Beijing (ANTARA News) - Media negeri China pada Senin menuduh Menteri Luar Negeri Jepang merusak rencana resmi pertemuan antara pemimpin kedua negara saat mereka berusaha mengakhiri pertikaian, dan melabel Menlu sebagai ekstrimis.

Menlu Jepang Seiji Maehara dan Menlu China Yang Jiechi bertemu di sela temupuncak regional di Vietnam pada Jumat, menaikkan harapan bahwa kekuatan besar Asia akan mulai memulihkan lukanya dari dua bulan bertikai.

Tetapi China dengan gusarnya menuduh Tokyo membuat pernyataan palsu mengenai kepulauan bersengketa di Laut China Timur di tengah perselisihan mereka, dan Perdana Menteri China Wen Jiabao dan PM Jepang Naoto Kan hanya sebentar melakukan pembicaraan informal.

"Yang pantas disalahkan ialah Menlu Jepang yang baru diangkat, Seiji Maehara," menurut koran negeri Global Times -- penerbit yang sama dengan koran partai Komunis, People`s Daily -- dalam komentarnya.

"Kan telah memilih orang yang salah untuk mewakili Jepang dalam hubungan internasional. Politikus generasi baru yang muda dan menjanjikan tersebut terbukti lebih nampak seperti ekstrimis politik dibanding seorang diplomat," jelasnya.

Maehara menjabat tak lama setelah pertikaian terjadi pada awal September, saat Tokyo menangkap kapten kapal nelayan China yang bertabrakan dengan dua kapal penjaga pantai di wilayah bertikai.

Kedua belah pihak mengakui kepulauan yang berpotensi kaya sumber daya alam, yang dikenal sebagai Diaoyu oleh China dan Senkaku oleh Jepang, sebagai miliknya. Kepulauan tersebut dikelola oleh Tokyo.

Maehara memancing kemarahan Beijing ketika ia mengatakan bahwa reaksi China selama perselisihan merupakan "histeris".

Surat kabar Global Times menyebut pernyataan tersebut "paling menyinggung oleh seorang pejabat pemerintah Jepang dalam 10-20 tahun terakhir".

"Komentar Maehara yang bergaris kanan telah menurunkan kelenturan diplomasi Jepang menjadi nol," tulisnya.

Koran tersebut memperingatkan Menlu Jepang agar ia tidak seharusnya mendorong negaranya untuk menepis kemajuan "tak terelakkan" China, menyebut tindakan tersebut akan berakibat "tidak tertahankan oleh Jepang".

Kan telah berupaya untuk menurunkan drama diplomatik yang terjadi, mengatakan bahwa masalah yang sedang terjadi antara dua raksasa ekonomi Asia tidak "begitu kritis" dibanding dengan gemuruh yang telah menyertai sejarah panjang hubungan kedua negara.

Kedua pemimpin negara sepakat untuk berdiskusi lebih mendalam pada masa mendatang dan akan terus berupaya untuk mempromosikan hubungan yang saling menguntungkan dan strategis, menurut seorang pejabat Jepang.(*)

AFP/KR-IFB/H-AK

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010