Hanoi (ANTARA News) - Myanmar tidak henti-henti menarik perhatian publik internasional, termasuk pernyataan menteri luar negeri negara itu, Nyan Win, tentang Aung San Suu Kyii di penghujung Oktober.

Menjelang dibukanya pertemuan puncak ke-17 ASEAN di Hanoi, Nyan Win, Kamis, memberitahu para timpalannya di ASEAN bahwa pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi mungkin akan dibebaskan setelah pemilihan umum 7 November.

Sebelumnya, memang hampir seluruh pemerintahan di dunia menantikan suatu "kejutan" terjadi dalam pertemuan ASEAN itu, yang diselenggarakan hanya beberapa pekan sebelum pemilihan umum pertama dalam dua dasawarsa terakhir yang diselenggaran di Myanmar.

Pernyataan Nyan Win adalah yang pertama yang diberikan oleh pejabat tinggi Myanmar terkait nasib Aung San Suu Kyi.

Nyan Win tidak mengelaborasi lebih jauh mengenai waktu bagi pembebasan Aung Saan Suu Kyi, namun masa hukuman tahanan rumah pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NDL) itu akan selesai pada 13 November.

Sekalipun Aung San Suu Kyi tetap tidak dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum di negerinya, namun suatu itikad baik pembebasan tokoh yang telah menghabiskan 15 tahun dalam 21 tahun terakhir hidupnya dalam tahanan itu menimbulkan harapan baru bagi dunia internasional akan keseriusan Myanmar menepati denah demokrasi yang telah dijanjikannya.

Beberapa waktu terakhir dunia internasional mengecam keputusan Pemerintah Myanmar untuk tidak melibatkan Aung San Suu Kyi dalam pemilihan umum mendatang.

Banyak negara, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menegaskan bahwa pemilihan umum itu tidak akan pernah kredibel apabila junta militer melakukan pembatasan terhadap hak-hak warga negara Myanmar, termasuk Aung San Suu Kyi dan para tahanan politik.

Bukan agenda
Ditemui sebelum para pemimpin ASEAN membuka pertemuan puncak ke-17, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, isu Myanmar bukan agenda resmi dalam pertemuan puncak itu.

"Isu mengenai pemilu di Myanmar tidak akan dijadwalkan secara resmi. KTT ini hanya akan membahas perkembangan ASEAN dan `East Asia Summit` serta isu internasional lainnya," ujar Marty mengenai pertemuan puncak yang berlangsung 28-30 Oktober.

Namun, lanjut dia, tidak menutup kemungkinan isu tersebut akan muncul dalam pembahasan mengenai perkembangan kawasan Asia Tenggara.

ASEAN jarang menjadikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan isu dalam negeri salah satu negaranya sebagai agenda resmi, pembahasan mengenai isu-isu "sensitif" seperti itu biasanya dilakukan dalam dialog informal para pemimpin ASEAN.

S aat ditanya mengenai reaksi Myanmar yang menutup diri dari media dan pengamat asing selama jalannya pemilihan umum, Marty mengatakan, Indonesia secara khusus dan ASEAN telah mengimbau Myanmar untuk mengizinkan para pengamat turut mengikuti jalannya pemilihan umum di negeri itu.

"Indonesia menyarankan Myanmar untuk melaksanakan pemilu dengan pemantauan, pengamat, serta pengunjung. Namun Myanmar belum memberi tanggapan," ujar Marty.

Indonesia,kata dia, bahkan telah meminta Myanmar untuk setidaknya menerima para "visitor".

Menurut Marty, jika Myanmar tidak dapat memberikan kesempatan ASEAN untuk memantau pemilihan umum, maka setidaknya ASEAN akan meminta Myanmar sungguh-sungguh menggelar pemilihan umum yang terbuka, demokratis, dan jujur.

"Pandangan mengenai saran tersebut akan berbeda-beda dari tiap negara, namun, Indonesia sebagai pemimpin ASEAN pada 2011, akan melakukan yang terbaik bagi reformasi di ASEAN dan tetap mengedepankan kepentingan bersama bagi negara-negara di Asia Tenggara," ujar Marty.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Filipina Alberto Romulo mengritik keras pemilihan umum Myanmar. Kepada media dia mengatakan bahwa pemilihan umum Myanmar hanyalah sebuah "sandiwara".

Ia merujuk pada tidak dilibatkannya Aung San Suu Kyi dan partainya, NDL. "Sejak awal pemilihan umum ini diwarnai kecurangan dan sebuah sandiwara jadi kenapa harus repot," katanya mengenai penolakan Myanmar atas pengamat asing.

Pernyataan Romulo, salah satu menlu yang senior di ASEAN, terbilang keras mengingat negara-negara ASEAN pada umumnya selalu "berhati-hati" apabila membahas masalah dalam negeri anggota lainnya.

Namun, mengingat salah satu kekuataan ASEAN terletak pada dialog informal antara para pemimpinnya, yang berlangsung Kamis sore dan pada jamuan santap malam, maka bisa jadi suatu "kejutan" baru akan muncul.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak akan hadir dalam pertemuan itu karena gempa bumi dan tsunami di Mentawai serta letusan Gunung Merapi.

Ketidakadilan
Sementara itu para pengritik penguasa militer Myanmar menuduh pemilu itu sebagai usaha untuk menciptakan satu sistem yang dikuasai militer yang ditangani para jenderal dan para pendukung mereka dengan perubahan sedikit status quo.

Militer memperoleh 25 persen jatah dari seluruh kursi legislatif dan sejumah jenderal yang telah pensiun akan ikut mencalonkan diri dalam pemilu itu.

Beberapa partai sipil membantu sebagai wakil rezim itu dan sebagian besar oposisi junta dilemahkan dengan undang-undang yang keras.

Salah satu partai sipil yang disebut sebagai perwakilan junta adalah Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan besar dalam pemilu November.

USDP yang memiliki dana kuat diperkirakan akan menang dalam pemilu yang kontroversial yang dikecam luas sebagai satu kedok yang akan memberikan satu wajah sipil bagi kekuasaan militer itu.

Seperempat dari kursi di parlemen dicadangkan untuk militer, yang memerintah negara itu sejak tahun 1962, dan USDP adalah satu dari 37 partai yang akan ikut pemilu yang akan memperebutkan kursi sisanya.

Saingan utamanya bagi USDP adalah Partai Persatuan Nasional, juga satu kelompok pro-junta, sementara yang tidak bergabung dengan rezim itu para kandidatnya harus berjuang keras dan melakukan kampanye yang efektif menghadapi hambatan-hambatan yang berat.

Kelompok oposisi harus membayar 500 juta dolar bagi setiap kandidat -- setara dengan beberapa bulan gaji sebagian besar rakyat -- dan menghadapi jadwal yang ketat untuk mendaftarkan diri bagi keikutsertaan dalam pemilu itu.

Pemerintahan yang demokratis di Myanmar tumbang setelah terjadinya kudeta militer oleh Jenderal Ne Win pada 1962. Dan 26 tahun kemudian, kembali negeri itu mengalami kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Saw Maung.

Pada 1990, pemerintah junta militer menyelenggarakan pemilihan umum bebas yang dimenangkan NDL --Liga Nasional untuk Demokrasi. Namun hasil pemilu tersebut tidak diakui oleh junta dan salah satu tokoh NDL yang juga pemenang Nobel Perdamaian 1991, Aung San Suu Kyi, dikenai tahanan rumah hingga kini.

Keputusan pemerintah Myanmar untuk mengumumkan pembebasan Aung San Suu Kyi tepat menjelang pembukaan pertemuan puncak ASEAN boleh jadi merupakan bukti keseriusan Myanmar mempertimbangkan desakan para "saudara tua", atau bisa jadi sekadar alasan bagi Myanmar untuk menghindari tekanan berlebih dari negara-negara tetangganya itu.
(G003/s018)

Oleh Gusti Nur Cahya Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010