untuk tidak sepakat. Itulah realitas kehidupan, sebab kita masih bisa berteman dengan siapa pun, saat mengalami perbedaan sikap dan pandangan. Bahkan, saat perbedaan keyakinan sekalipun.

"Man Jadda, wa jada"; siapa yang tekun pasti berhasil, demikian salah satu peribahasa Arab yang kita dengar sejak kecil. Tekun atau persisten berarti kita sejatinya harus mampu memaksimalkan semua potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi segala rintangan dengan kerja keras dan kerja cerdas secara optimal terus-menerus.

Sunatullah yang boleh jadi sering kita alami. Semakin kita tekun, semakin banyak kemudahan dan energi positif yang menyebar pada lingkungan. Orang awam seperti saya, sering menyederhanakannya sebagai "keberuntungan".  

Jadi, mari senantiasa bercermin pada suara hati, karena dia yang paling jujur.

Bukanlah saat kita melakukan semua tindakan kebaikan dengan persisten dan sepenuh hati, termasuk mengatasi berbagai ujian yang merintanginya, segalanya begitu nikmat dan indah, bukan?

Dan, sebaliknya saat kita melakukan berbagai tindakan keburukan, ada suara hati yang sesungguhnya menolak, bukan?  

Hasrat jiwa yang menggelora untuk menggunakan anugerah akal dan hati secara maksimal demi kebaikan akan terasa menggetarkan diri, demikian pesan seorang ahli tasawuf.

Getaran ini bakal mampu menggerakkan berbagai tindakan nyata dalam kehidupan, terlebih lagi saat kita mampu menaklukkan segala yang merintanginya.
Wallahu'alam. (***)

*) Praktisi Manajemen dan Pemerhati Kepemimpinan, tinggal di Bogor

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009