Sepakbolalah yang membuat warga Catalan, Basque, Castilla, dan Andalusia yang selalu bersaing, tumpah bersama memenuhi jalanan kota-kota Spanyol, manakala negeri ini memenangi Piala Eropa 2008.
Tidak ada inspirasi hidup modern yang sehebat sains, seni dan olah raga. Dan di antara olah raga yang menginspirasi itu, yang paling menonjol mungkin adalah sepakbola.

Permainannya yang begitu mudah telah begitu menginspirasi manusia sehingga selalu disandingkan dengan ide harmoni global.

Pakar olahraga Brazil Fernando Soares Schlindwein berkata, "Hal mengesankan dari sepakbola adalah Anda bisa memainkannnya dengan orang lain dengan alat apa saja. Permainan ini menyatukan semua kelas sosial."

Sepakbolalah yang membuat warga Catalan, Basque, Castilla, dan Andalusia yang selalu bersaing, tumpah bersama memenuhi jalanan kota-kota Spanyol, manakala negeri ini memenangi Piala Eropa 2008.

Sepakbola juga menjadi pelipur lara dari derita perang.

Ketika gencatan senjata diumumkan Inggris dan Jerman pada Perang Dunia Pertama, hal pertama yang dilakukan tentara kedua negara adalah berhadapan satu sama lain untuk bermain sepakbola.

Spirit sepakbola telah menyiram energi positif pada manusia, tapi dari segala spirit itu Piala Dunia adalah yang paling membius.

"Piala Dunia membuat sekolah libur, toko tutup, kota lengang, dan perang berhenti," kata Bono, vokalis band kesohor Inggris, U2.

Salah satu buktinya adalah saat Pantai Gading lolos ke Piala Dunia 2006, Presiden Laurent Gbagbo dan gerombolan pemberontak sepakat menghentikan konflik. 

Sementara di Nigeria, dua pihak yang sedang perang saudara setuju menghentikan baku tembak hanya demi menyaksikan superstar Brazil Pele berlaga di Piala Dunia 1970.

Sepakbola pula yang membuat energi bangsa Belanda menjadi berlebih, manakala menghadapi Jerman yang selalu mereka lawan dengan amat emosional.

Franklin Foer, pengarang "How Soccer Explains the World", bahkan menyebut Belanda tak sepenuhnya pulih dari kenangan buruk Perang Dunia Kedua sampai kemudian bek Frank Rijkaard meludahi Rudi Voller pada babak kedua Piala Dunia 1990.

Sementara predikat Juara Dunia 1998 telah membuat Prancis larut dalam keagungan yang hanya disamai oleh momen ketika mereka dibebaskan dari cengkeraman Nazi Jerman.

"Semua masalah pascaperang seperti rekonstruksi Prancis, dekolonisasi, Perang Aljazair, pengangguran, perpecahan sosial dan rasial, pupus oleh kejayaan Prancis di Piala Dunia," kata Geoffrey Hare dalam "Football in France."

Penawar ampuh

Sebaliknya, Jerman yang dirundung rasa bersalah oleh Perang Dunia Kedua, mengembalikan lagi kebanggaannya dengan menjuarai Piala Dunia 1954 setelah menghentikan Hungaria di final.

Perasaan sama menghinggapi Belanda ketika mengalahkan Jerman di semifinal Piala Eropa 1988. "Warga Belanda seakan menganggap keadilan telah ditegakkan," kata pujangga Inggris keturunan Belanda, Ian Buruma.

Belanda yang dimotori trio Van Basten, Gullit dan Rijkard lalu menjadi Juara Eropa 1988. Sebaliknya, ketika Johan Cruyff cs ditaklukan Franz Beckenbauer dkk pada final Piala Dunia 1974, hati rakyat Belanda hancur.

Namun sepakbola juga dapat memicu konflik, bahkan perang, seperti "Perang Sepakbola" antara El Salvador dan Honduras pada 1969.

Setelah lebih dulu mendidih oleh sengketa imigrasi, kedua negara jatuh perang setelah kesebelasan kedua negara bertanding pada Juni 1969 dalam babak praPiala Dunia 1970.

Kedua negara lalu memutuskan hubungan diplomatik. Dua minggu kemudian, perang 100 jam pecah dan menelan 2.000 korban jiwa.

Semenanjung Balkan juga mendidih diantaranya oleh sentimen yang dibawa dari stadion sepak bola.

Maret 1990 di Zagreb, Red Star Belgrade dari Serbia, bertanding menghadapi Dinamo Zagreb dari Kroasia, untuk memperebutkan juara liga Yugoslavia.

Laga itu digelar tepat dua minggu setelah tokoh nasionalis Franjo Tudjman terpilih menjadi Presiden Kroasia.

Aroma permusuhan demikian kuat menyengat dan para penggemar kedua klub menjadi demikian beringas hingga tim Serbia harus diungsikan melalui helikopter.

15 tahun setelah Perang Balkan harian Vecernji mengulas, "Pertandingan yang tidak tuntas itu akan dikenang setidaknya oleh penggemar bola, sebagai kunci untuk memahami mengapa Kroasia berperang (melawan Serbia)."

Para suporter Red Star sendiri berubah menjadi anggota inti unit paramiliter yang bengis dan menjadi operator utama pembersihan etnis Kroasia dan Muslim selama Perang Balkan.

Energi nasionalisme yang hebat juga dirasakan maestro Argentina, Diego Maradona.

Dalam bukunya "El Diego: The Autobiography of the World's Greatest Footballer," Maradona mengaku tersengat oleh kenangan pahit kekalahan Argentina dari Inggris pada Perang Malvinas saat menaklukan Inggris di perempatfinal Piala Dunia 1990.

"Kami menyalahkan para pemain Inggris untuk semua penderitaan yang dialami rakyat Argentina. Kami tahu banyak anak Argentina yang mati ditembak bagai burung oleh tentara Inggris. Kemenangan saat itu adalah balasan," kata Maradona.

Karakter bangsa

Hal lain yang menarik dari Piala Dunia adalah pelajaran mengenai karakter bangsa yang mungkin bisa menjadi ilham bagi bangsa lain.

Di antara karakter yang menarik dipelajari adalah karakter raksasa-raksasa bola seperti Jerman, Italia, Brazil, Prancis, Inggris, Spanyol, dan Belanda.

Jerman bermain bak sekumpulan jenderal tengah merancang perang dengan amat cermat. Mereka bagaikan panser-panser dari divisi panser Heinz Willhem Guderian yang menaklukan Eropa di Perang Dunia Kedua.

"Semua hal dicapai oleh tinjauan ke depan, persiapan cermat, dan kerja keras," kata negarawan AS Henry Kissinger (Los Angeles Times, 29/6/1986).

Sementara Brazil senantiasa mengimbuhkan  keindahan dan kesenangan dalam setiap laga, seolah sedang menggubah karya seni adi luhung.

Brazil menyajikan kegembiraan yang menularkan sehingga orang dirayu mengikuti gerak permainan mereka yang bagaikan sedang menarikan samba.

Kissinger menilai, "Brazil tak peduli hasil pertandingan, namun sebagaimana lembaga-lembaga politiknya, individualisme mereka dirangkaikan dengan kemampuan luar biasa untuk menciptakan kinerja nasional yang efektif."

Sementara Italia bertanding dengan balutan sejarah yang amat panjang dan memanggul spirit kuno saat Romawi menaklukan separuh dunia.
 
Bagaikan tentara Romawi, Italia begitu mengandalkan taktik dan cermat mengkalkukasi energi untuk akhirnya mencipta malapetaka dahsyat manakala lawan lengah atau lelah.

Tujuan utama permainan Italia adalah menguras energi lawan, merusak konsentrasinya dan memaksa lawan meninggalkan gaya permainannya.

"Awalnya cenderung destruktif dan amat defensif, satu gaya bermain yang hanya dicapai oleh kegigihan dan disiplin. Namun sekali pola itu dipraktikan Italia, maka itu menjadi sangat efektif, bahkan begitu cantik," kata Kissinger.

Kini, miliaran penduduk Bumi akan menyaksikan itu semua mulai 11 Juni 2010 di Afrika Selatan.

Kepenatan dan kegaduhan domestik yang dihadapi banyak penduduk Bumi pun sejenak terlupakan.

Mereka akan mengikuti para arsitek sepakbola seperti Fabio Capello, Marcelo Lippi, del Bosque, Joachim Loew, Dunga, Maradona, dan lainnya, bersaing menggelarkan pasukan terbaik, sekaligus membuktikan apakah total football, catenacio, atau kreasi-kreasi lain yang akan berjaya nanti.

Manusia seluruh dunia juga akan asyik memelototi aksi seniman bola seperti Cristiano Ronaldo, Messi, Rooney, Kaka, Drogba, dan lainnya.

Mereka akan berpaling sementara dari ekspos laku tidak sportif dan kegaduhan yang membosankan di media.  Selamat datang Piala Dunia! (*)

Oleh Jafar M Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010