Anda boleh tak cocok dengan pemerintah. Anda boleh menggerundel. Tetapi, untuk menjatuhkannya, konstitusilah yang harus dipegang –karena pasti konstitusi mengatur jalan keluarnya, termasuk hal-ihwal permakzulan
Saat kembali ke Jakarta dari Bandara Esenboga, Ankara, Turki, saya harus transit di Bandara Doha, Qatar selama sebelas jam. Untungnya bandara transit saya itu ramai, alias temannya cukup banyak.

Para “mbak-mbak” tenaga kerja kita di Timur Tengah, jumlahnya ratusan, yang ternyata salah satu di antara mereka duduk bersebelahan dengan saya dalam pesawat ke Jakarta.

Menyaksikan mereka, benak saya masih tergiang-ngiang soal demokrasi –padahal apa hubungannya antara manajemen TKI dengan demokrasi ya? Sebagaimana sebelum tulisan ini dibuat, saya terjebak kemacaten yang sangat parah di Jakarta, dan sempat membuat catatan ringkas di twitter, “apa gunanya demokrasi, kalau jalanan macet terus?” –kira-kira apa hubungannya demokrasi dengan kemacetan?

Barangkali gara-garanya adalah, ketika saya mewawancarai berbagai kelompok kepentingan di Turki –tempat saya melakukan penelitian buat disertasi saya–, demokrasi dipandang dari sudut pandang subyektifitas kepentingan (politik) masing-masing. Demokrasi itu lebih dari satu versi pemaknaannya, bahkan sejumlah orang yang berbeda pendapat.

Sebenarnya wajar, manakala, misalnya kelompok partai penguasa (AKP) menyatakan telah melakukan gebrakan demokratis di negerinya. Referendum amandemen konstitusi 12 September yang lalu, dicatatnya sebagai momentum terobosan demokrasi yang mengesankan –dalam kerangka memenuhi standar Uni Eropa.

Dan, wajar pula, apabila pihak oposisi tidak setuju dengan amandemen konstitusi terlalu jauh. Pihak CHP, sebagai partai oposisi, tentu sangat khawatir manakala perombakan konstitusi mereduksi ideologi sekuler yang sudah ditanamkan oleh Mustafa Kemal Ataturk.

Di Turki, saya antara lain saya telah mewawancarai seorang mantan tentara. Ia mengatakan pemerintah Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan sekarang tidak demokratis –karena, katanya, pola pikirnya dipandangnya tak demokratis, menolak pluralisme.

Ia, dan kelihatannya “kalangan militer” lain, bersikap sama dengan kelompok oposisi yang kurang cocok dengan kehadiran dan gaya pemerintahan Erdogan. “Military”, katanya, “can do nothing”, dengan perubahan politik yang ada –sebab memang legitimasi pemerintahan demokrasi ialah apabila yang berkuasa menang pemilu.

Militer, katanya, tak mungkin melakukan kudeta lagi. Mereka sudah dipagari secara politik, sehingga tak bisa bergerak. Tapi bukan berarti mereka menolak demokrasi. Hanya saja, kata sang mantan jenderal itu, demokrasinya bukan a la Erdogan yang dikritiknya bermental Sultan yang otoriter, bukan seorang demokrat.

Saya bertanya, apakah Ataturk tempo dulu, dengan dalih menegakkan ideologi Kemalisme tidak lebih otoriter? Ia menjawab, memang praktiknya demikian, tetapi mindset-nya demokratis. Ataturk adalah seorang demokrat secara mindset, sementara Erdogan tidak.

Apabila Anda menyimak dinamika politik Turki, silakan Anda berpendapat. Yang jelas, antara yang pro-EVET (Ya) dan pro-HAYIR (Tidak) dalam referendum amandemen konstitusi 12 September, punya pendapat yang berbeda –bahwa demokrasi dipandang dari sudut pandang yang berbeda sama sekali.

***

Di bandara transit itu, saya cari bacaan dengan melacak toko buku yang ada. Beberapa buku saya beli, dan termasuk novel karya terbaru Peter Cerey, “Parrot and Olivier in America”. Ini novel soal demokrasi.

Anda mungkin pernah membaca beberapa karya Peter Carey –terutama yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Carey adalah novelis kelahiran Australia, dan pernah tinggal di New York selama duapuluh tahun. Mungkin karena itulah, novelnya kali ini berlatar belakang New York, Amerika –demokrasinya.

Novel ini terinspirasi dari Alexis de Tocqueville, “Democracy in America”, dengan seting cerita abad ke-19. Dikisahkan dengan bahasa santai, novel ini mengisahkan dua sosok manusia dengan latar belakang yang sangat berbeda, tetapi mereka dipertemukan dalam lingkungan baru yang sama, yakni “Amerika yang demokratis”.

Olivier adalah seorang aristokrat Perancis, yang masa kecilnya mengalami trauma dalam lingkungannya yang mengalami revolusi. Parrot, orang Inggris, yang selalu bercita-cita menjadi seniman, tetapi selalu gagal dan berakhir menjadi jongos. Lewat petualangan yang seru mencari kehidupan di Dunia Baru, Carey dengan jeli mengaitkannya dengan kultur demokrasi yang sedang terbentuk –yang mempertemukan dua sosok ini dalam kesederajatan.

Kita bisa membayangkan, bagaimana seorang aristokrat harus mau mencopot mentalitas “ndoroisme”-nya, untuk mau berbaur dengan aneka manusia dengan latar-belakang berbeda-beda.

Sebaliknya, bagaimana seorang jongos pun ternyata punya hak dan kesempatan yang sama dalam demokrasi –walaupun praktiknya, terkadang “penuh perjuangan”, apalagi manakala permainan demokrasi politik sering dimenangkan oleh komplotan elite tertentu, atau yang punya uang banyak.

***
Demokrasi di Indonesia mempertemukan seorang Raden Ayu (katakan namanya Surti) yang rela dinikahi oleh bekas tukang rumput yang sehari-hari memelihara kuda orangtuanya (katakan namanya Noyo). Adegan itu terselip dalam sebuah film tentang revolusi kemerdekaan.

Tetapi, bukan berarti Olivier, Parrot, Surti, Noyo, tidak boleh punya pandangan berbeda. Demokrasi memang mempersyaratkan dirobohkannya sekat-sekat aristokratisme, dan haruslah egalitarianisme yang ditampilkan secara nyata. Tetapi ia tidak dapat didesain untuk mengingkari pandangan dalam benak masing-masing, yang walaupun rambut sama hitam tetapi isi kepala berbeda-beda.

Olivier dan Parrot, bisa berada pada partai politik yang berbeda –bahkan untuk memperjuangkan “satu hal yang sama”. Barangkali pula pilihan partai politik Surti dan Noyo juga beda pada Pemilu 1955. Tapi itu tak menjadi soal. Yang penting prinsip-prinsip utama dalam demokrasi tetap terjaga –dan mereka pun harus tetap “tepo seliro” alias toleran dan “legowo”, manakala permainan demokrasi politik usai.

Penyanyi muda dari Medan Putri Ayu (usia 13 tahun) dan kelompok pengamen jalanan asal Surabaya bernama Klanting, siap-siap menerima kekalahan masing-masing, ketika jumlah dukungan SMS dari pemirsa acara Indonesia Mencari Bakat (IMB) diumumkan.

Begitu Klanting menang dengan prosentase dukungan 50,03%, maka sesungguhnya tak ada yang sama sekali kalah, atau menang. Semuanya larut dalam kegembiraan demokrasi –setidaknya demokrasi versi SMS, bukan versi dewan juri.


***
Siapa saja yang bermental demokrat, tentu butuh kritik dan saran pada saat berkuasa. Penguasa berhak melakukan cara-cara melanggengkan kekuasaan, tetapi, dengan makanisme/prosedur yang fair, sesuai dengan standar demokrasi. Memang, kecenderungan penguasa untuk merekayasa aturan main (political law) alias konstitusi, terbuka. Oposisi, punya kesempatan yang sama untuk membendung, setidaknya melancarkan kritik.

Rekayasa elite penguasa yang keterlaluan, tentu akan memunculkan bumerang. Tapi, oposisi yang lembek juga tidak baik. Sistem politik yang demokratis memang mempersyaratkan keberlangsungan prinsip  checks and balances, kontrol dan keseimbangan. Tanpa kontrol yang seimbang, konstelasi politik akan njomplang.

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan diatur sedemikian rupa agar tidak muncul praktik-praktik otoritarianisme –termasuk diktaktor atas nama mayoritas menindas yang minoritas. Yang jadi oposisi biasanya sensitif dengan kecenderungan praktik diktaktor atas nama mayoritas menindas yang minoritas. Yang berkuasa, bisanya berkecenderungan sebaliknya.

Yang berkuasa atau yang oposisi, biasanya punya dalih-dalih tersendiri bahwa mereka lebih demokratis dari yang lain –atau pandangan demokrasinya lebih benar dari yang lain. Mereka bersaing memperebutkan pengaruh dan legitimasi. Tetapi, yang kekuasaannya lebih nyata lah yang lebih unggul –sampai kekuasaannya melemah, karena berbagai faktor, suatu saat.

Dalam kasus dinamika politik Turki, saya mencermati hal itu. Demokrasi banyak versinya. Tetapi, ketika hasil amandemen konstitusi ditetapkan, maka mau tak mau segala sesuatunya harus dijalankan –walaupun perbedaan-perbedaan cara pandang itu masih demikian ramai, di tingkat wacana.

Di Indonesia, suasananya lebih liberal. Pemerintah yang sedang berkuasa, biasa didesak-desak mundur oleh berbagai kelompok anti-pemerintah. Tetapi, manakala tidak ditemukan kesalahan fatal yang melanggar konstitusi, saya kira tak akan ada lagi presiden yang di “Gus Dur”-kan. Demokrasi berikut anasir-anasir subyektifnya, pada praktiknya, memang harus dibatasi konstitusi.

Anda boleh tak cocok dengan pemerintah. Anda boleh menggerundel. Tetapi, untuk menjatuhkannya, konstitusilah yang harus dipegang –karena pasti konstitusi mengatur jalan keluarnya, termasuk hal-ihwal permakzulan. (***)

*) M Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010