Tulisan "Kemiskinan Bukan Halangan Untuk Cerdas" tertempel di antara ribuan buku yang tersusun rapi di rak yang menempel di dinding di rumah kecil Kiswanti di Kampung Saja, Desa Pemegar Sari, Lebak Wangi, Parung, Kabupaten Bogor.

Berbagai tulisan dan poster pengetahuan serta sejumlah alat peraga ilmu mewarnai ruangan samping rumah Kiswanti yang beralaskan karpet plastik dengan tiga buah meja rendah yang biasa digunakan anak-anak untuk beraktivitas sambil lesehan.

Sementara di ruang depan rumah di perkampungan itu, terlihat tujuh unit komputer ditaruh berjajar di meja rendah siap digunakan anak-anak yang mengikuti kursus komputer pada sore hari.

Begitulah gambaran isi ruangan taman bacaan anak-anak "Warabal" atau Warung Baca Lebak Wangi yang didirikan Kiswanti sejak 2003 atas biaya dan motivasinya yang besar untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat di lingkungannya terutama anak-anak.

Jumlah buku yang ada di Warabal sampai saat ini sudah mencapai 8.515 di luar buku pelajaran dan majalah. Buku-buku itu merupakan hasil jerih payah Kiswanti yang sejak kecil memang suka membaca dan mengumpulkan buku meski sekolahnya hanya lulus SD.

"70 persen buku di sini saya yang beli, sisanya sumbangan dari berbagai pihak," kata ibu dua anak ini.

Pada masa kecilnya, perempuan kelahiran Yogyakarta, 4 Desember 1962, ini menjalani kehidupan yang berbeda dengan anak-anak seusianya di Desa Ngipian, Jetis, Bantul. Kemiskinan membuatnya tak bisa mengenyam bangku pendidikan formal lebih tinggi. Ayahnya, Trisno Suwarno, seorang tukang becak. Ibunya, Tumirah, penjual jamu gendong.

Meski hanya lulus SD keinginan yang besar Kiswanti untuk terus membaca dan mengumpulkan buku tidak pernah surut. Sambil bekerja membantu orangtuanya sedikit demi sedikit uang dikumpulkan untuk membeli buku.

Tidak bersekolah ia imbangi dengan banyak membaca. Ia mengumpulkan beragam buku bekas, pembelian orangtuanya di pasar loak. Ribuan judul buku telah berhasil dikumpulkannya di rumah sejak dia muda. "Kalau dapat uang pasti yang pertama saya beli buku, tidak peduli bahwa uang itu sebenarnya untuk makan," katanya.

Kebiasaan itu terus berlanjut ketika dia mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, di rumah warga negara Filipina. Di situ pun Kiswanti meminta agar gajinya sebesar Rp40.000 per bulan dibayarkan dengan buku.

Kursus seribu rupiah
Setelah menikah dengan Ngatmin seorang tukang bangunan, pada tahun 1994 Kiswanti pindah ke Lebak Wangi sebuah desa yang saat itu masih tertinggal, karena belum ada listrik dan telepon serta rendahnya kesadaran terhadap pendidikan akibat faktor ekonomi.

Karena melihat di kampung itu masyarakatnya masih jauh dari kebiasaan membaca. Kiswanti membuka warung di rumahnya, sambil menggelar buku-buku koleksinya sehingga anak-anak yang datang berbelanja, mulai melihat-lihat buku itu.

Cerita tentang banyaknya buku di rumah Kiswanti menyebar di seluruh warga kampung dan sekitarnya. Pada tahun 2000, Kiswanti mulai berkeliling meminjamkan bukunya secara gratis dengan bersepeda ke empat kampung lainnya di Kecamatan Parung yang cukup jauh jaraknya dari rumah.

"Banyak anak-anak yang tidak bisa datang ke sini, jadi saya menghampiri mereka untuk menjemput bola," katanya.

Bersepeda meminjamkan buku dilakukan Kiswanti hingga 2003, dan berhenti setelah dirinya mengidap penyakit lever yang menghalanginya untuk bersepeda jarak jauh.

Peminjaman buku ke kampung-kampung lain kini dikerjakan salah seorang relawan Warabal dengan menggunakan motor yang dilengkapi kotak buku dari aluminium dengan bertuliskan perpustakaan keliling Warabal.

Dengan motor, Kiswanti bisa menjangkau pelanggan peminjam bukunya di kampung yang lebih jauh dan terpelosok seperti di daerah Rumpin Bogor yang berjarak sekitar 30 km dari rumahnya.

Pengembangan Warabal terus dilakukan Kiswanti, termasuk membangun kebersamaan warga kampungnya dalam memperbaiki kesejahteraan seperti dengan mendirikan kelompok ibu-ibu yang bergerak dalam kegiatan simpan pinjam dan kelompok memasak yang bertujuan memperbaiki gizi masyarakat.

Sementara kaum bapak diajaknya untuk memanfaatkan lahan kosong untuk bercocok tanam dan memelihara ternak. Semua kegiatan itu dipelajari dari pengetahuan yang didapat dari buku yang dibacanya.

Khusus untuk pertemuan kaum ibu setiap sebulan sekali, Kiswanti menerapkan kebiasaan untuk selalu diawali dengan paparan tuan rumah mengenai buku yang telah dibacanya, dengan tema buku bebas seperti memasak, tanaman, hobi dan kesehatan. Pertemuan itu saat ini diikuti 450 ibu rumah tangga yang dibagi dalam sembilan kelompok.

Saat ini berbagai aktivitas anak dan warga berlangsung di Warabal setiap hari. Setiap Senin sampai Jumat pada pagi hari digunakan untuk sekolah usia dini (Pendidikan Anak Usia Dini/PAUD), sementara siang hingga sore dipenuhi anak umur 6 - 10 tahun yang mengaji dan kursus komputer.

Sementara malam digunakan menjadi tempat berkumpul remaja 11-18 tahun yang belajar berkelompok. Sementara kaum ibu mendatangi tempat ini di sela-sela waktu mereka. Ruang baca dibuka 24 jam, tidak dikunci.

Hari Sabtu dipakai untuk menerima kunjungan dari sekolah-sekolah di sekitar Parung. Sementara Minggu dimanfaatkan untuk kursus Bahasa Inggris, Matematika dan Fisika.

"Total sudah ada 415 murid termasuk 210 murid di hari Minggu. Biaya kursus cuma Rp1.000 setiap kali datang. Sementara untuk komputer bayar Rp2.000 saja setiap kali datang," kata Kiswanti yang sudah memiliki 16 guru relawan.

Biaya yang dipungut itu tidak digunakan untuk kepentingan pribadi atau membayar guru. Uang yang terkumpul akan digunakan untuk kepentingan anak-anak seperti untuk memperbanyak soal ujian dan menambah buku acuan.

Atas upayanya dalam membantu mengembangkan pendidikan anak dan upayanya menggerakkan masyarakat berbagai penghargaan telah diraih Kiswanti dari berbagai pihak termasuk dari Kemdiknas.

Berbagai tawaran bantuan baik barang atau uang terus mengalir, meski tidak semuanya diterima Kiswanti.

"Saya tidak mau kerjasama yang menempatkan kami menjadi binaan karena itu bisa membatasi gerak kami. Termasuk dari berbagai pihak yang meminta kami menjadi yayasan. Biarlah Warabal tetap seperti ini karena yang penting adalah kegiatannya," kata Kiswanti.

Penghargaan
Bu De Is, demikian anak-anak didiknya memanggil kini semakin sibuk dengan kunjungan ke berbagai seminar dan diskusi di sejumlah kota bahkan luar negeri yang memintanya berbicara mengenai perjuangannya mendirikan taman bacaan Warabal yang semakin berkembang dan upayanya menggerakkan masyarakat.

"Akhir September lalu saya ke Filipina. Mimpi apa saya yang hanya lulus SD dan bekas pembantu ini menjadi pembicara di luar negeri," katanya.

Menurut Kiswanti, dirinya akan terus berusaha mengembangkan Warabal untuk terus mewujudkan mimpinya agar anak-anak bisa terus belajar dan menyebarkan ilmu, dengan berupaya menggali potensi dirinya agar bisa menghidupi diri sendiri.

"Semuanya saya lakukan dengan landasan untuk berbuat baik setiap hari, sebab kesempatan berbuat baik adalah pada hari ini karena kita tidak tau nasib kita besok," katanya.

Kiswanti juga mengharapkan perjuangannya ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat untuk terus berjuang membantu orang lain meski kemiskinan menghalangi.

"Kita harus melayani tanpa meminta pamrih dan memberi tanpa meminta kembali. Jangan khawatir tidak punya modal, tidak punya pendidikan untuk membantu orang lain, tetapi jadilah contoh, terutama bagi anak-anak," katanya.

Mengenai terpilihnya sebagai salah satu dari 10 finalis Danamon Award, Kiswanti mengatakan dirinya tidak terlalu berharap untuk menang.

"Saya hanya berharap semoga keberadaan saya bisa menginspirasi dan tidak berharap menjadi terkenal," katanya.

Danamon Award pada tahun ini yang bertema "Semangat Bisa" telah menetapkan sepuluh finalis berdasarkan lima kriteria, yaitu Semangat Bisa dan keberhasilan dalam mengatasi tantangan, hasil dari kegiatan yang dilaksanakannya (output), kemajuan yang dihasilkan bagi lingkungan sekitar (outcome), dampak meningkatnya pengetahuan dan kemampuan komunitas serta orang-orang yang terlibat, termasuk tingkat ketertarikan para pihak ketiga untuk mendukung dan membantu pengembangannya ke depan (impact); dan keberlanjutan kegiatan (sustainability).

Hingga 21 Oktober 2010 mendatang, Danamon Award mengundang masyarakat luas untuk mengenal para finalis lebih jauh dan selanjutnya memberi dukungan suara melalui voting online dan sms untuk memilih tiga peraih Danamon Award 2010 terfavorit.
(D012/B010)

Oleh Oleh Dody Ardiansyah
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010