Sleman (ANTARA News) - Meskipun tujuh dari delapan dusun di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman luluh lantak diterjang awan panas namun tidak satupun korban jiwa jatuh di wilayah yang hanya berjarak delapan kilometer dari puncak Gunung Merapi.

Tidak adanya korban di wilayah ini tidak luput dari peran sang Kepala Desa Heri Suprapto yang tidak kenal lelah untuk memberikan pengertian kepada warga akan bahaya letusan Gunung Merapi dan selalu mamantau keadaan warganya, demikian lapor wartawan ANTARA, Sabtu.

Malam sebelum letusan dahsyat Gunung Merapi Jumat (5/11) Heri Suprapto yang menerima informasi dari Camat Cangkringan Samsul Bakri akan kemungkinan terjadi letusan besar, dia langsung keluar rumah dan memukul kentongan serta mengingatkan pemuda yang berjaga di pos-pos keamanan dusun untuk segera turun.

"Malam itu saya memang bermaksud tidur di rumah karena terserang diare setelah seminggu bersama pengungsi, namun sekitar pukul 23.00 WIB saya mendapat telepon dari pak camat yang mengatakan agar warga waspada karena kemungkinan Merapi akan meletus besar malam itu," katanya.

Dia mengatakan, setelah mendapat telepon itu dirinya langsung keluar rumah dan memukul keras-keras kentongan yang ada di pos ronda yang terletak di depan rumahnya dan mendatangi pos-pos ronda yang ada di dusun-dusun karena masih banyak berjaga-jaga.

"Semua saya perintahkan segera turun mencari lokasi yang lebih aman. Setelah saya memastikan mereka turun saya kemudian kembali ke rumah dan mengajak anak-anak dan isteri turun. Saat itu hujan pasir dan kerikil sudah turun dengan deras," katanya.

Dengan menggunakan dua sepeda motor Heri dan anak-isterinya menerobos derasnya hujan pasir dan kerikil menuju Dusun Segaran, Desa Tirtiomartani, Kecamatan, Kalasan. Di tengah perjalanan inilah Gunung Merapi meletus besar sekali dan memuntahkan lahar panas.

"Saya sempat merasakan gempa yang cukup kuat, dan sesaat kemudian terdengar suara letusan Gunung Merapi. Saya hanya berdoa saja semoga saya dan keluarga serta warga saya diberi keselamatan," katanya.

Sampai di rumah sahabatnya, Heri Suprapto langsung dibantu dan ditolong. "Saya sangat bersyukur karena teman saya bersedia menampung saya, apalagi anak saya ada yang masih berumur dua tahun," katanya.

Anak dan isterinya akhirnya ditampung di rumah temannya, sedang dia sendiri berterimakasih karena masih ada tempat untuknya sekedar melepas lelah setelah berjuang menyelamatkan diri dari amukan lahar dan awan panas Merapi meskipun di kandang ayam.

"Karena rumah tersebut jadi penuh, maka saya akhirnya memilih tidur di kandang ayam milik teman saya itu," katanya.

Meskipun dirinya telah berhasil selamat dari terjangan lahar dan awan panas Gunung Merapi tetapi dirinya tidak langsung bisa merasa tenang, terkait dengan nasib sekitar 902 kepala keluarga yang ada di desanya.

"Setelah saya berhasil selamat dan menenangkan diri. Saya menelpon semua perangkat desa dan kepala dusun, dan dari mereka juga saya mendapat informasi bahwa semua warga diperkirakan selamat karena berhasil dievakuasi ke tempat yang lebih aman," katanya.

Ia mengatakan, dirinya sangat bersyukur karena warganya selamat meskipun berada di tempat pengungsian yang berpencar-pencar.

"Warga saya ada yang mengungsi sampai ke Gunung Kidul, Piyungan Bantul, Prambanan dan beberapa daerah lain, memang sebagian besar berada di pusat pengungsian Stadion Maguwoharjo, Depok, Sleman," katanya.

Heri juga berperan dalam menyelamatkan warganya saat pemerintah hendak memindahkan pengungsi di barak Pager Jurang ke lokasi yang lebih aman setelah Pusat Vulkanoklogi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) merekomendasikan jarak aman diperlebar menjadi 15 Km dari sebelumnya 10 Km.

"Saat warga yang mengungsi di barak Pager Jurang akan dievaluasi ke barak Glagaharjo saya menolak dengan tegas, karena meskipun wilayah tersebut berada di bawah namun lokasinya berada di tepi aliran lahar Sungai Gendol," katanya.

Akhirnya dirinya mengaku tetap bertahan bersama warga dan harus diungsikan ke tempat yang lebih aman yakni di Balai Desa Umbulmartani di Dusun Grogolan, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman.

Firasat Heri Supraptio tersebut terbukti kebenarannya karena saat terjadi letusan besar Gunung Merapi pada Jumat (5/11) dinihari lokasi barak pengungsian Glagaharjo habis diterjang lahar panas.

"Jika saya memutuskan menerima warga dievakusi di Glagaharjo maka dapat dipastikan sebagian besar warga saya akan menjadi korban. Saya bersyukur karena akhirnya warga luput dari musibah ini," katanya.

Heri Suprapto menunjukkan teladan sebagai pemimpin warga. Sejak status Gunung Merapi dinaikkan dari "Siaga" menjadi "Awas" pada 25 Oktober 2010 pagi, Heri Suprapto langsung memerintahkan warga Kawasan Rawan Bencana (KRB) III mengungsi ke barak Pager Jurang.

Heri Suprapto bahkan ikut tidur dan selalu berada di barak pengungsian Pager Jurang, meskipun rumahnya masuk dalam KRB II yang saat itu masih belum direkomendasikan untuk mengungsi.

"Saya hanya mencoba mendampingi warga agar mereka tidak terlalu resah dan betah berada di pengungsian, sampai akhirnya (PVMBG) merekomendasikan warga yang berada dalam radius 15 Km dari puncak Gunung Merapi dievakusi," katanya.

Perintah evakuasi itu termasuk warga yang ada di barak Pager Jurang yang hanya berjarak 12 Kilometer dan dirinya berupaya mencari tempat mengungsi di dusun Grogolan, Umbulmartani.

Heri mengatakan, dirinya sangat bersyukur karena dapat membantu warganya terhindar dari musibah letusan Gunung Merapi.

"Kalaupun ada yang tidak selamat itu hanya tiga orang, yakni satu orang yang sakit strok, satu orang yang mengalami gangguan jiwa dan satu orang tua yang memang tidak mau dievakuasi," katanya.
(V001/S019)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010