Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum asal Universitas Indonesia Rudy Satrio mengatakan, Polri seharusya menerima hasil survei LSM Transparency International (TI) yang menempatkan Polri sebagai lembaga paling banyak menerima suap dalam memberikan pelayanan publik, sebagai masukan untuk membenahi internal kepolisian. "Hasil survei itu harusnya menjadi bagian kritik atau masukan bagi Kapolri untuk perbaikan di masa mendatang. Apapun hasilnya, ya harus diterima," katanya di Jakarta, Kamis. Ia mengatakan, hasil survei itu menggambarkan apa yang sebenarnya dialami dan dirasakan oleh masyarakat. "Kalau memang begitu hasil survei, berarti itu penilaian masyarakat atas pelayanan Polri," ujarnya. Menurut dia, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri seharusnya menjadikan hasil itu sebagai salah satu dasar untuk melakukan pembenahan ke dalam agar pada tahun 2009 nanti berubah. "Ini menjadi masukan bagus kepada Pak Kapolri baru untuk melakukan perubahan. Kapolri harus mencari bagian mana dari Polri yang paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat," ujarnya. Polri, katanya, seharusnya tidak perlu mempersoalkan validitas dan metode pengambilan responden yang dipilih TI tapi lebih melihat kepada hasil survei. "Responden yang diambil TI kan lebih dari tiga ribu dan tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah responden sudah lebih dari cukup untuk satu survei. Tiga ribu responden itu sangat banyak jumlahnya," ujarnya. Namun begitu, ia mengaku tidak bisa memastikan apakah metode survei itu valid atau tidak karena perlu ada kajian lebih mendalam soal ini. Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira meragukan akurasi responden survei oleh LSM Transparency International (TI) yang menempatkan Polri sebagai instansi yang paling banyak menerima suap dalam memberikan pelayanan publik. Menurut dia, jika responden memberikan suap pada tahun 2008 maka hal itu akan menjadi masukan bagi Polri dan sah-sah saja hasilnya. Namun, jika responden itu memberikan suap dua atau tiga tahun lalu lalu dipakai untuk survei 2008 maka hasil survei itu sangat diragukan. Ia mengatakan, sampel responden TI yang hanya mengambil pelayanan lalu lintas juga tidak seluruhnya tepat karena yang memberikan pelayanan tidak hanya polisi tapi juga pemerintah daerah. "Ambil contoh STNK. Yang mengeluarkan STNK kan Samsat. Samsat bukan hanya polisi, tapi ada juga Dinas Pendapatan Daerah," Abubakar. TI dalam melakukan survei menggunakan 3.841 responden yang berasal dari pelaku bisnis (2.371 responden), tokoh masyarakat (396 responden) dan pejabat publik (1.074 responden). Indeks suap polisi adalah 48 persen, bea dan cukai 41 persen, kantor imigrasi 34 persen, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya 33 persen, pemerintah daerah/kota 33 persen dan Badan Pertanahan Nasional 32 persen. Selain itu, institusi publik lainnya yang diukur adalah Pelabuhan Indonesia 30 persen, pengadilan 30 persen, Departemen Hukum dan HAM 21 persen, Angkasa Pura 21 persen, Pajak Daerah 17 persen, Departemen Kesehatan 15 persen, Pajak Nasional 14 persen, Badan Pengawas Obat dan Makanan 14 persen dan Majelis Ulama Indonesia 10 persen.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009