Impian tertinggi yang disertai dengan tujuan-tujuan jangka pendek yang terukur, dijalani dengan keyakinan kuat, sikap positif dan keteguhan untuk meraih tujuan-tujuan yang ditetapkan adalah kunci terwujudnya impian-impian kita.
Bayangkan bila Anda sedang berada di sebuah perahu kecil bermesin 15 PK di tengah lautan. Bayangkan juga, di depan dan di samping perahu itu, ombak setinggi hampir tiga meter menerpa perahu yang Anda tumpangi bertubi-tubi. Hempasan ombak itu terus menerpa tanpa Anda ketahui kapan berakhirnya.  

Saya yakin banyak dari Anda pernah mengalami situasi seperti itu. Sewaktu kuliah lapangan dulu, saya pun pernah beberapa kali menghadapi situasi itu. Menghadang hempasan ombak tinggi selalu menggairahkan bersama teman-teman kuliah kala itu.

Pengalaman kali ini berbeda, saya menjalaninya bersama istri dan putri tunggal kami, Amira, beberapa waktu lalu saat menghabiskan waktu liburan sekolahan tahun ini. Situasi itu kami hadapi saat melintasi Selat Pelawangan, di kawasan Provinsi Sejuta Masjid, NTB.

Selat Pelawangan merupakan pertemuan antara Pulau Lombok dengan tiga pulau kecil di sekitarnya; Gili Trawangan, Gili Menuk dan Gili Air. Beberapa teman menyarankan kami kembali dari kunjungan ketiga pulau tersebut siang hari selepas makan siang, dengan rute sama saat berangkat pada pagi hari.

Namun naluri petualangan kami mengarahkan pemandu kami, Chalid (41), untuk mengunjungi Gili Menuk dan mendekati Gili Air untuk kembali ke Pulau Lombok pada sore hari dengan rute yang berbeda.

Sebelum melewati rute itu, sejenak Chalid menatap kami satu-persatu seperti hendak memastikan keyakinan dan kesiapan kami. Lantas, setelah itu ia menyatakan sanggup dan segera bergegas menurunkan semua penutup dan bagian-bagian lain perahu yang dapat menahan laju perahu.

Selama menghadapi terjangan ombak di sepanjang Selat Pelawangan itu, Chalid (41 tahun) dengan sigap mengendalikan jalannya perahu. Terkadang saya tidak mendengar bunyi mesin motor, di tengah derasnya air laut yang menerpa tubuh kami. Sekujur badan kami pun basah kuyup, seperti basahnya semua bagian dalam perahu.

Saya menatap ke depan dan ke sekeliling perahu bergantian sembari ”menyapa” lautan luas, sebagai sesama ciptaan Allah SWT. Dalam hati, saya mengagumi betapa hebatnya para nelayan yang boleh jadi menghadapi situasi seperti itu setiap hari.

Alhamdulillah kami sampai kembali di Pulau Lombok dengan selamat. Saya merekomendasikan wisata kunjungan tiga pulau itu. Pulau yang amat indah dengan pemandangan bawah laut yang luar biasa di provinsi yang tengah berbenah di bawah kepemimpinan Gubernur muda yang kharismatis, KH Zainul Majdi, Lc.  

Saat istirahat, saya menyempatkan bertanya pada Pak Chalid, bagaimana ia sanggup mengarungi terjangan ombak setinggi itu dengan gesit dan tenang. Jawaban Chalid menarik, kawan.

”Pilih dan hadapi ombak yang paling tinggi”, katanya. ”Tadi sempat kepikir untuk membatalkan rute itu, sebab rute ini berisiko pada sore hari”, tambahnya. ”Namun melihat Bapak sekeluarga tenang, saya pun tambah tenang dan jadi lanjut terus”, tambahnya. ”Ketinggian ombak tadi termasuk paling tinggi yang pernah saya hadapi saat melintasi Selat Pelawangan”.

”Bila harus kembali, kita harus melakukannya dengan hati-hati, agar perahu tidak terbalik”, lanjutnya. ”Menghadapi ombak tertinggi adalah cara terbaik untuk sampai ke tujuan” tegasnya. Subhanallah kawan. Hari itu bertambah lah guru kehidupan saya, ia bernama Chalid, seorang pemandu perahu dari Pulau Lombok.

Saya jadi teringat nasihat sejumlah orang bijak tentang ajakan untuk membangun impian tertinggi dalam menjalankan tugas kemanusiaan kita. Sebab, kemuliaan tugas kemanusiaan kita tergantung sepenuhnya pada kita masing-masing. Kata mereka juga, visi kehidupan adalah impian dan konsistensi untuk menjalankan tindakan-tindakan menuju perwujudan impian-impian itu.

Seorang teman lain, Haikal Hassan, pernah berujar; ”Kawan, iblis dan setan saja sangat sungguh-sungguh mewujudkan impiannya, mengajak manusia kepada kesesatan. Mosok, manusia tak sungguh-sungguh untuk memperjuangkan impian dan kemuliaannya”.

Impian tertinggi yang disertai dengan tujuan-tujuan jangka pendek yang terukur, dijalani dengan keyakinan kuat, sikap positif dan keteguhan untuk meraih tujuan-tujuan yang ditetapkan adalah kunci terwujudnya impian-impian kita.

Keteguhan kita pada saat menghadapi berbagai ujian atau ”ombak” kehidupan adalah bagian dari indahnya kehidupan itu sendiri. ”Segala sesuatu indah pada waktunya, bila kamu jalani semuanya dengan ikhlas dan sepenuh hati” ujar Hadi Satyagraha, salah seorang guru saya yang lain.  

”Rawatlah perkawanan dan lingkungan dimana kamu pernah dibesarkan. Mereka adalah tangga-tanggamu yang membawamu pada titik kehidupan yang sekarang, sebab suatu waktu boleh jadi kita harus melewati tangga-tangga itu untuk kembali”, tambahnya. Memutus perkawanan atau tidak merawat silaturahmi adalah tindakan tak sadar ”membakar” tangga-tangga itu, demikian esensi nasihat Pak Hadi.

Pesan Pak Chalid, Pak Hassan dan Pak Hadi tiba-tiba begitu membekas dalam benak saya. Kata-kata ketiganya terasa begitu nyata. Tak ada pilihan mundur untuk terus menjalani semua tugas dan tanggungjawab yang kita semua jalani kini, bila hati, pikiran, jiwa dan raga kita sudah di sana.

Pesan Pak Hadi agar terus membersihkan hati dan menjalani semuanya dengan sepenuh hati,  pikiran, jiwa dan raga kita adalah pesan universal kepada kita pemilik kehidupan hari ini dan esok hari. Pesan Pak Hadi ini saya yakin dapat mempertegas nasihat orang tua dan Agama yang selama ini kita yakini masing-masing.

Berprasangka positif terhadap Dia, Pemilik dan Penentu ketinggian dan besaran ”ombak” kehidupan, adalah bagian terpenting yang menjadi landasan falsafah hidup itu sendiri. ”Aku, sebagaimana prasangka hamba-Ku”, demikian salah satu Hadits Qudsi yang saya yakini sebagai seorang muslim. ”Tak Aku berikan beban, yang di luar kesanggupan hamba-Ku” pesan-Nya tegas dalam Al Qur’an.

Kawan,
Guru kehidupan kita bisa berasal dari mana saja. Saya yakin Anda pun menemukan mutiara-mutiara kata seperti itu di mana-mana. Kata-kata itu akan terus memperkuat spirit kita. Saya teringat pepatah lama yang sering dikutip Aa Gym ”bila kita berkawan dengan penjual sate, boleh jadi kita akan terkena asap bakarannya. Namun, bila kita berkawan dengan penjual minyak wangi, boleh jadi kita terpercik harumnya”.

Berkawanlah dengan lingkungan yang dapat memperkuat ikhtiar kita meraih impian untuk meraih semua impian-impian kita, nampaknya itu pesan yang dimaksud sang dai kondang itu.

Hadapi ombak tertinggi. Pesan Pak Chalid itu terus terngiang-ngiang hingga kini saat menatap berbagai "ombak" yang terus datang. Itu adalah ajakan esensial tentang bagaimana kita memaksimalkan potensi manusia yang luar biasa untuk meraih yang terbaik dalam kehidupan.

Ombak-ombak di selat itu telah melatih Pak Chalid untuk tambah sigap dan berketerampilan semakin tinggi setiap harinya. Kemampuannya terus meningkat setelah melewati rangkaian peristiwa yang dijalaninya. Ia pun makin tangguh.

Bagaimana dengan kita, kawan? ”ombak” manakah yang kita pilih dan hadapi selama ini? Sudahkah kita melakukan yang terbaik?

Setiap manusia unik dan diberikan kelebihan-kelebihan yang dapat menjadi bekal kehidupan untuk meraih kesuksesan dan kemulian dirinya di hadapan Tuhan, Sang Pemilik Sejati.

Sudahkah kita memaksimalkan potensi itu dalam hidup yang hanya sekali ini, untuk meraih impian yang terbaik? Agar suatu saat kelak kita pun berhak meminta yang terbaik dari Dia, Sang Pemilik Jiwa kita ini? Wallahu’lam.

*) Praktisi Manajemen dan Pembelajar Kepemimpinan

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010