Jakarta (ANTARA News) - Mantan anggota DPR dan tersangka kasus suap cek pelawat Hengky Baramuli, mengajukan uji materi Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis.

Kuasa hukum Hengky Baramuli, Farhat Abbas, dalam sidang di MK, mengatakan Pasal 40 UU 30/2002 yang berbunyi KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian bagi pemohon.

Menurut Farhat, akibat adanya norma tersebut maka pemohon tidak bisa mendapatkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3).

"Pemohon sebagai perorangan warga Negara Indonesia telah ditetapkan sebagai tersangka bersama 25 anggota DPR lainnya terkait kasus suap cek pelawat (travel cheque) yang seharusnya dihentikan penyidikannya oleh pihak KPK," katanya.

Farhat menjelaskan bahwa UU KPK telah menimbulkan diskriminasi, karena SP3 sebenarnya telah diatur dan dibenarkan secara hukum, yakni dalam Pasal 109 ayat (2) dan Pasal 140 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Oleh karena itu, dalam petitumnya, pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 40 UU nomor 30/2002 bertentangan dengan UUD 1945 atau setidaknya menghilangkan frasa/kata "`tidak"," tegas Farhat.

Selain itu, tersangka kasus suap traveler cheque dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI), Miranda Swaray Goeltom ini juga meminta MK untuk mengeluarkan putusan sela (provisi) agar perkara yang sedang dialami para 26 anggota DPR dapat dihentikan.

Permintaan putusan sela ini ditanggapi Ketua hakim panel Akil Mochtar, yang mengungkapkan MK tidak mungkin memerintahkan KPK untuk menghentikan penyidikan.

Menurut Akil, Pasal 40 UU Nomor 30/2002 bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi sudah tepat.

"UU KPK disebutkan bahwa KPK itu satu instansi yang melaksanakan tata cara di luar cara yang konvensional. Karena Tipikor, menurut UU KPK, masuk kategori extraordinary crime untuk diberantas, sehingga penanganannya butuh cara-cara yang khusus," jelasnya.

Akil juga mengatakan bahwa tindakan pemohon dengan pengembalian (uang) itu tidak bisa menghentikan penyidikan.

"Penghentian penyidikan (SP3) itu bisa dilakukan dengan didasari tiga hal, pertama tidak cukup bukti, bukan peristiwa pidana, dan dihentikan demi hukum," katanya.

Oleh karena itu, Akil meminta pemohon untuk memperbaiki permohonannya agar bisa meyakinkan hakim konstitusi. "Kalau perlu dielaborasi lebih kuat," tambahnya.

Dalam sidang uji materi UU KPK ini baru masuk agenda pemeriksaan pendahuluan dan dipimin hakim panel Akil Mochtar didampingi hakim konstitusi Harjono dan Hamdan Zoelva.
(J008/B010)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010