Jakarta (ANTARA News) - Berita pasti meninggalnya Mbah Marijan (83) tersiar di media pada Rabu (27/10). Padahal, almarhum meninggal dunia kemungkinan pada 26 Oktober, bertepatan dengan semburan awan panas Gunung Merapi. Gunung yang setia dijaganya sejak 1970 sebagai wakil juru kunci, kemudian pada 1982 naik pangkat jadi juru kunci.

Tokoh sentral pergerakan Merapi di bumi Cangkringan kini telah tiada. Kontan saja berita kematian bintang iklan sebuah produk minuman itu menjadi buah bibir di seantero dunia, karena media online manca negara pun menyiarkannya.

Kesederhanaan dan keteguhan sikapnya adalah kenangan umum yang terpatri dalam ingatan banyak orang mengenai Mbah Maridjan. Kedua sisi itu menjadi topik perbincangan yang hangat. Mulai dari rakyat jelata, pesohor sampai pejabat negara dan petinggi partai politik (parpol). Semua ramai-ramai mendeklarasikan kedekatannya dengan almarhum sambil memuji-muji perilakunya.

The Old Man on The Sea

Sosok Mbah Marijan mengingatkan saya kepada sikap dan perilaku tokoh utama dalam novel “Lelaki Tua dan Laut” (The Old Man on The Sea) karya sastrawan Amerika Serikat (AS) peraih hadiah Nobel, Ernest Hemingway. ”Manusia hanya bisa dihancurkan, tapi tidak bisa dikalahkan”, tulis Hemingway.

Sikap juru kunci Gunung Merapi dari Kinahrejo,Yogyakarta itu, seperti berkelebat dalam bayangan tulisan Hemingway. Dia mampu hidup sederhana dalam keteguhan dan sanggup teguh dalam kesederhanaan. Seperti menyindir perilaku elite pemimpin bangsa dewasa ini, yang juga jadi buah bibir masyarakat justru karena bersikap kebalikan.

Nama asli tokoh ini, Mas Penewu Surakso Hargo. Lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo,Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, 1927. Lebih terkenal dengan nama Mbah Marijan, meskipun oleh kraton Yogya dia diberi gelar Raden Ngabehi Surakso Hargo. Nama Mbah Marijan itu lebih disukainya. Ada citra ndeso yang tulus memancar dari balik nama itu.

Sebagai tokoh spiritual yang dipercayai sakti, Mbah Marijan konon merasa malu, jika dirinya tercatat sebagai pengungsi saat Merapi baru mulai batuk. Sejarah “percintaanya” yang panjang dengan Merapi demikian mendalam. Baginya mati pun ditangan "sang kekasih” adalah bagian dari tanggung jawab dan keteguhan pendirian. Ketika Merapi mulai melemparkan wedhus gembel (awan panas), dia pun mengungsikan keluarganya. Namun, ia sendiri kembali bertahan dalam dekapan kekasihnya.

Bersujud

Mbah Marijan sepanjang hayatnya jauh dari watak duniawi yang gila kuasa, materialistis dan pragmatis. Honor yang diterimanya sebagai pesohor bintang iklan sebuah produk jamu diikhlaskannya digunakan untuk kegiatan sosial, termasuk membangun mesjid di daerahnya.

Yang kemudian banyak dibicarakan orang, jasad Mbah Marijan ditemukan dalam posisi sedang bersujud menghadap kiblat. Seakan penggalan puisi penyair Chairil Anwar mengawal kepergiannya yang khusyuk dalam puisi yang berjudul “Doa”: ”Tuhanku/ Di Pintu-Mu Aku Mengetuk/ Aku Tidak Bisa Berpaling...”

Sikap teguh Mbah Marijan berbanding terbalik dengan keadaan sekarang ini. Elite pemimpin kita banjir hujatan dari masyarakat, karena terdeteksi meraih kekuasaan melalui kebohongan. Prof Syafii Ma’rif menyebut pemimpin, seperti itu dengan istilah mati rasa. Dan, masuk akal pula manakala Prof DR KH Din Syamsuddin juga menyerukan agar para elite pemimpin melakukan pertobatan.

Teguh

Sungguh banyak goresan dalam hati kita yang ditinggalkan Mbah Marijan. Pengaruh kepergiannya membuka mata hati. Kita tiba-tiba merasa kehilangan sebuah mutiara yang selama ini terbiarkan dalam lumpur.

Orang kota nyaris tidak pernah tersentuh hati kecilnya, melihat sosok ndeso itu, yang lebih mencintai kaki Merapi, yang kemudian "memeluk"-nya. Amanat Sri Sultan IX dipegang secara teguh. Susah dan senang disatukannya bersama gunung yang oleh kebanyak orang dinilai berbahaya itu.

Mbah Marijan tidak gila hormat, meskipun fotonya di iklan membuatnya sejajar dengan pesohor papan atas. Baju batik sederhana dan peci kumal tidak mengurangi kebersahajaanya sebagai pejuang kemanusiaan. Tiap hari fotonya yang berukuran raksasa tersenyum, berkeliling dibawa bus di sejumlah kota–kota besar.

Tapi, Mbah Marijan tetap adalah dirinya. Meskipun hanya memakai sarung, aura wajah seorang yang berintegritas tercermin jelas di wajahnya. Matanya yang jenaka seakan bersahabat dengan semua ciptaan Tuhan, terutama dengan alam Merapi.

Bertanggung jawab di dalam menjalankan amanat adalah kunci konsistensi sikap seorang Mbah Marijan. Nilai intrinsik inilah yang dapat kita petik dari kehidupannya. Kesehariannya mengalirkan pesan, seseorang menjadi mulia di mata orang lain bukan karena besarnya kekuasaan, bukan lantaran jabatan yang dipegangnya atau karena tumpukan kekayaan harta.

Mbah Marijan tidak berhotbah atau kampanye tentang bagaimana caranya menunjukkan nilai-nilai kemuliaan. Dia lebih memilih melakukannya jauh di tempat yang terpencil dari keramaian kota dan sepi dari publikasi media massa.

Sejak berita kepergian menghadap Sang Khalik tersebar hingga ke acara pemakamamnnya, perhatian masyarakat tertuju terus menerus kepadanya. Ribuan orang mengantar ke pemakaman.Mereka memang menimbun sebuah jasad, tapi mereka tidak akan pernah bisa menimbun kebesaran tokoh sederhana itu.

Mbah Marijan memang sudah tiada. Akan tetapi peninggalannya yang mulia adalah ajaran tentang “keteguhan dan kesederhanaan” tidak ikut pergi. Ajaran itu seharusnya direguk oleh semua elite pemimpin bangsa tanpa kecuali. Mbah Marijan memperlihatkan bukti kebesaran, lewat pilihan hidup yang diyakininya. Justru daripadanya –-orang desa tanpa jabatan negara itu-- mengalir deras tetesan ajaran kebajikan.

Untuk menghormati Mbah Marijan, maka puisi berjudul "Nisan" karya Chairil Anwar agaknya tepat untuk mengiringi kepergian kemuliaan itu. “Bukan Kematian Benar Menusuk Kalbu/ Kerelaanmu Menerima Segala Tiba…”. Selamat Jalan Mbah Marijan. Kerelaanmu menyentak perasaan bangsa ini yang sedang galau.

*) Zaenal Bintang adalah wartawan senior; salah seorang pendiri dan Penasehat Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010