Seseorang tidak akan menjadi tokoh, kecuali melalui fase “perjumpaan” dan interaksi sosial. Tak sekedar pertemuan fisik tetapi lebih pada gagasan, ambisi, cinta, permufakatan, dan mencipta sesuatu serta hal-hal lain.
Di rak toko buku itu, Dul hanya bisa memandangi kavernya. Buku itu terbungkus plastik. Bukunya lumayan tebal, dan harganya dalam rupiah, untuk ukuran saya cukup mahal. Tentu tak hari itu Dul ambil. Baru beberapa minggu kemudian, alhamdulillah, terbeli.

Dul selalu kecewa keluar dari toko buku tapi tak membeli satu pun. Dul sudah termasuk setengah kolektor. Ada yang mengganjal ketika sebuah buku magnetis, artinya yang bagi saya memikat, belum terbeli.  Dul memang aneh, karena seringkali menempatkan buku apapun saja, sebagai barang primer.
Buku apa sih yang memikatnya?

***
Dikarang Rodney Castleden, buku ini berjudul “Encounters that Changed the World” (2009) alias pertemuan-pertemuan yang mengubah jalannya sejarah.  Buku ini memang segera mengingatkan kita pada buku legendaris Micheal H Hart “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History “ (1978). Hart dipuji-puji banyak pembaca karena menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh paling berpengaruh di dalam sejarah.
   
Keunikan buku Castleden ini, karena ia mengkoleksi banyak kisah pertemuan, yakni pertemuan dengan Tuhan, dengan “aliens”, pertemuan yang membuahkan jalinan persahabatan sejati, pertemuan karena cinta, karena adanya kesempatan, pertemuan yang bersifat politik, pertemuan yang bermusuhan, hingga pertemuan yang kreatif.
   
Dalam kisah “perjumpaan” manusia dan Tuhan, di situ antara lain ada Musa, Yesus (Isa) dan Muhammad.  Mereka para Nabi. Selain itu ada juga Budha, dan sebagainya hingga Joan of Arc.

Intinya, ada konteks spiritual yang kuat yang menggerakkan untuk berbuat, meskipun tidak semuanya dikategorikan sebagai nabi.  “Perjumpaan” tersebut memperkuat “legitimasi Ilahiah”, dan sejarah dunia pun berubah.  

Tentang Muhammad, Castleden berkomentar bahwa “perjumpaannya” dengan Tuhan telah membuat Muhammad menjadi Nabi yang merestorasi “uncoruppted original faith of Adam, Abraham, Moses, Noah and Jesus, a fundamentally and uncompromisingly monotheistic faith”.

Castleden menguraikan secara menarik kisah-kisah persahabatan tokoh-tokoh legendaris yang mengubah wajah dunia, antara lain Plato dan Socrates (399 SM), Sigmund Freud dan Carl Jung (1907), Grigori Rasputin dan Tsarina Alexandra (1908), dan masih banyak lagi.

Juga kisah-kisah cinta yang “politis” seperti pertemuan antara Antony dan Cleopatra (42 SM), Dante dan Beatrice (1274), Napoleon Bonaparte dan Joshepine de Beauharnais (1795).

Dalam uraian lain juga dikisahkan perjumpaan antara Marcopolo dan Kublai Khan (1274). Pertemuan-pertemuan politik mutakhir juga dicatat: Konferensi Yalta (1945), Konferensi Bandung (1955), Che Guevara dan Fidel Castro (1955), Kennedy dan Nixon di televisi (1960), Nixon dan Mao (1972), dan sebagainya.

Perjumpaan yang berakhir dengan pengkhianatan juga terekam dalam Caesar dan Brutus (47 SM). Juga diuraikan sejumlah pertemuan kreatif,  antara lain John Lenon dengan Paul McCartney (1957), atau Bill Gates dan Paul Allen (1970).

Memang banyak nama yang kurang akrab bagi kita, tapi intinya adalah bahwa “perjumpaan” memiliki dampak lanjutan, perubahan, bahkan mengubah jalannya sejarah.

Soal -detil kisah-kisah yang dianggap monumental itu silakan baca bukunya sendiri.

***
Seseorang tidak akan menjadi tokoh, kecuali melalui fase “perjumpaan” dan interaksi sosial. Tak sekedar pertemuan fisik tetapi lebih pada gagasan, ambisi, cinta, permufakatan, dan mencipta sesuatu serta hal-hal lain.

John Lenon tak akan bisa membuat “The Beatles” tanpa pertemuannya dengan Paul McCartney. Brutus tak akan “mengkhianati” Caesar, kalau tak ada ambisi. Antony tak akan mereken Cleopatra, kalau tak terpikat cinta.
   
Tapi, perjumpaan-perjumpaan itu akan menjadi hal biasa saja, manakala mereka (lebih tepat gagasan mereka) tak berjumpa dengan “momentum”.
   
Ketika seseorang menjadi tokoh, setelah fase “perjumpaan” itu, maka ia akan menggerakkan simbol-simbol justru di dalam menegaskan substansi. Nabi, siapapun membutuhkan simbol, cara dan pendekatan yang khas untuk menguraikan substansi ajaran Ilahi.

Moralitas itu abstrak, dan tidak akan terpahami tanpa simbol. Simbol itu penting, tetapi substansi tentunya jauh lebih penting. Simbol akhirnya menjadi bagian dari proses identifikasi diri dan kelompok, untuk membedakan dengan yang lain.

Identitas keagamaan, tak lepas dari simbol-simbol. Birokratisasi agama, merupakan bentuk selanjutnya, yang kalau tidak arif-bijak pemeluknya bisa terjebak pada ekses-eksesnya. Atau, umat bertengkar karena simbol dan birokrasi, tapi lupa esensi, akhlak.

Karenanya tetap perlu dilakukan, apa yang diistilahkan oleh Kuntowijoyo (almarhum) sebagai obyektifikasi. Fanatisme simbolik bisa berbahaya, karena tidak proporsional dan berlebihan. Fanatik diperbolehkan pada aspek-aspek substansial, aqidah, keyakinan. Dan dalam Islam jelas: “bagimu agamamu, bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6).

Sebagai umat Tuhan, tentu aneh apabila kita membatasi diri dalam pergaulan, secara etis dan manusiawi. Tetapi di dalam hal keyakinan, memang tidak boleh ada paksaan. Inilah hakikat toleransi yang diajarkan Islam, dan kiranya merupakan ajaran universal juga.

***
Dalam membangun bangsa (kita sudah terlanjur memiliki Indonesia), maka jelas syaratnya adalah adanya proses “perjumpaan” yang diperkokoh oleh semangat dan praktik toleransi di tengah keberagaman. Religiusitas harus terus dijaga, karena hal tersebut merupakan bagian integral dari modal sosial kita sebagai bangsa yang religius.

Jangan sampai pintu dialog tertutup, dan yang muncul serta menguat adalah kecurigaan satu sama lain. Kedewasaan kita sebagai bangsa diukur dari bagaimana cara memecahkan masalah secara elegan, konstruktif, melalui jalan dialog yang proporsional dan antikekerasan.
   
Sebagai negara mayoritas Muslim, tentu saja merupakan pekerjaan rumah yang masih terus harus dikerjakan dengan serius, yakni mengupayakan Islam sebagai “rahmatan lil alamin”. Islam adalah rahmat dan bukan sesuatu yang menakutkan. Islam yang ramah, bersahabat, bukan yang mengedepankan wajah permusuhan.

***
By the way, Dul bangga Ketua DPR Marzuki Alie terpilih sebagai Presiden Parlemen Negara-negara Anggota OKI (Parliamentary Union for OIC Members/PUIC) di Kampala, Uganda beberapa waktu lalu. Semoga bisa bekerja dengan optimal, sehingga mampu mencitrakan Indonesia sebagai negara Muslim yang berpengaruh, dan mampu “mengubah wajah sejarah”. (***)

Alfan Alfian dosen di Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010