Jakarta (ANTARA News) - Alatnya hanya berupa bola yang ditendang-tendang tetapi pengaruhnya menyihir dunia dan konon jenis permainan ini berasal dari zaman Tiongkok kuno sebagai permainan untuk memupuk semangat militer lewat latihan fisik.

Dalam teks kuno, termasuk diakui FIFA dalam laman resmi mereka, pada zaman Dinasti Han abad kedua dan ketiga SM, permainan ini sudah dikenal dan ketika itu disebut dengan istilah Tsu` Chu.

Ketika itu, bolanya terbuat dari kulit diisi rambut, berukuran sekitar 30-40 cm sedangkan gawangnya terbuat dari jala dan dibatasi tiang bambu. Permainan ini untuk melatih kepekaan fisik, tidak boleh menggunakan tangan, kecuali kaki, dada, punggung dan bahu.

Bola bundar saat ini, yang digunakan di Piala Dunia, sudah berisi pesan yaitu sebagai kendaraan menuju kehidupan harmonis, menyatukan negara dunia di atas bahasa perdamaian dunia, yaitu : olah raga.

Tapi sepak bola juga banyak membawa bencana. Ada penonton yang tewas, perseteruan antarpenonton kerap terjadi bahkan di Indonesia pun sudah banyak korban, kereta api dilempari, korban bertumbangan, sementara amat memprihatinkan, prestasi tak kunjung meningkat.

Dalam tulisannya pada 1945, setelah tur Inggris yang babak belur melawan Moscow Dynamo, George Orwell menyatakan rasa patriotisme terkadang menjadi berbahaya di saat bendera dikibarkan, lagu nasional dikumandangkan dan negara mengukuhkan tim mereka sebagai juara.

"Dalam level internasional, olah raga terkadang tidak ubahnya dengan peniruan dari peperangan," katanya seperti dilansir kembali oleh AFP.

Banyak peristiwa mencontohkan, sepak bola begitu kuat menawarkan rasa persahabatan dan pertemanan antarpemain dan antarbangsa, tetapi banyak pula yang membawa bencana.

Permainan Pele begitu bagus luar biasa, tetapi tidak dapat dipungkiri terjadi pula episode kekerasan di antara penonton serta ketegangan sporadis antarnegara.

"Ada dua pesan yang disampaikan, kata Richard Giulianotti, profesor ilmu sosial di Universitas Durham Inggris.

"Satu merupakan pesan negara dan satu lagi pesan universal olah raga seperti nilai permainan jujur, menghormati lawan dan lainnya. Kedua pesan itu merupakan dua sisi mata uang," katanya.

Pada akhir abad ke-19 di Inggris, bangkitnya klub sepak bola disusul dengan kekerasan holiganisme pertama pada permainan modern. Kekerasan itu menjadi semacam kanker di sepak bola Inggris pada 1970 dan 1980-an, disusul hal sama di semua negara.

Mesir dan Aljazair tahun lalu dilanda kekisruhan diplomatik dan politik setelah babak penyisikan Piala Dunia yang galau sehingga beberapa pemain Aljazair luka dilempar batu sehingga warga Mesir terancam di Aljazair.

"Perang Sepak Bola" yang tidak terlupakan pernah terjadi selama empat hari pada 1969 antara El Salvador dan Honduras, yang berakibat pada imigrasi ilegal dan masalah lainnya.

Setelah El Salvador kalah 0-1 pada putaran pertama penyisihan Piala Dunia, seorang gadis berusia 18 tahun, Amelia Bolanos, menembak dadanya sendiri karena sedih. Kematiannya dianggap sebagai martir (suhada) dan penguburannya dihadiri kepala negara dan para pemain bola.

Ketika tim Honduras tiba untuk melakukan laga ulang di San Salvador, mereka dikawal kendaraan dilengkapi senjata dengan penjagaan baris betis oleh petugas yang siap memuntahkan peluru senjata mereka.

Ketika penonton lokal berteriak-teriak, panitia menurunkan bendera Honduras dan menggantinya dengan "kain kotor". Setelah Honduras kalah memalukan 0-3, di tempat itu terjadi perseteruan seperti perang yang menyebabkan antara 2000 sampai 6000 orang tewas.

Sepak bola perang

"Inikah sepak bola. Ini sih perang," kata pelatih Belanda Rinus Michels.

Sepak bola di satu sisi memang perang. Dalam permainannya ada istilah kapten, letnan, kemenangan, kalah, striker, serangan, pengatur serangan, pengatur strategi. Itu semua merupakan serangan perang, yang cepat dan butuh keahlian strategi.

Para sosiolog menyatakan betapa hebatnya sepak bola, karena dalam seketika dapat terjadi peralihan dari rasa sportivitas dan tingginya rasa kehormatan bangsa, menjadi pertikaian, kekerasan, bunuh diri, terbunuh, kisruhnya hubungan diplomatik antarnegara.

Faktor besar dalam sepak bola adalah terbentuknya in-group, merupakan esensi terjadinya tribalisme dalam satu kelompok yang mengidentifikasi diri mereka dalam ikatan amat loyal dan ini menjadi investasi emosi dalam pertandingan.

Menjadi in-group dalam sepak bola, tidak berarti kita secara otomatis terbentuk menjadi out-group kepada lawan tim yang kita dukung, kata Clifford Stott, ahli psikologi sosial di Universitas Liverpool Inggris.

"Itu tergantung pada jalannya pertandingan secara alamiah," katanya.

Contohnya, Inggris tidak memiliki catatan sejarah antagonisme di lapangan dan di luar lapangan bila berhadapan dengan Swedia dan Amerika Serikat. Tetapi bila bertemu dengan Jerman (mungkin karena dampak perang dunia, Piala Dunia 1966 dan lainnya), membuat pertemuan Inggris-Jerman seperti musuh bebuyutan.

Turnamen Piala Dunia dengan berbagai aspeknya dimulai Jumat (11/6) di Afrika Selatan dan mata dunia tertuju ke layar kaca, tidak pandang usia, etnis, agama, pangkat, jabatan dan aspek strata sosial lainnya.

Tsu` Chu yang kini menjadi turnamen Piala Dunia itu, sejak lahir sudah menjadi media adu kekuatan fisik dan untuk "perang" di lapangan dan selama sebulan ke depan tidak dipungkiri lagi adu tendang itu akan menyebar wabah menyihir dunia, dengan segala akibatnya.
(A008/B010)

Pewarta: Oleh A.R. Loebis
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010