Surabaya (ANTARA News) - Geolog ITS Surabaya Dr Ir Amien Widodo MS menilai, relokasi korban bencana tsunami dan gunung api harus mengikuti peta bencana yang baru atau kejadian terakhir.

"Untuk relokasi berikutnya harus mengukur ketinggian tsunami di Mentawai dan jangkauan lahar, debu, dan pasir di Merapi," kata pakar gempa dari FTSP ITS Surabaya itu kepada ANTARA di Surabaya, Jumat.

Menurut Amien Widodo, dari ketinggian tsunami terkini akan diketahui jangkauan tsunami di daratan hingga berapa kilometer, sehingga jarak relokasi dari lokasi pantai di Mentawai akan dapat ditentukan.

"Hal yang sama juga dapat dilakukan pada gunung api seperti Merapi, karena itu jarak jangkauan lahar, hujan debu, dan pasir perlu diukur untuk menentukan jarak paling aman bagi relokasi warga," paparnya.

Namun, katanya, kawasan yang rawan tetap dapat dihuni secara tidak permanen, misalnya, hanya untuk bekerja seperti nelayan atau untuk kandang hewan, tapi dengan pemetaan lokasi rawan I, II, dan seterusnya.

"Kalau untuk hunian yang permanen harus mengikuti peta bencana hasil pengukuran dari bencana paling akhir. Jadi, mereka yang menghuni lokasi tidak permanen harus `lari` ke hunian permanen bila terjadi bencana, tentu hal itu didasarkan `perintah` dari pemerintah setempat," ucapnya menjelaskan.

Di sisi lain, dia menyatakan  warga di Mentawai dan Merapi sudah dilatih siaga bencana sejak tahun 2004.

"Masalahnya, warga lebih mengikuti Mbah Maridjan atau perhitungan yang sifatnya personal daripada harus mematuhi `arahan` pemerintah daerah, karena itu pemerintah perlu mendidik masyarakat secara terus-menerus sampai kesiagaan terhadap bencana itu menjadi budaya," ujarnya menegaskan.

Bahkan, katanya, latihan serupa harus dikembangkan di seluruh Indonesia, karena mayoritas wilayah di Indonesia sangat rawan bencana, seperti di Jepang yang mengajarkan pendidikan siaga bencana sejak Taman Kanak-kanak.
(E011/C004)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010