Magelang (ANTARA News) - Desa Banyudono, sekitar 12 kilometer barat puncak Gunung Merapi, di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (4/11), menjadi kampung mati karena semua kegiatan di daerah makmur ini mandeg pascaletusan hebat Merapi pada Rabu (3/11).

Semua rumah, warung, toko, pasar, dan kantor yang ada di desa itu tutup sejak Rabu kemarin. Jalan beraspal mulus yang menghubungkan ke daerah lain juga senyap. Hanya ada satu dua mobil relawan yang melintas jalan itu pada Kamis sore.

Tak ada nyala lampu meski desa itu mulai diselimuti awan gelap, sebab listrik PLN padam. Tak ada lalu lalang kendaraan bermotor di jalan aspal nan mulus itu. Hanya suara geledek dan gemuruh bertubi-tubi dari arah puncak Merapi yang sore itu tidak bisa terlihat karena tertutup awan dan abu vulkanik Merapi.

Semua rumah di desa itu telah ditinggalkan penghuninya yang mengungsi ke berbagai tempat. Uniknya, tidak ada satu pun yang hijrah ke barak pengungsian yang disediakan pemerintah. Mereka memilih mengungsi ke rumah kerabatnya yang masuk kawasan bebas bencana Merapi.

"Warga dusun ini meninggalkan rumah menjadi pengungsi mandiri. Mereka tidak menuju ke lokasi penampungan pengungsi, tapi ke rumah sanak saudara," kata Susilo (42), warga Dusun Talun Lor, Desa Banyudono, ketika ditemui di pertigaan pasar desa setempat.

Susilo, Kamis sore itu baru saja mengantarkan surat ke wilayah Kecamatan Dukun dengan mengendarai sepeda motor, memakai jas hujan, dan masker karena menghadapi hujan abu vulkanik Merapi di sepanjang perjalanannya. Ayah tiga anak itu penduduk asli Desa Banyudono.

Di depan toko pertigaan pasar itu berkumpul tujuh warga setempat yang telah menengok rumah masing-masing. Tujuh warga tersebut sore itu berteduh di emperan toko dari guyuran hujan abu dan pasir Merapi yang menyebabkan langit gelap.

Saat itu jarum jam baru menunjukkan pukul 14.46 WIB, namun sepertinya waktu menjelang magrib. Suara geledek dan gemuruh dari Merapi terdengar dari desa itu.


Dahsyat

"Sepanjang saya hidup dan tinggal di desa ini, baru kali ini Merapi meletus dan menyemburkan awan panas (wedhus gembel) sedahsyat ini. Mengerikan," kata Suhartono (52), warga setempat.

Suhartono yang bekerja sebagai montir sepeda motor itu mengatakan, sepanjang Merapi meletus pada tahun-tahun lalu, Dusun Talun Lor, Talun Kidul, dan Rejosari tidak pernah terkena dampaknya sehebat sekarang ini.

Desa Banyudono yang terletak sekitar 12 kilometer dari puncak Merapi itu selama ini memang tidak masuk kategori kawasan rawan bencana (KRB) termasuk pada letusan Merapi sekarang ini.

Namun, letusan dahsyat Merapi Rabu sore kemarin menjadikan penduduk setempat mengalami kepanikan hebat. Tanpa menunggu dievakuasi petugas, mereka langsung menyelamatkan diri ke rumah famili yang masuk daerah hijau atau aman.

Badan Vulkanologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rabu kemarin mempeluas radius wilayah rawan bencana menjadi 15 kilometer dari puncak Merapi. Sebelumnya 10 kilometer.

Bahrudin (45), warga Dukun Talun Lor, mengatakan, sudah beberapa hari ini harus bolak-balik ke rumah dan ke tempat tiga anaknya serta seorang istrinya tinggal di rumah saudaranya.

Pria yang bekerja sebagai montir mobil itu mengatakan, bersama beberapa warga sepakat setiap malam berjaga di kampung.

"Kami tidak mungkin meninggalkan rumah begitu saja, sebab kami juga harus memastikan barang-barang yang ada di sini aman," katanya.

Di Dusun Talun Lor, Talun Kidul, dan Rejosari terdapat 162 keluarga dengan jumlah penduduk sekitar 500 jiwa.

"Mengungsi merupakan pengalaman baru bagi warga di sini. Kami tidak tahu sampai kapan harus `ngelakoni` situasi sulit seperti sekarang ini," kata Bahrudin.

Susilo, Suhartono, Bahrudin, dan puluhan ribu penduduk di kaki dan lereng Merapi tentu berharap letusan Merapi segera berhenti.

Namun, tampaknya warga harus lebih bersabar karena hingga Kamis malam, salah satu gunung berapi teraktif di dunia itu masih terus bergemuruh, mengeluarkan awan panas, meluncurkan lava pijar, dan menyemburkan abu serta pasir ke berbagai lokasi.

Banyudono tentu bukan satu-satunya desa mati setelah Merapi erupsi 26 Oktober 2010, namun ada puluhan desa yang bernasib sama.

Menyikapi "ulah" Merapi kali ini yang tidak seperti biasanya, ada baiknya manusia menyadari akan keterbatasannya, bukan selalu memelihara keinginan senantiasa menaklukkan alam.

"Yang bisa kita lakukan sekarang adalah bagaimana penduduk itu bisa selamat dari bahaya Merapi. Ilmu manusia ada batasnya," kata Romo Kirdjito, seorang rohaniwan Gereja Paroki Santa Maria Lourdes, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, ketika ditemui di Muntilan, Kabupaten Magelang. (A030*M029/K004)

Oleh Oleh Achmad Zaenal M Dan M. Ha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010