Bogor (ANTARA) - Penyanyi yang setiap lagunya seperti "Puisi Bernyanyi" Ebiet Ghoffard Ade ternyata tidak suka mendengarkan musik, sehingga jika ditanya tentang lagu terbaru saat ini, bapak empat anak itu tidak akan tahu.

Menurut putra sulungnya Abietyasakti Ksatria Kinasih, yang juga manajernya, sosok sang ayah adalah pria yang menyukai membaca segala jenis buku dan seluruh informasi.

"Jangan ditanyain tentang musik, bapak tidak akan tahu, karena dia tidak suka `dengerin` musik. Bapak lebih suka membaca," katanya saat ditemui di sela acara malam penutupan Dies Natalis ke-47 Institut Pertanian Bogor.

Sebagai manajer ayahnya yang sudah 10 tahun bersama, Abi, panggilan akrab Abietyasakti, mengaku sangat mengenal karakter ayahnya.

Ia menceritakan, saat melakukan tur ke Bandung, selama di perjalanan akan menjadi membosankan karena tidak boleh menghidupkan "tape" mobil.

"Yang pasti kalau ada perjalanan jauh ke luar kota, pasti tersiksa. Karena bapak tidak suka ada musik hidup di dalam mobil. Jadi selama di perjalanan `tape` mobil itu mati," katanya.

Malam itu, Ebiet hadir menyanyikan lagu-lagu karyanya secara akustik menghibur ribuan mahasiswa yang memadati gedung Grawedia Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat.

Ia membawakan sekitar 12 tembang lawas ciptaanya di depan Raktor IPB Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc. Penampilannya yang memukau hanya dengan diiringi petikan gitar dari jemarinya, memukau seluruh pengunjung di Gedung Griwida, Kampus IPB Dramaga.

Penampilan Ebiet sangat menghibur para mahasiswa dan seluruh dosen yang hadir di malam penutupan Dies Natalis IPB ke-47 itu, sekitar 3.000 mahasiswa memadati gedung berlantai dua.

Emosi penonton hanyut terbawa lirik lagu saat Ebiet menyanyikan "untuk kita renungkan", sontak seluruh penonton bernyanyi bersama, bahkan para mahasiswa yang berada di lantai dua menyalakan telepon genggamnya dan melambai-lambaikannya seperti gerakan cahaya.

"Biasanya, orang yang menyanyikan lagu ini menggunakan lilin sebagai tanda renungan, tapi kali ini sesuai perkembangan jaman, cahaya handphone bisa dijadikan sebagai pengganti lilin," kata Ebiet.

Tembang demi tembang dilantunkan pria kelahiran Banjarnegara itu, mulai dari Berjalan di hutan cemara, Nyanyian rindu, Masih ada waktu, Untuk sebuah nama, Camelia I, II dan IV, dan Brita pada kawan.

Yang menarik saat Ebiet duet bersama rektor IPB menyanyikan lagu Titip rindu untuk ayah, menjadi penampilan yang spesial bagi para penonton.

Abi menyebutkan, saat ini pelantun Camelia ini tengah sibuk dengan "tour off air"-nya ke sejumlah kota dan radio. Ia mengatakan, Ebiet tidak ada rencana untuk mengeluarkan album baru lagi.

"Kegiatanya lebih banyak `off air` di sejumlah daerah, radio dan berbagai acara amal lainnya. Untuk saat ini, bapak sudah tidak memikirkan album lagi, karena tidak akan mungkin lagi diterima di pasaran," kata Abi.

Di mata keluarga, sosok Ebiet adalah ayah yang demokratis. Segala urusan dan permasalahan diselesaikan lewat diskusi bersama tiga putra dan satu putrinya.

Pria yang lahir 56 tahun silam memiliki nama asli Abid Ghoffar Aboe Dja`far, kelahiran Wanadadi, Banjarnegara, Banyumas, Jawa Tengah, sebenarnya tidak ingin disebut penyanyi. Karena karya yang dihasilkannya adalah sebuah puisi.

"Latar belakang bapak bukanlah penyanyi, dia awalnya adalah seniman pembaca puisi bersama-sama Emha Ainun Najib. Bapak lebih banyak menciptakan puisi ketimbang lirik lagu. Sebenarnya lagu yang dinyanyikannya adalah bait-bait puisi yang dikarangnya sendiri," kata Abi.

Abi mengatakan, ayahnya memiliki keterbatasan membacakan puisi karena suaranya yang tidak keras dan lantang. Untuk menutupi kekurangannya tersebut, ia menemukan jati dirinya, kelebihanya yakni memainkan gitar dan membacakan puisinya dengan cara bernyanyi. Kemahirannya menutupi keterbatasanya ternyata menciptakan sosok Ebiet sebagai penyanyi puisi atau puisi bernyanyi.

Dikatakan Abi, hingga saat ini Ebiet telah meluncurkan 20 album solo dan puluhan lagu kompilasi, dan hampir seluruh lagunya menjadi hits hingga zaman sekarang. Seperti halnya lagu Untuk kita renungkan, ditulis oleh Ebiet pada tahun 1979 mengenang bencana alam yang terjadi pada masa itu.

Ebiet mengatakan, lagu-lagu yang diciptakannya merupakan renungan dari kejadian yang ada disekitarnya. Ia mengungkapkan setiap rasanya dalam bait-bait puisi yang akan ditambahkan musik saat ia akan membacanya.

Untuk melahirkan sebuah karya, pria yang menyukai ayam kampung ini tidak memerlukan suasana atau tempat khusus. Bila ia ingin menulis, ia tinggal mencari tempat yang sunyi dan disana ia akan menulis bait-bait puisinya.

Abi mengatakan, saat ini ayahnya lebih konsen dengan udangan manggung dari televisi dan berbagai radio maupun organisasi yang bergerak dibidang lingkungan.

"Bapak memiliki kepedulian terhadap peristiwa bencana, saat Gunung Merapi di Yogyakarta, bapak juga sudah datang kesana, saat ingin datang yang ke dua kalinya, sekitar tiga hari yang lalu dibatalkan karena penerbangannya tidak diperbolehkan berangkat akibat pengaruh abu vulkanik itu," kata Abi.

Satu hal lagi yang menarik dari Ebiet adalah, ia tampil secara spontan di depan penontonnya. Ia tidak merencanakan lagu apa yang akan dinyanyikan dan berapa banyak dia akan bernyanyi.

"Itulah bapak, jika tampil spontan tidak direncanakan sesuka dia aja, tadi awalnya dia akan menyanyikan tujuh lagu, ternyata dia nyanyi 12 lagu," kata Abi.

Hadirnya Ebiet pada malam penutupan Dies Natalis IPB ke-47 dinilai tepat disaat situasi Indonesia tengah dilanda bencana. Pada malam itu pula dilakukan penggalangan dari seluruh akademisi IPB menyumbangkan dana dan terkumpul sebanyak Rp7,5 juta.

Dana yang terkumpul disatukan dengan sumbangan dana yang dikumpulkan oleh mahasiswa IPB selama enam hari dengan menggelar aksi turun ke jalan, sehingga total dana yang terkumpul malam itu sebesar Rp86.350.000.

Dana tersebut nantinya akan disumbangkan kepada korban bencana alam Gunung Merapi Yogyakarta, Tsunami Kepulauan Mentawai Sumatera Barat, dan Banjir Bandang di Wasior Papua Barat.
(T.KR-LR/A041/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010