Jakarta (ANTARA) - Era digitalisasi ibarat pedang bermata dua yang mau tidak mau dan suka tidak suka harus dihadapi. Segala sesuatu ditransformasikan ke dunia digital dalam semua lini kehidupan menjadikan hidup terasa lebih mudah dan praktis.

Di sisi lain, transformasi digital khususnya di masa pandemi nyatanya mendatangkan ancaman tersendiri dari sisi tumbuh suburnya hoaks dan kabar bohong.

Ketika Pemerintah berupaya untuk dapat menangani persoalan pandemi dengan berbagai cara pada saat yang sama masyarakat diminta tetap bisa menjaga tatanan sosial agar dapat menjalani kehidupan.

Di sisi lain, transformasi digital juga berpengaruh dalam kehidupan bersosial. Namun, imbas akses keterbukaan informasi mengenai pandemi terbuka lebar, lebih sering dapat memberikan celah misinformasi (hoaks).

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila (UP) yang juga dewan pakar ISED, Silverius Y Soeharso mengatakan, Indonesia beberapa tahun yang lalu dalam buku "Headspin" diprediksi sejumlah ahli bahwa Indonesia akan dilanda banjir bandang ujaran kebijakan.

Indonesia yang multikultural di era media sosial harus diakui memang memiliki potensi kerawanan nasional sehingga harus terus diwaspadai terutama di era pandemi.

Para psikolog dan sosiolog pun dianggap perlu untuk menyusun “grow mindset” atau “paradigm shifting program” guna mereduksi nalar “fixed mindset” (menolak kenyataan), peran influencer, kaum muda, pegiat media digital, artis, dan lain-lain juga dirasa dapat membantu dalam penanganan COVID-19 sekaligus mengurangi angka penularan COVID-19.

Senada disampaikan Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam B Prasojo yang mengatakan bahwa pandemi disinyalir telah menyebabkan dislokasi sosial.

Baca juga: Kominfo: Percepatan transformasi digital kunci pemulihan pascapandemi

Baca juga: Bappenas: Transformasi digital penting bagi transformasi ekonomi


Dislokasi dalam arti sosial yaitu kondisi seseorang yang mengalami interkasi atipikal (tidak sinkron) yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu lama, sehingga dapat menimbulkan emosi negatif (depresi). Ketika dislokasi sosial terjadi secara luas dapat mengganggu kesehatan mental.

Lebih lanjut dikatakan, masih banyak masyarakat yang tidak disiplin semasa pandemi. Padahal, kata dia, protokol kesehatan sangat penting, sehingga vaksin menjadi harapan paling tidak dapat menjadikan “double cover”.

Hal itulah yang membuat bangsa ini sekarang dituntut untuk juga harus memperhatikan tenaga kesehatan, dokter-dokter karena merekalah yang menjadi tulang punggung dalam penanganan COVID-19 ini.

Program bangsa yang dilakukan untuk semua agar bisa selamat dan agar negara ini tidak dikucilkan karena negara dianggap sebagai negara episentrum baru COVID-19.

Oleh karena itu, diperlukan sinergi dukungan banyak pihak seperti dukungan kalangan profesional mencakup ahli gizi, telemedicine, konsultasi psikiater, dan pendamping kerohanian, serta dukungan komunitas.

Menjaga Prokes
COVID-19 selain mendatangkan persoalan serius pada bidang kesehatan, namun juga menggegoroti tatanan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pembiasaan baik yang menjadi budaya dan tradisi bersama.

Ketua Bidang Data & Sistem Informasi Tim Mitigasi PB IDI, Seno Purnomo menuturkan, Corona ini adalah virus yang menjadikan manusia sebagai perantara-nya. Manusia harus bisa menahan segala hal sebagai bentuk ikhtiar agar efektivitas dari vaksin.

Selain itu, menerapkan protokol kesehatan harus mulai dibudayakan agar dapat mengurangi penyebaran COVID-19. Sejalan dengan itu perlu dilakukan pula berbagai langkah, misalnya, meningkatkan imunitas, menurunkan paparan dengan cara usaha terbaik adalah membatasi kontak, menjaga kebersihan (rajin cuci tangan), dan tentunya dengan memutus kontak antara lain memakai masker dan sarung tangan.

Selain itu pula menghindari untuk melakukan “self medication” dengan mengandalkan berita yang sumbernya tidak jelas atau dasar pertimbangannya tidak sesuai kondisi.

Dewan pakar bidang ekonomi ISED, Karuniana Dianta Sebayang menambahkan perlunya penyebaran informasi yang benar tentang upaya pencegahan virus ini melalui sosial media.

Misalnya, membuat gerakan sosial yang dilakukan influencer kemudian disebarluaskan melalui media sosial.

Baca juga: IATI: Pandemi percepat transformasi digital sektor industri dan dagang

Semua harus sepakat untuk menjadikan platfom sosial media sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mendiseminasi informasi akurat terkait COVID-19.

Karuniana menilai penyebab pencegahan COVID-19 ini tidak viral pada media sosial dibandingkan hoaks yang justru kontradiktif.

Menurut dia hal itu disebabkan karena belum terkonsolidasi-nya gerakan sosial untuk menyosialisasikan gerakan-gerakan protokol kesehatan melalui influencer.

Cek Fakta
Hoaks dan kabar bohong di masa pandemi memang terasa akrab. Bahkan semakin sulit untuk membedakan hoaks dan fakta.

Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru, Reisa Broto Asmoro, mengungkapkan selama pandemi, ada 50.000 lebih hoaks seputar vaksin COVID-19 yang beredar di kalangan masyarakat luas. Ini menjadi tantangan yang dihadapi untuk menuju kekebalan komunal.

Ia pun menyarankan agar masyarakat selalu cek fakta atas berita apa pun untuk melihat sumbernya, memverifikasi, atau lebih jelas bisa mengecek di laman Kemkes dan laman atau situs resmi pemerintah.

Menyikapi tantangan vaksinasi di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4, Reisa mengatakan berita hoaks masih jadi alasan yang membuat masyarakat enggan divaksinasi. Demikian juga berbagai mitos seputar vaksinasi.

Padahal kekuatan utama untuk menghadapi pandemi ada di masyarakat, antara lain dengan menangkal berita bohong terkait vaksinasi dan tak ragu untuk segera mendapatkan suntikan vaksin.

Reisa pun berbagi tips menangkal hoaks terkait vaksinasi. Antara lain, dengan menelusuri dahulu sebelum menyebarkan berita. Hoaks umumnya dicirikan dengan kalimat bombastis tanpa mencantumkan sumber valid. Masyarakat pun disarankan mengecek kebenaran beritanya di laman covid19.go.id atau kemkes.go.id.

Hoaks adalah satu hal yang membuat penanganan pandemi ini menjadi kian rumit, maka sudah selayaknya untuk menjadi tanggung jawab bersama dalam pemberantasan-nya.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021